BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada setiap
kerajaan pasti akan mengalami yang namanya kemajuan, kegemilangan dan kejayaan
yang terjadi pada masa kerajaan tersebut, akan tetapi kerajaan tersebut pasti
akan mengalami yang namanya kemunduran dan kehancuran.
Begitu pula pada
ketiga kerajaan terbesar yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu: kerajaan Syafawi, Mughal dan Usmani yang
semulanya mengalami kejayaan kemudian mengalami kehancuran dan kemunduran
dikarenakan oleh beberapa faktor penyebab keruntuhannya.
Setelah keruntuhan yang
dialami ketiga kerajaan ini, kemudian terjadilah kebangkitan Eropa, yang mana
pada kebangkitan Eropa ini mulai menggeser peradaban lain.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
faktor penyebab runtuhnya kerajaan Syafawi, Mughal dan Usmani?
2.
Bagaimana
terjadinya kebangkitan Eropa?
C. Tujuan
Masalah
Agar dapat mengetahui
faktor apa yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Syafawi, Mughal dan Usmani
kemudian mengetahui bagaimana terjadinya kebangkitan Eropa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehancuran dan
Kemunduran Kerajaan Syafawi
Salah satu penyebab
kehancuran kerajaan Syafawi adalah retak dan patahnya pilar-pilar agung
penopang kemajuan yang dimiliki kerajaan syafawi pada masa jayanya, sebagaimana
yang telah dikemukakan. Pilar-pilar agung tersebut retak satu demi satu dan
akhirnya patah sama sekali, sehingga kemunduran yang telah merayapi batang
tubuh kerajaan itu bertambah parah hingga membawanya menjadi hancur berantakan.
Sepeninggal Abbas I,
kerajaan Syafawi secara berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi
Mirza, Abbas II, Sulaiman, Husain, Tahmasap II dan Abbas III. Pada masa keenam
raja tersebut, kondisi kerajaan Syafawi tidak menunjukkan kenaikan dan
berkembang, tetapi justru sebaliknya memperlihatkan kemundurannya yang membawa
kehancuran.
Menurut Hodsgon, antara tahun 1629-1694 M,
politik pemerintahan banyak dikendalikan oleh para harem istana yang kebanyakannya berasal dari daerah Georgia.
Meskipun secara formal dalam periode tersebut telah memerintah tiga orang syah,
yaitu Safi Mirza (1629-1642 M), Syah Abbas II (1642-1667 M), dan Syah Sulaeman
(1667-1694 M), hanya Syah Abbas II (1642-1667 M) yang memiliki kepribadian
seperti Syah Abbas I, sehingga ia dapat menahan laju kemerosotan kerajaanya.
Adapun Syah Husen (1694-1722 M) karena kelemahannya, banyak menyerahkan
urusannya kepada para ulama Syi’ah yang sangat fanatik, sehingga banyak
melakukan kekejaman terhadap rakyat yang beraliran Sunni. Hal ini lah yang
menjadi biang keladi timbulnya pemberontakan yang membawa kehancuran kerajaan
Syafawi, setelah tegak selama dua abad lebih.
Safi Mirza, cucu Abbas,
adalah seorang pemimpin lemah. Ia suka minum-minuman keras dan sering melakukan
tindakan-tindakan yang sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan.
Akhirnya, kemajuan pernah dicapai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar
lepas dari kerajaan Syafawi diambil alih oleh kerajaan Mughal ketika kerajaan
ini diperintah Syah Jahan. Sementara Baghdad direbut oleh Kerajaan Turki
Usmani.
Selanjutnya, Sulaeman
memiliki perilaku yang tidak jauh berbeda dengan Safi Mirza. Di samping
pemabuk, ia juga banyak bertindak kejam terhadap para pembesar yang
dicurigainya. Akibatnya banyak kerajaan di Syafawi bersikap apatis terhadap
pemerintah. Ia kemudian digantikan oleh Shah Husein yang banyak memberi
kekuasaan besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya
terhadap penganut aliran Sunni.
Secara khusus ada tiga
faktor yang mempercepat mundur dan hancurnya kerajaan Syafawi.
1.
