MAKALAH ASAS DALAM PERKAWINAN MONOGAMI DAN POLIGAMY
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH ASAS DALAM PERKAWINAN MONOGAMI DAN POLIGAMY
By: Insani, Dkk.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah disebutkan dalam artikel Pengertian Perkawinan salah satu unsur perkawinan adalah seorang pria dan seorang wanita. Unsur ini menunjukkan adanya asas monogami yang dianut dalam UU Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) juga menganut asas monogami. Namun latar belakang berlakunya asas monogami pada kedua peraturan tersebut berbeda. Burgerlijk Wetboek menganut asas monogami karena dilatarbelakangi oleh pandangan agama Kristen. Dalam pandangan umat Nasrani, perkawinan adalah sebuah sakramen, sehingga ikatan tersebut tidak dapat diputuskan oleh manusia. Hanya kematian yang dapat mengakhri perkawinan. Sedangkan berlakunya asas monogami pada UU Perkawinan dilatarbelakangi oleh perjuangan wanita Indonesia yang berupaya untuk melindungi kaum mereka dari praktek poligami.
Asas monogami yang dianut dalam UU Perkawinan tampak jelas dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun ayat (2) ketentuan tersebut membuka peluang bagi seorang suami untuk berpoligami. Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan monogami dan poligami ?
2. Bagaimanakah monogami dan poligami dalam per-UU-an dan dalam pandangan Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimakasud dengan
monogamy dan poligami
2. Untuk mengetahui monogami dan poligami
dalam per-UU-an dan dalam pandangan Islam
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Monogami dan Poligami
Monogami
adalah suatu bentuk perkawinan / pernikahan dimana si suami tidak menikah
dengan perempuan lain dan si isteri tidak menikah dengan laki-laki lain. Jadi
singkatnya monogami merupakan nikah antara seorang laki dengan seorang wanita
tanpa ada ikatan pernikahan lain.[1]
Poligami
ialah mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan.Berpoligami
berarti menjalankan (melakukan) poligami. Menurut Drs. Sidi Ghazalba, Poligami
adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari satu orang.
Asas
Perkawinan dalam Hukum Islam adalah monogami. Ketentuan itu terdapat dalam
al-Qur’an surat an-nisa’ ayat 3, yang artinya :Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman: وَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تُقْسِطُوْا
فِى الْيَتٰمٰى فَا نْكِحُوْا مَا طَا بَ لَـكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ
وَرُبٰعَ ۚ فَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تَعْدِلُوْا فَوَا حِدَةً اَوْ مَا مَلَـكَتْ
اَيْمَا نُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰۤى اَلَّا تَعُوْلُوْا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak/wanita yang yatim (bila kamu mengawininya.). maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kernudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja, atau
budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak
berbuat zalim”.
Ayat
diatas mengingatkan para laki-laki jika laki-laki yang hendak melakukan
poligami tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap wanita
yang dinikahinya, maka laki-laki itu
tidak boleh mengawini wanita tersebut.
Ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan
empat. dengan syarat ia marnpu berbuat adil terhadap istri-istrinva. Dan jika
ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia hanya boleh
beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istrinya.
Ayat
diatas menjelaskan hal-hal yang telah dipahami Rasulullah, sahabat-sahabatnya,
tabi’in, dan jumhur ulama muslimin tentang hukum-hukum berikut:
1. Boleh berpoligami paling banyak hingga empat orang isteri.
2. Disyariatkan dapat berbuat adil diantara isteri-isterinya. Barangsiapa yang belum mampu memenuhi ketentuan diatas, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang. Seorang laki-laki yang sebenarnya meyakini dirinya tidak akan mampu berbuat adil, tetapi tetap melakukan poligami, dikatakan bahwa akad nikahnya sah, tetapi dia telah berbuat dosa.
3. Keadilan yang diisyaratkan oleh ayat diatas mencakup keadilan dalam tempat tinggal, makan dan minum serta perlakuan lahir batin.
4. Kemampuan suami dalam hal nafkah kepada isteri kedua dan anak-anaknya.
Tujuan hidup keluarga adalah
untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Polligami
yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi hilang. Hal
ini tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka
beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pandangan masyarakat terhadap
poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang tidak setuju atau
menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus
berbagi dengan yang lain.
B.
monogami dan poligami dalam per-UU-an dan
dalam pandangan Islam
Asas Monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis.[2]
Rasulullah
SAW melakukan monogami dengan Khadijah RA.Rasulullah
SAW menikah selama tiga puluh tahun lebih. Ia setia dengan konsep monogami
dalam Islam selama dua puluh delapan tahun dengan Khadijah di tengah-tengah
situasi sosial masyarakat Arab yang waktu itu menganggap poligami sebagai
sebuah hal yang biasa.
Menurut
Quraish Shihab, poligami tidak semata dianggap sebagai ibadah murni. Poligami
tak ubahnya seperti aktivitas biasa, sebagaimana halnya ‘makan’. Larangan
berpoligami karena dikhawatirkan akan menimbulkan mudharat dapat dianalogikan
dengan dokter yang melarang pasien untuk makan karena pertimbangan kesehatan.
Makan memang dapat dikategorikan sebagai ibadah ketika diniatkan untuk
beribadah namun itu tidak menjadikannya sebagai ‘ainul ibadah’.Ia menjadi
–dianggap– ‘ibadah’ karena niat yang mengiringinya. Begitu juga dengan
poligami, yang tidak benar dikatakan sebagai ibadah yang sesungguhnya.
Poligami
dalam perspektif undang undang NO.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi
hukum islam (KHI).
Undang
NO. 1 tahun 1974 tentang perkawina dan kompilasi hukum islam (KHI) mengatur
tentang seorang pria hanya boleh memiliki seprang istri atau seorang wanita
hanya boleh memiliki seorang suami, yang dikenal dengan asas monogamy asas
monogamy bukanlah asas monogamy mutlak tetapi asas monogamy terbuka. Artinya , Artinya,
jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari
seorang maka cukup seorang istri saja. Poligami dibolehkan tentunya dengan
pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Tidak mudah untuk berpoligami karena
keadilan adalah syarat mutlak dan yang terpenting harus dengan persetujuan
istri. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur ketentuan dan syarat untuk
berpoligami bagi umat islam.[3]
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama ( Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk kasus poligami untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Monogami adalah suatu bentuk perkawinan / pernikahan dimana si suami tidak menikah dengan perempuan lain dan si isteri tidak menikah dengan laki-laki lain. Jadi singkatnya monogami merupakan nikah antara seorang laki dengan seorang wanita tanpa ada ikatan pernikahan lain.
Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan.Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami. Menurut Drs. Sidi Ghazalba, Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari satu orang.. Asas Monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis.
Undang NO. 1 tahun 1974 tentang perkawina dan kompilasi hukum islam (KHI) mengatur tentang seorang pria hanya boleh memiliki seprang istri atau seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami, yang dikenal dengan asas monogamy asas monogamy bukanlah asas monogamy mutlak tetapi asas monogamy terbuka. Artinya , Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja. Poligami dibolehkan tentunya dengan pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Tidak mudah untuk berpoligami karena keadilan adalah syarat mutlak dan yang terpenting harus dengan persetujuan istri. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur ketentuan dan syarat untuk berpoligami bagi umat islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Aydi Hasan.Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan.Bandung: Alfa Beta.2007.
Faqih, Khoyin Abu.Poligami Solusi atau Masalah.Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.2009.
Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000.
Komentar
Posting Komentar