MAKALAH TAFSIR ALMANAR
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH TAFSIR ALMANAR
BAB I
PENDAHULUAN
Rasyid Ridha adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI MUFASSIR ( RASYID RIDHA)
1.
Keluarga
Nama lengkap Rasyid Ridha adalah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha bin
al- Sayyid Ali Ridha bin al- Sayyid Muhammad Syamsuddin bin Muhammad Bahauddin
bin Al-Sayyid Ali Khalifah al-Baghdadi. Beliau lahir pada hari rabu, tanggal 27
jumadi al- Ula atau 18 oktober 1865 masehi di Qalamun sebuah desa yang terletak
dipantai laut tengah. Kira- kira tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.
Pada saat itu libanon merupakan bagian dari wilayah Turki Utsmani. Rasyid Ridha
adalah seorang bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari,
Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW, dan sekaligus cucu
Rasulullah SAW. Ayahnya bernama Sayyid Ali Ridha al- Husayn dan ibunya bernama
Fatimah.[1]
Rasyid Ridha di depan namanya memakai gelar ‘’ Sayyid’’ terkadang
ia juga di panggil dengan sebutan ‘’syaikh’’ hal ini di sebabkan karena ia
dikenal di lingkungannya sebagai orang yang taat dan memahami ilmu-ilmu agama.
Ayahanda beliau merupakan seorang penganut tarekat syadzilliah, oleh sebab itu
dimasa kecilnya seringkali Rasyid Ridha memakai sorban dan jubah, serta tekun
dalam mengikuti pengajian dan wirid sebagaimana kebiasaan pengikut tarekat
syadzililliah.
Ibunda beliau ( Rasyid Ridha ) mengatakan dia tidak pernah melihat
Rasyid Ridha tertidur, hal ini bukan karena Rasyid Ridha memang tidak pernah
tidur akan tetapi, Rasyid Ridha tidur setelah keluarganya tidur dan bangun sebelum
mereka terbangun kembali. Dia mempunyai seorang adik bernama Sayyid Saleh.
Sayyid saleh pernah berkata: saya tadinya menganggap saudara saya Rasyid Ridha
adalah seorang Nabi, tetapi ketika saya mengetahui bahwa Nabi kita Muhammad SAW
adalah penutup Nabi, timbullah keyakinan di dalam diri saya bahwa saudara saya
itu adalah seorang wali.
2.
Pendidikan
Rasyid Ridha pada awal mulanya, memulai pendidikannya di sebuah
Madrasah tradisional didesanya al-Qalamun. Disinilah beliau belajar membaca
al-Qur’an bahasa arab dan berbagai pengetahuan dasar lainnya. Kemudian beliau
melanjutkan pendidikannya di Madrasah Rasyidiah milik pemerintah di Tripoli.
Adapun yang ia pelajari disini adalah ilmu nahwu, sharaf, berhitung, ilmu bumi,
kemudian bahasa Turki sebagai bahasa pengantarnya. Setelah itu beliau
meninggalkan Madrasah ini belum sampai setahun lamanya, dikarenakan dengan
alasan ia merasa metode yang disiapkan kurang sesuai dengan metode yang diingin
kannya. Dan karena Madrasah ini adalah milik pemerintah yang bertujuan
mempersiapkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh dunia. Ia
berpendapat bahwa kesempatan menjadi pegawai maupun bekerja di sekolah-sekolah
adalah misi orang barat yang tujuannya untuk melemahkan umat Islam.
Kerena praktis mereka akan lebih muda mengatur para generasi muda
Islam yang dipekerjakan tersebut, apalagi Negara maupun sekolah yang ada saat
itu berada di bawah pengaruh dan penguasaan mereka. Meskipun demikian, bukan
berarti Rasyid Ridha anti pendidikan barat karena menurut dia meskipun lembaga
pendidikan Barat didirikan mempunyai misi tertentu yang merugikan, akan tetapi
di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang di terima atau di ambil.[2]
Kemudian pada tahun 1299H/ 1882 M. Rasyid Ridha melanjutkan pendidikan
ke Madrasah al- Wathaniyah al- Islamiyah di Tripoli. Sekolah ini di maksudkan
untuk mengimbangi sekolah-sekolah asing yang di dirikan oleh orang Eropa dan
Amerika. Seperti yang di tuturkan Husain al-Jisr, bahwa jika umat Islam ingin
lepas dari kemunduran kemudian ingin maju caranya adalah memadukan ilmu-ilmu
agama dengan ilmu pengetahuan umum yang menggunakan metode Eropa modern pada
pendidikan Islam nasional.
