PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
تَركْتُ
فيكُمْ أَمْرَيْنِ لنْ تَضِلُّوا ما تَمسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتاَبَ اللهِ ،
وَسُنّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku
tinggalkan bagi kamu dua perkara yang mana kamu tidak akan sesat selagimana
kamu berpegang teguh kepadanya : Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”. (Hadis riwayat Imam Malik & Tirmizi).
Hadist merupakan dasar ajaran umat Islam setelah al qur’an. Meskipun
demikian, Hadist tidak dapat dipisahkan dengan Al Qur’an, karena hadist secara
fungsioanal merupakan ekspansi terhadap kandungan isi Al Qur’an. Sesuai dengan
ayat Allah dalam surat an nahl ayat 44 :
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ…
…Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Walaupun hadist merupakan dasar umat Islam, tetapi sebagian umat Islam
ada yang belum mengerti apa itu makna hadist. Kadangkala, mereka mengartikan
hadist sama dengan sunnah, khobar, atau atsar. Hal ini
dikarenakan mereka hanya mempelajari secara dzohirnya saja, tidak mendalami
dengan baik pengertian dari hadist itu sendiri. Sehingga mereka menganggap sunnah, khobar atau atsar sama dengan hadist.
B.
Rumusan Masalah
1. Pengertian Hadits?
2. Pengertian Sunnah?
3. Pengertian Khabar?
4. Pengertian Atsar?
5. Hubungan Hadits Qudsi dan Hadits umum?
C.
Tujuan
Agar kita bisa mengetahui pengertian hadits sunnah khabar atsat dan Hadits
qudsi.
PEMBAHASAN
1.
Ta’rif Hadits
A.
Menurut bahasa (lughat)
a.
Jadid, lawan qadim= yang baru, Jamaknya: hidats, hudatsa’ dan huduts.
b.
Qarib= yang dekat, yang belum lama terjadi seperti dalam perkataan haditsul
ahdi bil-Islam. Jamaknya: hidats, hudats’ dan huduts.
c.
Khabar= warta, yakni: ma yutahaddatsu bihi wa yunqalu= sesuatu yang
dipercakapakan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang, sama maknanya
dengan hidditsa. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah.
Hadits yang bermakna khabar ini diisytiqaqkan dari
tahdits yang bermakna riwayat atau ikhbar= mengabarkan. Apabila dikatakan
haddatsana bi haditsin, maka maknanya akhbarana bihi hadisun= dia mengabarkan
sesuatu kabar kepada kami.
Ringkasnya, lafad hadits bukan sifat musyabbahah,
walaupun dia sewazan karim. Jamaknya hudtsan dan hidtsan Dan dijamakkan juga
terhadap ahadits.
Jamak inilah yang dipakai buat jamak hadits yang bermakna
khabar dari Rasul. Hadits-hadits dari rasul diakatakan Ahaditsul Rasul, tak
pernah dikatakan Ahaditsul Rasul, tak pernah dikatakan hudtsanul Rasul,
sebagaimana tidak pernah disebutkan “Uhdutsatul Rasul”.
Dalam pada itu sebagian ulama berkata, lafad ahadits
bukan jamak dari hadits yang bermakna khabar, tetapi merupakan isim jamak.
Mufradat ahadits yang sebenarnya, ialah uhdutsah, yang bermakna sesuatu berita
yang dibahas dan sampai dari seseorang ke seseorang.
Kata Al-Farra’, “Ahadits sebenarnya jamak dari uhdutsah,
kemudian dijadikan jamak bagi hadis. Dalam pada itu mereka tidak mengatakan
uhdutsah Nabi”.
Sebagian ulama menetapkan, bahwa lafazd ahadits Jamak
dari hadis yang tidak menurut qiyas, atau jamak nya yang syadz.
Kata Az Zumakhsyary dalam Al Kasysyaf, “ Ahadits adalah
isim jamak bagi hadits bukan jamak nya”
Kata Az Zarkassy dalam Al Bahrul Muhith, “Lafad hadits
buksn isim jamak , dia jamak taksir bagi hadits yang tidak menurut qiyas
seperti abathil isim jamak tak ada yang sewazan ini”.