Adanya
pergantian Syah yang tidak konsisten
Sebagai sebuah dinasti,
pergantian Syah diturunkan kepada anak atau saudaranya. Namun , Realitas dalam
sejarah Syafawi, hal tersebut tidak berlaku. Banyak sekali Syah yang
membinasakan keluarganya, termasuk anaknya sendiri karena dianggap membahayakan
kelestarian tahtanya. Salah satu contohnya adalah Syah Abbas yang memenjarakan
ayah dan dua orang saudaranya di Alamut. Bahkan ia membunuh anaknya yang
sulung, hanya karena ia dekat dengan rakyatnya dan curiga jika ia mengadakan
pemberontakan. Akibatnya, setelah Syah Abbas meninggal, ia digantikan oleh
seorang cucunya yang lemah, yang kemudian bergelar Syah Safi Mirza.
2.
Petualangan
para tokoh pemerintah yang oportunis dari golongan qizilbash, gulam, harem dan ulama.
Pada saat-saat
tertentu, mereka mendapat kesempatan untuk menentukan roda pemerintahan di
bawah syah-syah yang lemah. Namun, mereka tidak melaksanakan amanah itu dengan
baik, serta memanfaatkannya secara sewenang-wenang. Akibatnya, timbullah
permusuhan antargolongan dalam kerajaan, sehingga kerajaan menjadi lemah.
Sebagainya contoh, pada pemerintahan Syah Husein para ulama Syi’ah yang
memerintah banyak yang berlaku kejam, yang mengakibat-kan bangkitnya golongan
Sunni untuk menumbangkannya.
3.
Menurut
loyalitas para pendukung kerajaan kepada kerajaan Syafawi.
Loyalitas Qizilbash bergeser pada suku
masing-masing, setelah Syah Ismail meninggal. Munculnya Ghulam yang dibina oleh
Syah Abbas telah berhasil menopang kerajaan dengan monoloyalitasnya yang tinggi
terhadap Syafawi. Akan tetapi setelah Syah Abbas I meninggal, loyalitas mereka
juga menurun dan mulai bergeser kepada asl-usul bangsa mereka sebagai bangsa
Georgia. Oleh karena itu, pada masa Syah Husein, ada beberapa pemimpin Georgian
yang sangat menentukan politik di ibukota Isfahan, seperti Georgia XI dan Kay
Khusraw. Dengan munculnya suatu bangsa dengan tingkat ashabiyah-nya tinggi seperti bangsa Afghan yang berusaha
menghancurkan Syafawi, Syafawi tidak dapat dipertahankan lagi, karena ditinggalkan
oleh para pendukungnya.
Selanjutnya, P. M. Holt dan Badri Yatim menambahkan
bahwa kemunduran kerajaan Syafawi disebabkan konflik berkepanjangan dengan
kerajaan Usmani dan dekadensi moral. Bagi kerajaan Turki Usmani, berdirinya
kerajaan Syafawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap
wilayah kekuasaannya. Konflik antara kerajaan Turki Usmani dan kerajaan Syafawi
berlangsung lama. Meskipun pernah berhenti ketika adanya perdamaian pada masa
Syah Abbas I, tidak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut sehingga
tidak ada lagi perdamaian di antara keduanya.
Penyebab langsung kehancuran kerajaan Syafawi adalah
penyerbuan bangsa Afghan terhadap ibu kota Isfahan pada tahun 1722 sehingga
dengan terpaksa Syah Husein menyerahkan mahkota kerajaan kepada Mir Mahmud,
pemimpin Afghan.
Pada waktu Syah Husein menyerahkan politik dan
birokrasi pemerintahan kepada orang-orang lain yang dipercayainya, pada satu
pihak ia memercayakan kepada orang-orang asing, seperti George XI dan Kay
Khursaw untuk menentukan balance politik,
tapi pada pihak lain ia memercayakan birokrasi pemerintahan kepada tokoh-tokoh
ulama Syi’ah, seperti Syekh Muhammad Baqir Majelisi.
Selanjutnya, bangsa Afghan mulai bangkit di bawah
pimpinan Mir Vays. Pada tahun 1709 M mereka melakukan pemberontakan terhadap
kerajaan Syafawi di Kandahar. Mereka berhasil menghancurkan pasukan Isfahan,
sehingga Kandahar terlepas dari kerajaan Syafawi. Pada tahun 1715 M, Mir Mahmud
menggantiakn ayahnya menjadi pemimpin Afghan. Untuk menjinakkan Amir Afghan
yang baru ini, Syah Husein mengangkatnya sebagai gubernur Kandahar dengan gelar
Husein Qulli Khan yang artinya budak Husein.