Materi yang di pelajari Rasyid Ridha di madrasah tersebut meliputi
bahasa arab, bahasa Turki dan bahasa prancis, ia juga memperoleh pengetahuan
tentang hukum berhitung, ilmu mantik, dan filsafat serta pengetahuan modern.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pada saat yang bersamaaan ia juga
memperdalam ilmu-ilmu lain dari beberapa tokoh diantaranya: kepada syaikh
Muhammad al- wawawijy yang mengajarkan salah satu kitabnya yaitu al-lu’lu
al-Marsyu’ fi manusia la ashla lahu au bi aslihi maudhu’. Penguasaan dalam
ilmu-ilmu hadis mendapat pengakuan dari guru-gurunya, terbukti dengan ijazah
yang di berikan kepadanya.
Kemudian kepada syaikh Abd Ghani al-Rafi’ ia memperdalam kitab Nail
al-Author karangan al-Syaukani. Keinginannya untu memperdalam ilmu pengetahuan
semakin terlihat setelah beliau menemukan ide pemikiran modern dari Husain al-
Jisr Pemikiran itupun mampu membuka tabir pemikiran sempitnya dalam memahami
Islam. Kepindahan Rasyid Ridha ke Mesir tahun 1987 M juga tidak terlepas dari
tekadnya untuk menuntut ilmu terutama kepada Abduh. Sebagaima diketahui, bahwa
kepindahannya ke Mesir selain untuk turut bersama-sama dengan gurunya Abduh
melakukan pembaharuan, juga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung
dari Abduh.
3.
Karya-karya
Sebagai seorang
cendekiawan Muslim Rasyid Ridha banyak menghasilkan karyanya di dalam sebuah
tulisan. Sayyid M. Rasyid Ridha cukup mnghasilkan banyak karya semasa hidupnya
diantaranya: Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh’Abduh (Sejarah Hidup
Imam Syaikh Muhanmmad Ridha), di dalam buku ini menceritakan tentang sejarah hidup Muhammad Ridha mulai dari beliau
lahir, pendidikannya, penulisan al-Manar sampai beliau wafat. Nida’ Li Al-Jins Al- Latif ( Panggilan
Terhadap Kaum Wanita), Al- Wahyu Muhammad ( Wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw), Yusr Al-Islam Wa usul At-Tasyri’Al ‘Am (
Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah
wa Al-Imamah Al-Uzma ( kekhalifaan dan Imam-imam besar), Muhawarah
Al-Muslih wa Al-Muqallid ( dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra
Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad Saw.), dan
Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (Hak-hak Wanita Muslim).[3]
Kemudian
majalah al-Manar sebuah jurnal namun terkadang juga dinamakan sebuah majalah
yang diterbitkan di Kairo, Mesir, yang pernah di pimpin syekh Muhammad Rasyid
Ridha (1865-1935), murid dan kolega Syekh Muhammad Ridha (1849-1905) kedua
syekh ini, tidak ragu lagi mereka merupakan pembaharu Islam untuk melakukan
pembaharuan dalam rangka menggapai kembali kebangkitan Islam. Namun, diantara
semua karya itu Tafsir Al-Manar merupakan karya Rasyid Ridha yang paling
fenomenal. Lengkapnya adalah Tafsir al-Quran al-Hakim. Tafsir ini
terdiri dari 12 volume, dan ditulis hanya sampai surah Yusuf ayat 53.
B.
Kitab Tafsir
1.
Latar belakang penulisan tafsir
Secara mendetail tidak ada referensi atau penjelasan mengenai
alasan-alasan penulisan Tafsir al-Manar. Namun beberapa pengamat menyebutkan
pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan pemikiran dari
tiga tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Jamaluddin Al- Afghani syekh Muhammad
Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha. Meski mereka sepakat mengatakan bahwa penulis
karya Tafsir al-Manar adalah hasil tokoh yang ketiga. Kitab tafsir al-Manar
yang bernama tafsir al-Hakim karya
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha ditulis pada saat perkembangan
pemikiran Islam memasuki era modern. Ketika Islam berada pada era kegelapan
(abad 19), permasalahan tafsir pun keluar dari rel yang sebenarnya yaitu
terjadi disorientasi dalam penafsiran al-Qur’an.[4]
Penafsiran al-Qur’an yang sebenarnya cepat di mengerti dan terbuka
telah dikurangi menjadi sebuah penafsiran yang monologis yaitu Tafsir yang
berkisar sekitar karya-karya mufassir terdahulu yang belum tentu mendukung
untuk masa sekarang artinya tafsir al-Qur’an tidak membumi. Muhammad Rasyid
Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya
ke dalam majalah al-Manar hal itu sebagai langkah pertama. Langkah selanjutnya
ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir
al-Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan
perkembangan zaman .