Allah pun memakai kata hadits dengan arti khabar dalam
firman nya:
“Maka
hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika mereka orang
yang benar.”(Q.A. 34. S. 52 Ath Thur).
B.
Menurut istilah ahli hadits
“Segala ucapan nabi, segala perbuatan beliau dan segala
keadaan beliau”
Demikian kata Al Hafidh dalam Syarah Al Bukhari. Dan Al Hafidh dari
shakhawi.
Masuk ke dalam keadaan ny, segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah,
seperti kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu, baik
sebelum dibangkit, maupun sesudahnya.
Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa “ Hadits itu melengkapi
sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau melengkapi perkataan, perbuatan
dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi perkataan,perbuatan, dan taqrir
tabi’in”.
Dengan demikian, terbagilah hadits kepada sembilan bagian, Pendapat ini
diterangkan oleh Al Hafidh di dalam An Nakhbah.
Maka sesuatu hadits yang sampai kepada Nabi, dinamai marfu’ yang sampai
kepada sahabat dinamai maufuq dan yang sampai kepada tabi’in saja dinamai
maqthu’.
Muradifnya, sunnah, khabar dan atsar.
Sebenarnya lafad hadits tertentu dengan yang marfu’, untuk yang lain
terkecuali ada karinah.
Menurut Ahli Ushul Hadits
“ Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi,
yang bersangkutpaut dengan hukum.”
Tidak masuk ke dalam hadits, sesuatu yang tidak bersangkutpaut dengan
hukum, seperti urusan pakaian. Dalam pandangan para Ushuliyin, muradifnya
sunnah,khabar, dan atsar juga.
Apabila disebut hadits sebagai nama bagi ilmu (ilmu hadits), maka ta’rifnya
ialah:
“ Sesuatu ilmu yang menerangkan segala yang
dinukilkan/yang disandarkan kepada Nabi atau kepada shahaby dan tabi’y, baik
berupa perkataan maupun perbuatan, taqrir maupun sifat.”
Inilah yang mereka kehendaki dengan “Ilmu Haditsul Riwayah”. Ilmu untuk
mengetahui keadaan rawi dan marwi dari aspek diterima atau ditolak, dinamakan
Ilmu hadits Dirayah.
2.
Ta’rif Sunnah
Menurut bahasa (lughat) sunnah bermakna jalan yang dijalani,terpuji,atau
tidak. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak
baik.
Jamaknya, sunan. Nabi SAW, bersabda:
“ Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (Perjalanan-perjalanan) orang
yang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga
sekiranya mereka memasuki sarang dlab (serupa banyak), sungguh kamu memasukinya
juga.” (H.R. Muslim).
Dan Nabi SAW. Bersabda pula:
“ Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya
pahala sunnah itu dan pahala oraang lain yang mengerjakannya hingga hari
kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk,maka atas nya
dosa membuat sunnah buruk dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari
kiamat.”(H.R.AL Bukhari dan Muslim).
Hadist ini memberi pengertian
bahwa:perkataan sunnah di artikan jalan,sebagaimana yang di kehendaki oleh ilmu
bahasa sendiri.
Sunnah menurut istilah muhadditsin
(ahli-ahli hadist) ialah segala yang di nukkilkan dari Nabi SAW. Baik berupa
perkataan,perbuatan,maupun berupa taqrir,pengajaran,sifat,kelakuan,perjalanan
hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW. Di bangkit jadi rasul,maupun
sesudahnya.
Jumblah yang terbesar dari jumblah
muhadditsin menetapkan bahwa sunnah dalam arti ini, menjadi murodif bagi
perkataan hadist.
Sunnah, menurut pendapat (istilah
ahli usul fiqih) iala segala yang dinukilkan dari Nabi SAW. Baik perkataan maupun perbuatan,ataupun
taqrir yang berkaitan dengan hukum.