Akibat pengangkatan yang bernada penghinaan ini amir
bertekad menyerang ibukota Isfahan dalam waktu dekat, dan akhirnya ia berhasil
menduduki Isfahan, selama terjadi pengepungan tersebut banyak penduduk Isfahan
yang mengalami kelaparan dan penyakit merajalela. Lebih dari 8.000 penduduk
meninggal akibat kelaparan, penyakit dan peperangan. Mayat-mayat manusia
tertimbun membusuk di jalan-jalan. Akhirnya pada tanggal 12 Oktober 1722/ 1
Muharram 1135, Syah Husein menyerah kepada Mir Mahmud. Akhirnya Mir Mahmud
menerima mahkota kerajaan Syafawi dari Syah Husein sebagai Syah terakhir di
kerajaan tersebut. Akan tetapi anak dari Husein yang bernama Tahmasap II
memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah atas Persia dengan pusat
kekuasaannya di kota Astarabad. Tahmasap II memerangi dan mengusir Afghan yang
menduduki Isfahan, pada akhirnya kerajaan Syafawi kembali berkuasa.
Setelah Tahmasap II dipecat Nadir Khan kemudian
digantikan oleh Abbas III yang masih sangat kecil pada saat itu. Empat tahun
setelah itu Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai pengganti Abbas III. Dengan
demikian, berakhirlah kekusaan kerajaan Syafawi di Iran.
B. Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Mughal
Setelah satu setengah
abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak
sanggup mempertahankan kebesaran yang telah di bina oleh sultan-sultan
sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran.
Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat
menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di
belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam.
Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh
Jehangir menanamkan modal di India, dengan dukungan oleh kekuatan bersenjata semakin
kuat menguasai wilayah pantai. Sehingga yang diwarisi hanyalah kemewahan dan
kebesaran dalam istana yang disertai dengan dayang-dayang yang hanya akan
melemahkan sendi-sendi kepemimpinan pada kerajaan Mughal tersebut.
Ada dua hal yang
mengancam kebesaran Mughal di India itu selain kerajaan-kerajaan Brahmana yang
dibangun hendak melepaskan diri dari Mughal, demikian juga beberapa kerajaan
Islam yang lain. Adapun dual hal yang mengancam itu ialah, Pertama kerajaan
Iran di bawah pimpinan Nadir Syah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Umat
Islam Iran yang telah terdahulu, Nadir Syah setelah dapat merampas kekuasaan
dari pada keturunan Syafawi dengan akal yang asangat cerdik, dan setelah
berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, akhirnya timbulnya keinginannya yang
sangat besar untuk menaklukan kerajaan Mughal di Delhi Agra itu. Dengan
berbagai macam alasan terutama dengan tuduhan bahwa kerajaan Delhi banyak sekali memberikan bantuan kepada
kaum pemberontak Afganistan dan memberikan perlindungan kepada pelarian-pelarian
politik, maka diserangnyalah negeri itu 1739, yaitu dua tahun saja setelah
kekuasaan Iran bulat di tangannya.
Setelah ada beberapa
persetuan antara Sultan Muhammad Syah dan Nadir Syah, yang akhirnya membuat
Sultan Muhammad Syah mengakui atas kekuatan yang dimilki oleh Nadir Syah. Hal
ini ditandai dengan penyerahan berbagai
upeti yang sangat banyak kepada Nadir Syah sebagai syarat penyerahan diri serta
memberikan pengampunan dan perlindungan kepada Sultan Muhammad Syah dan rakyat
Delhi. Diantara benda-benda yang diserahkan kepada Nadir adalah singgasana
buruk merak yang sampai sekarang masih dapat dilihat di dalam istana Iran.
Demikian juga intan-berlian Koh-i-Nor yang terkenal itu.
Setelah masa-masa
pemerintahan Muhammad Syah berakhir maka digantikanlah oleh Sultan Alam Syah.
Pada masa ini Sultan Alam Syah berusaha merebut kembali wilayah Benggala dan
berhasil, tiba-tiba terjadilah peperangan dengan kompeni Inggris. Tidaklah
henti-hentinya peperangan itu. Kerajaan Mughal bertambah lama bertambah lemah,
kompeni Inggris bertambah lama bertambah kuat, Inggris mulai mempelajari
segi-segi kelemahan India dengan perbedaan agama antara Islam dan Hindu, dan
juga keinginannya raja-raja Islam yang masing-masing hendak berdiri sendiri.
