A. PENDAHULUAN
Manusia
memang sejatinya tidak akan bisa lepas dari kehidupan sosial. Karena memang manusia itu merupakan
makhluk sosial, makhluk yang memerlukan orang lain, berkomunikasi dengan
sesama, bertukar pikiran, tolong-menolong dan lain sebagainya. Dalam pandangan
Islam seseorang tidak akan dikatakan sempurna imannya sampai ia mencintai
saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Dalam
hidup bermasyarakat perlu adanya kepedulian antara manusia satu dengan manusia
lainnya. Rasulullah pun mengajak umatnya untuk peduli kepada sesama makhluk
Allah, dan saling bergotong-royong untuk saling membantu. Dan meringankan
penderitaan orang lain sangat dianjurkan untuk umat Rasulullah.
Banyak
yang belum mengetahui pentingnya memahami isi kandungan hadist tentang
kepedulian social ini, yang pada hakikatnya pandangan Islam yang demikian sudah
benar, tetapi kenyataannya sekarang masih banyak orang yang kurang peduli
terhadap permasalahan sosial ini sehingga tatanan sosial menjadi kurang
seimbang yang mengakibatnkan banyak terjadi kekacauan seperti pencurian,
perampokan, dan lain-lain. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai
kepedulian sosial dalam perspektif hadits Rasulullah SAW.
B. MEMPERHATIKAN KESULITAN ORANG LAIN
1. Hadits
Tentang Memperhatikan Kesulitan Orang Lain
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ
كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ اَلدُّنْيَا، نَفَّسَ اَللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اَلْقِيَامَةِ،
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ،
يَسَّرَ اَللَّهُ عَلَيْهِ فِي اَلدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اَللَّهُ فِي اَلدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ،
وَاَللَّهُ
فِي عَوْنِ اَلْعَبْدِ مَا كَانَ اَلْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ». ﴿أَخْرَجَهُ
مُسْلِم﴾
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ
كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا.) أخرجه البخارى(
عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ
كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ قَالَ تَعْدِلُ بَيْنَ الاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ وَتُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ
عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ قَالَ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ وَكُلُّ خُطْوَةٍ تَمْشِيهَا
إِلَى الصَّلاةِ صَدَقَةٌ وَتُمِيطُ الاذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ )أخرجه مسلم في كتاب الزكاة(
2.
Terjemahan Hadist
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu
‘anhu, ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
‘Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah
akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi
kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan
kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka
Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong
hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.
(BM: 1493)
“Diriwayatkan
dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang
mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya
saling mengokohkan.” (HR. Bukhari)
“Dari Abu Hurairah r.a. beliau
berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Setiap ruas tulang pada badan manusia
wajib atasnya untuk sedekah pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan
keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah, kamu membantu
orang yang menaiki kendaraan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya
kedalam kenderaan adalah sedekah, perkataan yang baik adalah sedekah, setiap
langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang
perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah.”
3. Mufradat
نَفَّسَ
|
Bebaskan
|
الطَّرِيقِ
|
Jalan
|
اَلدُّنْيَا
|
Dunia
|
كُرَبِ
|
Kesulitan
|
صَدَقَةٌ
|
Sedekah
|
الطَّيِّبَةُ
|
Kendaraan
|
الشَّمْسُ
|
Matahari
|
الصَّلاةِ
|
Sholat
|
4. Penjelasan
Hadist
Sikap
individualistis adalah sikap mementingkan diri sendiri, tidak memiliki kepekaan
terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain. Menurut agama, sebagaimana di
sampaikan dalam hadits di atas adalah termasuk golongan orang-orang yang tidak
(smpurna) keimanannyanya.
Seorang
mukmin yang ingin mendapat ridla Allah swt. Harus berusaha untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesama
saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits di atas.
Namun
demikian, hadits di atas tidak dapat diartikan bahwa seorang mukmin yang tidak
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri berarti tidak beriman.
Hadits di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan
dalam arti sebenarnya.
Persaudaraan yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan dan bukan
hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci.