Makna inilah yang diberikan kepada perkataan sunnah dalam sabda Nabi:
Yang artinya “sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua
hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadannya, yakni
kitabullah dan sunnah rasul-Nya” (H.R. Malik).
Contoh-contoh hadits (sunnah)
Contoh hadits (sunnah) ucapan:
“ Segala amalan itu mengikuti niat (orang yang
meniatkan).” (H.R. Al Bukhary
dan Muslim).
Seluruh ulama hadits turut meriwayatkannya.
“ Tak ada wasiat (tidak boleh diwasiatkan) untuk orang
yang mengambil pusaka”. (H.R. Ad
Daraquth ny dari Djabir)
Hadits ini sebuah hadits masyhur Ibnu Hazm mengatakan Mutawatir.
Contoh hadits (Sunnah) perbuatan:
Cara cara mendirikamn Shalat,rakaatnya,cara-cara mengerjakan amalan haji,
adab adab berpuasa dan memutuskan perkara berdasarkan saksi dan berdasarkan
sumpah.
Semua ini diterima dari Nabi dengan perantaraan sunnah fi’liyah lalu para
sahabat menukilkan nya.
Untuk meneladaninya dalam soal shalat, Nabi sabdakan :
“ Bersembahyanglah anda sebagaimana anda melihat saya
bersembahyang.”(H.R. Al Bukhary
dan Muslim dari Malik ibnu Huwairitis).
Contoh hadits (sunnah) taqrir.
Taqrir ialah :
a.
Membenarkan (tidak mengingkari) sesuatu yang diperbuat oleh seseorang
sahabat (orang yang mengikuti syari’i) di hadapan Nabi atau diberitakan kepada
beliau lalu beliau tidak menyanggah atau tidak menyalahkan serta menunjukkan
bahwa beliau menyetujuinya.
Nabi
membenarkan ijtihad para sahabat mengenai bersembahyang ‘Ashar di Bani
Quraidah, Nabi bersabda :
Artinya
:
“Jangan seseorang kamu bersembahyang, melainkan di Bani
Quraidhah.”
Sebagian sahabat memahamkan lahirnya. Karena itu, mereka
mengerjakan shalat Ashar sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksudkan Nabi ialah bersegera pergi ke
sana. Karena itu mereka mengerjakan shalat Ashar waktunya. Sebelum tiba di Bani
Quraidhah.(H.R.. Al Bukhary dari Ibn Umar).
Kedua-dua perbuatan sahabat ini bertanya sampai kepada
Nabi. Nabi berdiam diri tidak mengatakan apa-apa.
b. Menerangkan bahwa yang diperbuat oleh sahabat itu baik
serta menguatkan nya pula.
Diriwayatkan oleh Al Bukhary da Muslim bahwa Khalid ibn Walid makan dlab
(sejenis biawak) yang dihidangkan orang kepada Nabi, padahal Nabi sendiri
enggan memakan nya, Maka sebagian sahabat (Khalid) bertanya: Apakah kita
diharamkan memakan diab, ya rasulullah?
Nabi SAW menjawab :
“Tidak, hanya binatang ini tidak ada di negeri saya
karena itu saya tidak suka memakannya. Makanlah, sesungguhnya dia itu halal.” (H.R Al Bukhary dan Muslim).
Dan biasa juga dinamakan sunnah, sesuatu yang ditunjukki dalil syar’i baik
dalil Al-qur’an ataupun dalil sunnah, maupun berdasarkan ijtihad para sahabat,
seperti mengumppulkan Al-qur’an dalam mushhaf dan menyuruh seluruh ummat
membaca menurut mushhaf Utsman dan seperti membukukan ilmu-ilmu pengetahuan.
Lawan sunnah dalam pengertian ini ialah bid’ah.
3.