Kesesudahannya lemahlah Sultan Alam Syah dan patah semangat perlawanannya,
sehingga diterimanya perdamaian dengan Inggris, bahwa dia menyerahkan
pemungutan bea-cukai benggala, Bihar, dan Orisa, dengan menerima ganti kerugian
2.600.000 rupiah.
Bertambah celaka dan
malanglah nasib Sultan Alam Syah seketika seorang panglima perangnya
menagkapnya dan menghukumnya dengan mengorek kedua matanya hingga buta (1788),
maka bertambah kacau balaulah pertahanan Delhi yang penghabiskan itu. Hari demi
pindahlah kewibawaan kekuasaan pemerintahan kepada Inggris. Akhirnya kompeni
Inggris memberinya saja “ganti rugi ” sebanyak 90.000 rupiah sebuhal, cukup
untuk belanjanya dalam istananya saja, dan diberi hak terus memakai gelar
“Sultan”, dalam keadaan buta dan seluruh kekuasaan terserahlah mulai waktu itu
kepada Inggris
Sultan Alam Syah, cahaya yang akhir dari
kerajaan Mughal India itu wafat pada tahun 1806. Lalu Alam Syah diganti oleh
Muhammad Akbar (1806-1837), lalu dilanjutkan oleh Bahadur Syah.
Pada masa
pemerintahan Bahadur Syah ini, mulai terjadilah pemberontakan pada tahun 1857
yang diusahakan untuk melawan pemerintahan Inggris dengan kongsi dagangnya
yaitu EIC. Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris
mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris
kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka di
usir dari kota Delhi, rumah-rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur
Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M). Dengan demikian,
berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan india dan tinggalah di
sana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.
Adapun
maharaja-maharaja India brahmana dan sultan-sultan islam yang tinggal, yang
telah banyak berjasa kepada inggris dalma menguatkan imperialismenya di sana,
diberi kemegahan dan kekuasaan, memakai gelar pusaka dan diberi
bintang-bintang. Seketika Ratu Victoria dialntik menjadi kaisar India,
maharaja-maharaja itupun datanglah berduyun-duyun ke London, menjadi pengawal
dari Kaisar Ratu Inggris itu, selama peralatan besar diadakan. Sampai akhirnya
Indiapun merdeka dan kembali kepada rakyatnya sendiri dan terbelah dengan
Pakistan sebab yang beragama Islam ingin hendak mendirikan negara dengan
cita-citanya sendiri.
Sebelum Bahadur Syah di
usir ke wilayah Rangon atau Birma saat ini, terdapat suatu kejadian yang sangat
membuatnya sedih sekali yaitu ketika dia ditangkap dan dipenjarakan, lalu dia
pun merasakan lapar dan dia meminta makanan kepada serdadu Inggris. Maka ketika
membawa makanan yang berada di dalam talam emas dan dulang emas yang merupakan
bekas perhiasan dari istana Inggris. Hal yang tidak disangka-sangka pun
terjadi, yaitu ketika tutup dari nampan tersbut dibuka, sekujur tubuhnya
gemetar dan pingsan sebab diatas nampan tersebut terdapat dua buah kepala
puteranya yang sangat dicintainya. Setelah kejadian tersebut, maka berakhirnya
keturunan dari Bahadur Syah.
Namun ada
sedikit tambahan bahwasannya pemberontakan yang dilakukan oleh Bahadur Syah dan
kawan-kawannya tersebut sering kali disebut dengan “Pemberontakan Sipahi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan
Dinasti Mughal ini mundur pada satu setengah abad terakhir, dan membawa
kehancuran pada tahun 1858 M adalah terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan
militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat
segera di pantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan
darat. Bahkan mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persejataan buatan
Mughal itu sendiri.
Pendekatan Aurangzeb
yang terlampau kasar dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan
asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh
sultan-sultan sesudahnya. Dekadensi moral dan gaya hidup mewah di kalangan
elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara. Semua
pewaris kerajaan pada masa terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang
kepemimpinan, sehingga tidak mampu menangani kemerosotan politik dalam negeri.
Faktor ini
ditandai dengan banyaknya gerakan pemberontakan sebagai akibat dari lemahnya
para pemimpin kerajaan Mughal setelah kepemimpinan Aurangzeb, sehingga banyak
wilayah-wilayah kerajaan Mughal yang terlepas dari kekuasaan Mughal. Adapun
pemberontakan-pemberontakan tersebut antara lain:
Kaum Hindu yang
dipimpin oleh Banda berhasil merebut Sadhura, letaknya di sebelah utara Delhi
dan juga kota Sirhind. Golongan Marata yang dipimpin oleh Baji Rao dan berhasil
merebut wilayah Gujarat. Pada masa pemerintahan Syah Alam terjadi beberapa
serangan dari pasukan Afghanistan yang dipimpin oleh Ahmad Khan Durrani. Syah
Alam mengalami kekalahan dan Mughal jatuh pada kekuasaan Afghanistan.