Setelah itu dia berusaha menghubungkan ajaran al- Qur’an dengan
kehidupan Masyarakat, serta membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki
sifat Universal,umum, abadi, dan cocok bagi segala keadaan, waktu, dan tempat.
Di era ini Umat Islam bangkit untuk melakukan perubahan yang lebih maju untuk
menghilangkan bagian dari aqidah dan ibadah yang dinilai tidak memiliki dasar
dalam al-Qur’an. Ajaran agama Islam setelah selama tujuh abad mengalami
kemunduran. Al-Manar terbit pertama kalinya pada tanggal 22 syawal 1315 H atau 17
maret 1898 M, yang di latarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan
sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama.
Sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad Abduh,
awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan
hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke
Eropa dan Indonesia, namun belum sempat terselesaikan karena beliau meninggal dunia. Penafsiran
dari mulai surat al-Fatihah sampai surat an-Nisa ayat 125, (413ayat) di ambil
dari pemikiran Abduh, kemudian di lanjutkan oleh Rasyid Ridha sebanyak 930 ayat
mulai dari surat an- Nisa ayat 126 sampai surat yusuf ayat 111 dengan
berpatokan pada metode Abduh. Kemudian dirampungkan oleh Muhammad Bahjah al-
Baytar, surat yusuf sampai an-Nas.
2.
Metode
Secara umum metode yang digunakan dalam penulisan Tafsir al-Manar
adalah metode tahlili atau yang sering di sebut dengan metode analisis. Hal
tersebut dapat dilihat dari penafsiran suatu ayat dengan menjelaskan makna yang
terkandung dalam ayat tersebut. Dalam memahami dan menjelaskan suatu ayat
beliau menggunakan kerasionalitasannya dan memperhatikan beberapa kitab Tafsir
terdahulu untuk dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
Kemudian yang pertama keluasan-keluasan pembahasan yang menyangkut ayat-ayat
yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi, kedua keluasan pembahasan penafsiran
ayat-ayat satu dengan ayat lainnya, ketiga penyisipan pembahasan yang luas
menyangkut permasalahan yang dibutuhkan Masyarakat, keempat keluasan pembahasan
kosa kata dan ketelitian susunan Redaksi.[5]
Adapun yang dimaksud metode Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang di tafsirkan itu, kemudian menerangkan makna yang tercakup di dalam nya
sesuai dengan keahlian Mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Jadi
pendekatan analisis ini yaitu Mufassir membahas al-Quran ayat demi ayat ,
sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun di dalam al- Quran. Maka tafsir yang
memakai penjelasan ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskan dengan cara
sedikit demi sedikit.
Berikut adalah contoh penafsiran al-Qur’an di dalam tafsir al-Manar
yang terdapat dalam Qs. al-Baqarah ayat ke 25.
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا
مِنْ ثَمَرَةٍ
ِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا
مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ
وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
البدنية ، والتمتع بالشهوات الحسية ، فمثل
هؤلاء المرضى النفوس المحرومين من الكمال الروحي والعقلي كمثل من غلبت عليه الصفراء
فصار يذوق الحلو مراً ، و إن من المرضى من يشتهي في طور النقه ما لا يشتهي في حال الصحة
والاعتدال وكذلك الحبالي في مدة الوحم
Teks ini membahas apa-apa balasan Allah untuk orang-orang yang
beriman menurut Rasyid Ridha balasan itu bercorak jasmaniah dan rohaniah. Arti
dari ayat ini adalah: ‘’dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang
beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan
dal;am surga-surga itu, mereka mengatakan: inilah yang pernah diberikan kepada
kami dahulu. Mereka diberi buah-buahan
yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan
mereka kekal di dalamnya.’’
Bagi Rasyid Ridha, balasan yang sama lebih menekankan pada jasmani.
Hal ini terlihat perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Beberapa sumber
menyebut terjadi perbedaan sejumlah tafsiran lantaran Rasyid Ridha masih
berpegang pada mazhab salaf yaitu: Imam Hambali, ia menolak takwil untuk
ayat-ayat literal. Muhammad Abduh tidak berpegang pada salah satu mazhab
tertentu. Ia menggunakan pemikiran bebas sehingga tidak terikat dalam suatu
mazhab.