Persaudaraan yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah swt. Dengan kata
lain, persaudaraan yang didasarkan Illah, sebagaimana diterangkan dalam banyak
hadits tentang keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah SWT.
Sifat persaudaraan kaum
mukmin yatiu mereka yang saling menyayangi, mengasihi dan saling membantu.
Demikian akrab, rukun dan serempak sehingga merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan satu sama lain. Dalam hal satu kesatuan ini, Nabi saw.
mengibaratkan dalam berbagai hal, di antaranya dengan tubuh, bangunan dan
lainnya. Jika salah satu ada yang menghadapi kesulitan, maka yang lainpun harus
belasungkawa dan turut menghadapinya. Begitupun sebaliknya.
Orang yang mencintai
saudaranya karena Allah akan memandang bahwa dirinya merupakan aslah satu
anggota masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan untuk kebahagiaan bersama.
Apapun yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia
anggap sebagai kebahagiaan dan kesengsaraannya juga. Dengan demikian, terjadi
keharmonisan hubungan antarindividu yang akan memperkokoh persatuan dan
kesatuan. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menyatakan:
Sebaliknya, orang-orang
mukmin yang egois, yang hanya mementingkan kebahagiaan dirinya sendiri, pada
hakikatnya tidak memiliki keimanan yang sesungguhnya. Hal ini karena perbuatan
seperti itu merupakan perbuatan orang kufur dan tidak disukai Allah swt.
Tidaklah cukup dipandang mukmin yang taat sekalipun khusyuk dalam shalat atau
melaksanakan semua rukun Islam, bila ia tidak peduli terhadap nasib saudaranya
seiman.
Namun
demikian, dalam mencintai seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas, harus
didasari lillah. Oleh karena itu, harus tetap memperhatikan rambu-rambu syara’.
Tidak benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman sehingga ia mau menolong
saudaranya tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa kepada Allah swt.
Sebaiknya,
dalam mencintai sesama muslim, harus mengutamakan saudara-saudara seiman yang
betul-betul taat kepada Allah swt. Rasulullah saw. memberikan contoh siapa saja
yang harus terlebih dahulu dicintai, yakni mereka yang berilmu, orang-orang
terkemuka, orang-orang yang suka berbuat kebaikan, dan lain-lain sebagaimana
diceritakan dalam hadits.
Dalam
hadits di atas, dijelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang
wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang iman itu menjadi sah
kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah
adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan
menyingkirkan duri atau batu dari jalan mereka.
Hadist
di atas menunjukkan bahwa dalam Islam, sekecil apapun perbuatan baik akan
mendapat balasan dan memiliki kedudukan sebagai salah satu pendukung akan
kesempurnaan keimanan seseorang.
C. MERINGANKAN PENDERITAAN DAN BEBAN ORANG LAIN
1. Hadist
Meringankan Penderitaan Orang Lain
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «المُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ ،
لاَ يَظْلِمُهُ يُسْلِمُهُ . مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أخِيهِ،
كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً،
فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ يَومِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ يَومَ
القِيَامَةِ».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ وَمُسْلِم وأَبُو
دَاوُد وَالنَّسَائِيّ وَالتِّرْمِذِيّ﴾
حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ
وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْئَلَةَ: اَلْيَدُ الْعُلْيَى خَيْرٌ مِّنَ الْيَدِ السُّفْلَى، فَالْيَدُ الْعُلْيَى هِيَ الْمُنْفِقَةُ
وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ (أخرجه البخارى فى : 24 كتاب الزكاة: 18 – لاصدقة إلاّ عن ظهر غنى - )
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِ
لأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ. )رواه البخارى ومسلم وأحمد والنسائى(
2.
Terjemahan Hadist
Dari ‘Abdullah bin
‘Umar rađiyaLlāhu ‘anhuma, ia mengabarkan bahwa Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia
tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu
kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang
menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu
kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang
menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari
qiyamat”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2262)(AN: 23)
Ibnu
Umar ra. Berkata, “Ketika Nabi saw. Berkhotbah di atas mimbar dan menyebut
sedekah dan minta-minta, beliau bersabda, ”Tangan yang di atas lebih baik
daripada tangan yang di bawah, tangan yang di atas memberi dan tangan yang di
bawah menerima.”