Adanya perdagangan dan
kekuasaan Inggris di India. Pada abad ke-18, terjadi pertempuran antara Prancis
dan Inggris yang disebabkan karena perebutan daerah kekuasaan di Asia,
pertempuran tersebut dimenangkan oleh Inggris yang nantinya membuat orang-orang
Inggris melakukan penaklukan daerah-daerah India satu – persatu. Awalnya
Inggris melakukan perdagangan di India melalui EIC (British East India Company,
yang memproduksi kain sutra dan tenun dengan mendirikan pabrik-pabrik di Bombay,
Madras, dan Kalkuta. Dari beberapa kejadian yang telah terjadi pada masa-masa
kerajaan Mughal tersebut maka dapatlah kita ketahui beberapa hal yang
menyebabkan kehancuran kerajaan tersebut terjadi, diantaranya: Bidang Militer, Bidang
Sosial, Bidang Politik, Bidang Pemerintahan, Bidang Ilmu Pengetahuan, Bidang
Ekonomi.
C.
KEMUNDURAN KERAJAAN USMANI
Setelah
Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki
fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan
kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti
oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran antara
armada laut kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari
angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan
sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol.
Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki
Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh.
Baru pada masa sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia
dapat direbut kembali.
Walaupun
Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan
hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan
menguasai Tiflis di Laut HitM (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibukota
Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia dan
mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun, kehidupan moral sultan
yang jelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Kekacauan ini makin
menjadi-jadi dengan tampilnya sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad
III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan
menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi.
Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul kerajaan Usmani.
Meskipun Sulta Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit
untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapai kejayaan kerajaan Usmani di
mata bangsa-bangsa Eropa sudah semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa
pemerintahannya yang pertama(1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena
gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan
diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga
tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit
mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak
mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV
(1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan.
Pasukan Jennissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan
tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi
negara secara keseluruhan.
Situasi
politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintaha
Ibrahim (1640-1648 M), karena ia termasuk oranag yang lemah. Pada masanya ini,
orang-orang Penetia melakuka peperangan laut melawan dan berhasir mengusir
orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu
membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) pada
kedudukan sebagai wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberi
kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan
stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya
dipegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya
sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna.
Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara
berturut-turut. Pada masa masa selanjutnya, wilayah Turki Usmani yang luas itu
sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara
Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699 M, terjadi “Perjanjian Karlowith”
yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia
dan Croasia kepada Hapsburg dan Hemenieztz, Padolia, Ukraina, Morea, dan
sebagian Dalmatia kepada orang orang Venetia. Pada tahun 1770 M, tentara Rusia
mengalahkan armada kerajaan Usmani disepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi,
tentara rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774
M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan
Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abdul Hamid (1774-1789 M), seorang
yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan
perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia.
Isi perjanjian itu: (1) kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang
berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk
melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih, dan (2)
kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Banyak
faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, diantaranya
adalah:
1.
Wilayah
kekuasaan yang sangat luas
2.
Heterogenitas
penduduk
3.
Kelemahan para
penguasa
4.
Budaya pungli
5.
Pemberontakan
tentara Jennissari
6.
Merosotnya
ekonomi
7.
Terjadinya
stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi
Demikianlah proses kemunduran kerajaan
besar Usmani pada masa selanjutnya di periode modern, kelemahan kerajaan ini
menyebabkan kekuatan-kekuatan eropa tanpa segan segan menjajah dan menduduki
daerah-daerah muslim yang dulunya dibawah kekuasaan kerajaan Usmani, terutama
di Timur Tengan dan Afrika Utara.
D. KEMAJUAN EROPA (BARAT)
Bersamaan waktunya dengan kemunduran
tiga kerajaan Islam di periode pertengahan sejarah Islam, Eropa Barat (biasa
disebut dengan “Barat” saja), sedang mengalami kemajuan dengan pesat. Hal ini
berbanding terbalik dengan masa klasik sejarah Islam. Ketika itu, peradaban
Islam dikataka paling maju, memancarkan sinarnya ke seluruh dunia, sementara
Eropa sedang berada dalam kebodohan dan keterbelakangan.