Dari metode yang digunakan seperti yang dijelaskan di atas
menunjukkan kitab Tafsir al-Manar mengandung pembaharuan dan sesuai
perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan
kehidupan masyarakat . selain itu membuktikan bahwa Islam adalah agama yang
memiliki sifat universal, umum dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
3.
Corak/ pendekatan
Untuk menemukan suatu penafsiran yang baik dan jelas serta dapat
dikenal dan diterima oleh orang-orang yang ingin mendalami tafsir al- Qur’an
maka masing-masing mufassir, dalam hal ini bagi para pengarang kitab tafsir
baik yang salaf maupun khalaf mempunyai
suatu corak maupun tipe tersendiri di dalam menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an
seperti apa yang di tempuh Rasyid Ridha.[6]
Tafsir al-Manar adalah tafsir yang menggunakan corak adab
al-Ijtima’i. corak ini adalah salah satu corak yang berbeda dengan lainnya.
Dalam tafsirnya Abduh dan Ridha menganalisis secara panjang lebar mengenai
masalah-masalah sosial yang aktual pada masanya. Menurut Abduh, al-Qur’an pada
intinya merupakan jawaban atas situasi dan kondisi kekinian. Disisi lain
al-Qur’an juga sebagai petuinjuk yang dapat di terapkan pada masa modern. Lebih
lanjut, dapat dilihat ketika ia menafsirkan surah al-Baqarah ayat 170:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ ١٧٠
Terjemah
Apabila dikatakan
kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab,
“Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang
kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu)
tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
يسلكون طريق العقل بالاستدلال على أن ما هم عليه من العقائد والعبادات حق ، ولا يهتدون في أحكامه وأعماله بوحي من الله جاءهم به رسول من عند الله ؟ أي حتى في نجردهم من دليلي العقل والنقل . هذا ما أفهمه وقال البيضاوي أي لو كان آباؤهم جهلة لا يفكرون في أمر الدين ولا يهتدون الى الحيلان.وهم. وهو دليل
Salah satu upaya yang intens dari corak tafsir ini adalah menghilangkan praktik dan keyakinan taqlid buta dalam masyarakat Islam, karena taqlid dianggap dapat menyebabkan kejumudan (kebekuan) pemikiran umat Islam dan mengalami kemunduran. Muhammad Abduh sebagai ulama aliran ini berkeyakinan bahwa al-Qura’an sangat mencela orang-orang yang mengikuti pendapat pendahulunya tanpa sikap kritis dan alasan yang jelas.
KESIMPULAN
Al-Manar merupakan karya tafsir modern yang ditulis oleh Muhammad
abduh dan Muhammad Rasyid Ridha .Metode
yang digunakan dalam penulisan kitab
tafsir Al Manar adalah metode tahlil atau sering dikenal dengan metode analisis .hal tersebut dapat
dilihat dari penafsiran suatu ayat dalam menjelaskan suatu ayat dengan menjelaskan makna ayat yang
terkandung dalam ayat tersebut ,dalam memahami dan menjelaskan suatu ayat
,beliau mengunakkan kerasionalisasi dan memperhatikan berapa kitab tafsir terdahulu untuk menjadikan sebagai bahan
rujuk dalam penafsiran suatu ayat .
Tafsi ini mengunakan pendekataan adabi ijtima’I atau atau tafsir
yang beroriaantasi pada sastra ,budaya dan masyarakat .dalam penafsirannya M
Abdulah berpokatkan dalam dua
landasan ;riwayat shahihdannalar
\rasional .melihat ini ,berarti M
adbduh menggunakan bi al matafsir
menggunakan bi ma’tasir bi
al-rayi ,ia memudahkan keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Harun Nasution,
Islam Rasional, Jakarta: Mizan, 1993
Muhammad Yasir
, Muhammad Hikmah , Mencari Format Peradaban Islam, Jakarta: Raja
Grafindo prasada, 2005
Abdul Qadir
Muhammad sai, at-Tafsir wa al- Mufassirun fil als al-Hadid, Beirut: dar
ma’rifah,
Quraisy Sihab, Study
Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir, Jakarta: Amzah, 2014
[1] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
hlm.45
[2] Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta: Mizan, 1993), hlm. 156
[3] Muhammad Yasir , Muhammad Hikmah , Mencari Format Peradaban Islam,
( Jakarta: Raja Grafindo prasada, 2005), hlm.47.
[4] Abdul Qadir Muhammad sai, at-Tafsir wa al Mufassirun fil als al-
Hadid, ( Beirut: dar ma’rifah, 2003),
hlm. 202
[5] Quraisy Sihab, Study Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994), hlm.70-82.
[6] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Amzah,
2014), hlm.190
Komentar
Posting Komentar