Anas
ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah termasuk beriman seseorang di
antara kami sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
3. Mufradat
ايُحِبُّ
|
Cinta
|
يَومَ القِيَامَةِ
|
Hari Kiamat
|
لِنَفْسِهِ
|
Diri sendiri
|
أخُو
|
Saudara
|
يَظْلِمُهُ
|
Zhalim
|
حَاجَةِ
|
Membantu
|
الْمُنْفِقَةُ
|
Munafiq
|
4. Penjelasan
Hadits
Hadits
di atas mengajarkan kepada kita untuk selalu memperhatikan sesama muslim dan
memberikan pertolongan jika seorang mendapatkan kesulitan.Melepaskan
kesusahan orang lain sangat luas maknanya, bergantung pada kesusahan yang
sedang diderita oleh saudaranya seiman tersebut. Jika saudaranya termasuk orang
miskin, sedangkan dia termasuk orang yang berkecukupan atau kaya, dia harus
berusaha menolongnya dengan cara memberikan pekerjaan atau bantuan sesuai
kemampuanya; jika saudaranya sakit, dia berusaha menolongnya, antara lain
dengan membantu memanggilkan dokter atau memberikan sebagian uangnya guna
meringankan biaya pengobatanya.
Orang
muslim yang membantu meringankan atau melonggarkan kesusahan saudaranya yang
seiman berarti telah menolong hamba Allah SWT. Allah
pun akan memberikan pertolongan-Nya serta menyelamatkannya dari berbagai
kesusahan, baik di dunia maupun di akhirat.
Begitu
pula orang yang membantu kaum muslimin agar terlepas dari berbagai cobaan dan
bahaya, ia akan mendapat pahala yang lebih besar dari Allah SWT. Dan Allah SWT
pun akan melepaskannya dari berbagai kesusahan yang akan dihadapinya, baik di
dunia maupun di akhirat, pada hari ketika harta benda, anak, maupun benda-benda
yang selama ini dibanggakan di dunia tidak lagi bermanfaat. Pada waktu itu
hanya pertolongan Allah saja yang akan menyelamatkan manusia. Berbahagialah
bagi mereka yang bersedia untuk melepaskan penderitaan sesama orang mukmin
kerena pada hari kiamat nanti, Allah akan menyelamatkannya.
Adakalanya suatu masalah sangat sulit untuk diatasi atau
hanya dapat diselesaikan oleh yang bersangkutan. Terhadap masalah seperti itu,
seorang mukmin ikut melonggarkannya atau memberikan pandangan dan jalan keluar,
meskipun dia sendiri tidak terlibat secara langsung. Bahkan, hanya dengan mendengarkan
curhat atau keluhannya saja sudah cukup untuk mengurangi beban yang dihadapi
olehnya. Dengan demikian, melonggarkan kesusahan orang lain haruslah sesuai
dengan kemampuan saja dan bergantung pada kesusahan yang sedang dialami oleh
saudaranya seiman tersebut. Orang yang berusaha sekuat tenaga untuk
melonggarkan penderitaan saudaranya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya,
dia akan mendapat pertolongan dari Allah SWT, yaitu Allah akan melonggarkan
berbagai kesusahannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Orang
mukmin pun harus berusaha menutupi aib saudaranya. Dia harus berusaha menjaga
rahasia saudaranya. Apalagi jika dia tahu bahwa orang yang bersangkutan tidak
akan senang kalau aib atau rahasianya diketahui oleh orang lain. Namun jika
keaiban itu termasuk kejahatan, maka dia tidak boleh menutupinya. Jika dia tetap saja menutupi aib tersebut,
perbuatan seperti itu sangat dicela dan tidak dibenarkan dalam islam,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 2)
Dengan
demikian, jika melihat seseorang akan melakukan kejahatan atau dosa, setiap mukmin
harus berusaha untuk mencegahnya dan
menasehatinya. Jika orang tersebut sudah terlanjur melakukan perbuatan dosa,
suruhlah bertaubat kerena Allah maha pengampun dan maha penerima taubat.