Ta’rif Khabar
Menurut
bahasa khabar berarti berita
Adapun menurut istilah, ada dua pendapat:
A. Sebahagian Ulama menyatakan, bahwa
Khabar itu sama/sinonim dengan Hadits. Oleh karena itu mereka menyatakan, bahwa
khabar adalah apa yang datang dari Nabi, baik yang marfu’ (yang disandarkan
kepada Nabi), yang maqthu’ (yang disandarkan kepada Tabiin) Dengan kata lain
bahwa khabar itu mencakup apa yang datang dari Rasul, dari Sahabat dan dari
Tabi’in.
Menurut Dr. Subhi Shalih dalam bukunya Ulumul hadits
wa Musthalahuhu (hal. 10), para ulama Hadits yang berpendapat demikian ini
beralasan selain dari bahasa (yakni bahwa arti Hadits dan khabar adalah
berita), juga beralasan bahwa yang disebut para perawi itu, tidaklah terbatas
bagi orang yang meriwayatkan/menukilkan berita dari Sahabat dan Tabi’in. Sebab kenyataan para
perawi itu telah meriwayatkan apa yang datang dari Nabi dan yang datang dari
Nabi dan yang datang dari selain nya. Oleh karena itu, tidaklah ada keberatan
untuk menyamakan hadits dengan Khabar.
a. Sebahagian ulama Hadits membedakan
pengertian Khabar dengan Hadits.
Dr. muhammad
Ajaj Al-khatib dalam kitabnya Ushulul Hadits
menjelaskan:
a). Sebahagian pendapat menyatakan, bahwa hadits adalah
yang berasal dari Nabi sedang Khabar adalah apa yang berasal dari selainnya.
Oleh karena itu dikatakan orang yang tekun pada sejarah atau semacamnya
(Menyibukkan diri) pada Hadits disebut dengan “muhaddits” sedang orang yang
tekun pada sejarah atau semacamnya disebut dengan “Akhbary”.
b). Sebahagian pendapat menyatakan, bahwa Hadits bersifat
khusus sedang khabar bersifat umum. Oleh karena itu tiap-tiap hadits adalah
Khabar dan tidak setiap Khabar adalah hadits.
4.
Ta’rif Atsar
a.
Atsar pada lughat, ialah bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Dan berarti nukilan
(yang dinukilkan). Sesuatu doa umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai doa
matsur. Jamaknya atsar dan utsur.
b.Menurut
istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits.
Mengenai ini
dinamailah ahli hadits dengan atsary.
Para fuqaha memakai perkataan atsar untuk perkataan-perkataan ulama
salaf,sahabat,tabi’in dan lain-lain. Ada mengatakan atsar lebih’ am (umum)
daripada khabar.
Atsar dihubungkan kepada yang datang dari Nabi dan yang selainnya sedangkan
khabar dihubungkan kepada yang datang dari Nabi saja.
Al-iman An Nawawy menerangkan bahwa fuqaha Khurasan menamai perkataan
–perkataan sahabat(Hadits mauqul) dengan atsar, dan menamai hadits Nabi dengan
khabar. Tetapi para Muhadditsin umumnya, menamai hadits Nabi dan perkataan
sahabat dengan atsar juga Dan setengah ulama memakai pula kata atsar untuk
perkataan-perkataan tabi’in saja.
Az-Zarkasyi memakai kata asar untuk hadits mauquf, Namun membolehkan
memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (Hadits Marfu).
At Thahawy memakai kata atsar untuk yang datang dari Nabi dan sahabat, Ada
sebuah kitab beliau bernama Mu’anil Atsar. Di dalamnya beliau terangkan
hadis-hadits yang datang dari Nabi dan yag datang dari sahabat.
At Thabary memakai kata atsar untuk yang datang dari Nabi saja. Sebuah
kitab beliau bernama Tahdzibul Atsar. Didalamnya beliau jelaskan hadis-hadits
Nabi saja.
5.
Hakikat Sunnah dan Hadits
Karena telah timbul banyak kesulitan dan kemuskilan dalam mengidentikkan
hadits dengan sunnah, perlulah kita menentukan garis perbedaan antara sunnah
dan hadits.