Kemajuan Eropa (Barat) memang bersumber
dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berpikir Islam yang rasional. Di
Perang Salib, Sicilia, dan yang terpenting adalah Spanyol Islam. Ketika Islam
mengalami kejayaan di Spanyol, banyak orang eropa yang belajar ke sana,
kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat islam. Hal ini dimulai sejak
abad ke-12 M. Setelah mereka pulang ke negeri masing-masing, mereka mendirikan
universitas dengan meniru pola Islam dan mengajarka ilmu-ilmu yang dipelajari
di universitas-universitas Islam itu. Dalam perkembangan selanjutnya, keadaan
ini melahirkan renaissance, reformasi, dan rasionalisme di Eropa.
Gerakan-gerakan renaissance melahirkan
perubahan-perubahan besar dalam sejara dunia. Abad ke-16 dan 17 M merupakan
abad yang paling penting bagi Eropa, sementara pada akhir abad ke-17 itu pula,
dunia islam mulai mengalami kemunduran. Dengan lahirnya renaissance, Eropa
bangkit kembali untuk mengejar ketinggalan mereka. Mereka menyelidiki rahasia
alam, menaklukkn lautan, dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi
kegelapan. Banyak penemuan-penemuan dalam segala lapangan ilmu pengetahuan dan
kehidupan yang mereka peroleh. Christoper Colombus pada tahun 1492 M, menemukan
benua Amerika dan Vasco da Gama tahun 1498 M, menemukan jalan ke timur melalui
Tanjung Harapan. Dengan dua temuan ini, Eropa memperoleh kemajuan dalam dunia
perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat
Islam.
Terangkatnya perekonomian bangsa-bangsa
Eropa disusul pula dengan penemuan dan perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
Perkembangan itu semakin dipercepat setelah mesin uap ditemukan, yang kemudian
melahirkan revolusi industri di Eropa. Teknologi perkapalan dan militer
berkembang dengan pesat. Dengan demikian, Eropa menjadi penguasa lautan dan
bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan dari dan keseluruh dunia,
tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan-lawan yang masih menggunakan
persenjataan tradisional.
Sementara itu, kemerosotan kaum muslimin
tidak terbatas dalam bidang ilmu dan kebudayaan saja, melainkan juga disegala
bidang. Mereka ketinggalan dari Eropa dalam industri perang, padahal keunggulan
Turki Usmani di bidang ini pada masa-masa sebelumnya diakui oleh seluruh dunia.
Dengan organisasi dan persenjataan
modern pasukan perang Eropa mampu melancarkan pukulan telak terhadap
daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti Kerajaa Usmani kerika berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan Eropa dan Kerajaan Mughal dan ketika berhadapan dengan
Inggris. Daerah-daerah kekuasaan Islam lainnya juga mulai berjatuhan ke tangan
Eropa, seperti Asia Tenggara, bahkan Mesir, salah satu pusat peradaban islam
yang terpenting diduduki Napoleon Bonaparte dari Prancis pada tahun 1798 M.
Benturan-benturan antara kerajaan Islam
dan kekuatan Eropa itu menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang sudah jauh
tertinggal dari Eropa. Kesadaran itulah yang menyebabkan umat Islam di masa
modern terpaksa harus banyak belajar dari Eropa.perimbangan kekuatan antara umt
Islam dan Eropa berubah dengan cepat.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Secara
umum penyebab kemunduran ketiga kerajaan besar adalah dikarenakan lemahnya
penguasa yang berkuasa, merosotnya ekonomi, terjadinya perebutan
kekuasaan,serta adanya pemberontakan dari luar dan dalam.
2.
Kemajuan
eropa (barat) bersamaan dengan kemunduran tiga kerajaan besar. Bermula dari
orang eropa yang belajar dari masyarakat muslim di spanyol. Setelah mereka
kembali ke negara asal mereka (barat) mereka pun mengembangkan ilmu-ilmu
tersebut dengan membangun universitas-universitas yang mirip dengan universitas
muslim di spanyol.
b. Saran-saran
Penulis
menyadari kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam makalah ini. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun
untuk perbaikan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Kusdiana,
Ading, Sejarah dan Kebudayaan Islam
Periode Pertengahan, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, Jakarta: PT RajaGrafindo Prasada, 2010,
<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
Komentar
Posting Komentar