Tindakan itu termasuk pertolongan juga kerena berusaha menyelamatkan seseorang
dari adzab Allah. Itulah makna lain dari menutupi aib kaum muslimin, yakni
menutupi agar saudaranya tidak terjerumus ke dalam kesesatan dan dosa. Allah
pun akan menutupi aib kita di dunia
maupun di akhirat jika kita mampu menjaga aib baik maupun buruk sesama muslim
di dunia.
Yang paling penting
dalam melakukan perbuatan yang dianjurkan syara’, seperti menolong atau
melonggarkan kesusahan orang lain, adalah tidak mengharapkan pamrih dari orang
yang di tolong, melainkan ikhlas adalah semata-mata menjalankan perintah Allah
dan di dasari rasa iman dan ingin mendapatkan ridho-Nya.
Sebenarnya,
inti dari hadits di atas adalah agar umat islam memiliki jiwa kepedulian yang
tinggi dan kepekaan terhadap saudara-saudara seimannya. Orang yang memiliki
harta melebihi orang lain, hendaknya tidak menjadikan sombong atau tinggi hati
serta tidak mau menolong orang yang sangat membutuhkan pertolongannya. Karena
pada hakikatnya Allah menciptakan manusia dengan kehidupan yang berbeda-beda
itu adalah untuk saling melengkapi satu sama lain.
Jika
dunia ini hanya di huni oleh orang yang kaya, siapa yang akan menjadi petani
atau mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh orang yang miskin? Dengan
demikian pada hakikatnya hidup di dunia ini saling melengkapi, orang kaya tidak
akan kaya jika tidak ada orang miskin, semakin kaya seseorang, ia semakin
membutuhkan orang miskin.
Rasulullah
Bersabda: “Kalian ditolong dan diberi rejeki hanyalah oleh kaum lemah di antara
kalian.”(HR.Bukri).
Peduli
terhadap sesame tidak hanya dalam masalah materi saja, tetapi dalam berbagai
hal yang menyebabkan orang lain susah. Jika mampu, setiap muslim harus berusaha
untuk menolong sesaman.
D.
KESIMPULAN
Dalam Islam, manusia tidak bisa hidup
seorang diri karena manusia mempunyai sifat bersosialisasi di dalam masyarakat.
Sesama muslim harus saling membantu dan menolong dalam kesulitan agar selalu
memperhatikan kesusahan-kesusahan saudara-saudaranya.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup
sendirian atau makhluk yang saling ketergantungan dengan yang lain, selain
memiliki hubungan dengan penciptanya, juga memiliki hubungan dengan sesama
makhluk, sehingga dalam agama islam di ajarkan bagaimana cara untuk menjaga
hubungan tersebut, kita dianjurkan untuk melapangkan orang lain, sayang memberi
satu sama lainnya, meringankan penderitaan orang lain, serta membuang duri dari
jalan selain mendapat pahala bersedekah, secara tidak langsung kita telah
melindungi saudara kita dari mara bahaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Husna Khotimatul, 40 Hadits Pedoman Membangun Toleransi, Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2006
Al Heleli, Maghdi, Fait First, Semarang : Pustaka Nuun, 2009
Ibnu Hajar AL Asqolani, Al Hafizd, Terjemah Bulughul Maram, Ter.
Hamim Thohari Ibnu M. Dailimi,
Beirut: Dar al Kotob al Ilmiyah, 2002
AsmoroToto, Menuju Muslim Kaffah, Jakarta: Gema Insani
Press, 2000
Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 1993
Husna,
Khotimatul, 40 Hadits Pedoman Membangun Toleransi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2006), hlm.106
Al
Heleli, Maghdi, Fait First, (Semarang : Pustaka Nuun, 2009), hlm.272
Ibnu
Hajar AL Asqolani, Al Hafizd, Terjemah Bulughul Maram, Ter. Hamim Thohari
Ibnu M. Dailimi, (Beirut: Dar al Kotob al Ilmiyah, 2002), hlm.209
AsmoroToto, Menuju Muslim Kaffah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
hlm.154
Ahmad
Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993), hlm.317
Komentar
Posting Komentar