Hadits ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya
sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidupnya dan walaupun hanya diriwayatkan
oleh seorang saja. Adapun sunnah, sebenarnya adalah sebutan bagi amaliyah yang
mutawir, yakni cara Rasul melaksanakan sesuatu ibadat yang dinukilkan kepada
kita dengan amaliyah yang mutawir pula”. Nabi melaksanakan nya bersama para
sahabat, kemjudian para sahabat melaksanakan nya. Kemudian diteruskan pula oleh
para sahabat, kemudian diteruskan pula oleh para tabi’in walaupun lafad
penukilannya tidak mutawwir, namun cara pelaksanaannya mutawatir.
6.
Perbedaan antara hadits umum dan hadits qudsi. `
Hadits qudsi, ialah perkataan-perkataan yang disabdakan Nabi SAW dengan
mengatakan “Allah berfirman..”. Nabi menyadarkan perkataan itu kepada Allah.
Beliau meriwayatkan dari Allah SWT.
Kata Ath Thibi, “Hadits qudsi ialah titah Tuhan yang disampaikan kepada
Nabi di dalam mimpi, atau dengan jalan ilham, lalu Nabi menerangkan apa yang
dimimpikannya itu, dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyadarkan
nya kepada Allah”. Pada hadits yang lain, beliau tidak mengatakan,”Berfirman
Allah...”
Kata Al Kirmani, “Haditas qudsi itu dinamai juga hadits ilahi dan hadits
Rabbany”.
Abu baqa’ Al Ukbari dalam kuliyatnya, di waktu menerangkan perbedaan anatar
Al-Qur’an dengan hadits Qudsyi berkata , “Al-Qur’an ialah “wahyu yang lafadnya
dari Rasul, sedang maknanya dari allah, diturunkan dengan jalan ilham atau
jalan mimpi.”
Sebagian ulama berkata, “Al Quran ialah lafad yang sepertinya tidak dapat
dibuat oleh seluruh ahli balaghah yang sepertinya Dan diturunkan dengan perantaraan jibril.
Hadits Qudsi tidak demikian, tidak mu’jiz tidak diturunkan dengan
perantaraan jibril.
Contoh Hadits qudsi
Rasulullah SAW, bersabda:
“Allah SWT berfirman : Seluruh amal
aman Adam untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Puasa itu untuk-ku Aku akan
memberikan balasannya. Puasa itu perisai. Apabila seseorang kamu berpuasa,
janganlah dia memaki-maki mengeluarkan kata-kata keji dan jangan dia berpiruk-pikuk.
Jika dia dicarut oleh seseorang, atau dibunuh (hendak dibunuh) , hendaklah dia
katakan : saya berpuasa.” (H.R. Al Bukhary dan Muslim. Lafal hadits ini menurut
riwayat Al-Bukhary).
Rasulullah bersabda pula :
“ Allah SWT. Berfirman: Aku menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku besertanya
di mana saja dia menyebut (mengingat) Daku”. (H.R Al Bukhary dari Abu Hurairah)
Segolongan ulama berpendapat segala hadits yang berpautan dengan Allah dan
sifat-sifatnya, dinamai hadits qudsi. Yang lain dari itu,tidak.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah
Al-Qur’an. Definisi hadits yang paling komprehensif adalah segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Nabi Saw., baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat diri
atau sifat pribadi; atau yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi’in.
Sunnah adalah segala yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi
pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun
sesudahnya.
Khabar berarti berita yang disampaikan kepada
seseorang.
Adapaun atsar menurut pendekatan bahasa sama pula
artinya dengan khabar, hadits, dan sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
A.Qadir Hassan, Ilmu Hadits,
Al-Muslimun, Bangil 1996.
Drs. Masyfuk Zuhri, Pengantar Ilmu
Hadits, Pustaka Progresif, Surabaya, 1976.
Dr. Muhammad Ajjjaj Al-Khatib,
Ushulul Hadits, Darul Fikri, Bairut, 1975.
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Dr. Shubhi Shalih, Ulumul Hadits,
Darul Ilmu, Beirut, 1977.
<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
Komentar
Posting Komentar