SEJARAH PERKEMBANGAN
HADIS PRA KODIFIKASI
A.
Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadis pra kodifikasi
maksunya adalah pada masa sebelum pembukuan. Mulai sejak zaman Rasulullah saw
hingga ditetapkannya pembukuan hadis secara resmi (kodifikasi)
Nabi saw adalah teladan yang
senantiasa dicontoh para sahabat. Setiap perkataan, perbuatan dan taqdir Nabi
saw, menjadi referensi kehidupan sahabat-sahabat tersebut. Oleh sebab itu,
tidak mengherankan kalau hamper setiap gerak-gerik Rasul diketahui dan
diriwayatkan oleh sahabat-sahabatnya itu. Dengan demekian, bagi mereka Nabi saw
adalah sumber ilmu pengetahuan dan patron kehidupan ideal.
Dalam berbagai kesempatan Nabi saw
mengajarkan ilmu (sunnah) kepada para sahabatnya. Hal itu beliau lakukan dengan
cara yang cukup menarik sehingga tetap efektif menarik minat
sahabat-sahabatnya. Dari bibir Nabi saw sering meluncur motivasi dan hikmah.
Beliau menjelaskan bahwa kedudukan ilmu pengetahuan memegang peranan yang
penting dalam kehidupan.
B.
Hadis pada Masa Rasulullah saw
Nabi saw adalah guru sunnah
terbaik. Dalam periode inilah sunnah terbentuk dan di amalkan secara konsisten
dan universal. Dengan metode pengajaran yang baik, para sahabat semakin
tertarik untuk terus mengikuti pengajaran Nabi saw. Sejumlah penulis ‘ulumul
al-hadis mencatat paling tidak ada tujuh metode yang dipakai Nabi saw. Dalam
mengajarkan ilmu sunnah sebagaimana yang dilakukan Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib
dan Abu Zahra, yaitu tadarruj
(gradual), Markaz at-ta’lim (memiliki
pusat kegiatan pengajaran), Husn
at-tarbiyyah wa ta’lim (metode pendidikan dan pengajaran yang baik), Tanwi’ wa taghyir (membagi dan memilah
masalah), tathbig al-amali (aplikasi
langsung), mura’ah al-mustawiyat
al-mukhalifah (berdasarkan tingkat perbedaan kecerdasan), Taisir wa ‘adam at-tasydid (mempermudah
dan melenyapkan kesukuran), ta’lim
an-nisa (mengajari kaum wanita). Namun disini metode Rasul itu akan
dijelaskan berdasarkan klasifikasinya sesuai sudut pandang objektifnya.
1. Cara Penyampaian Hadis pada Masa
Rasulullah
Dalam
menyampaikan pengajaran Nabi saw memiliki cara-cara tertentu mendidik
sahabat-sahabatnya kejalan sunnah. Cara-cara itu merupakan bagian dari
keberhasilan manajemen dakwah Nabi saw merubah sahabat menjadi generasi yang
memiliki tingkat kepengikutan yang tinggi kepada sunnah. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Husn
at-tarbiyyah wa ta’lim
Nabi memberikan
pengajaran dan pendidikan dengan cara yang baik sehingga sahabat mrasa puas
dengan keterangan dan perilaku Nabi. Beliau adalah guru yang penuh keikhlasan,
perhatian, kasih syang dan sopan dalam penyampaiannya. Ketika berceramah Rasul
memberikan keterangan yang jelas dengan suara yang lantang dan tegas.
Diriwayatkan bahwa ekspresi Nabi saw berpidato seakan-akan sebagai seorang
komando perang yang siap bertempur, ia penuh semangat dan antusias. Bahkan ia
tidak enggan untuk mengulang penjelasannya ketika ada sahabat yang belum
memahami uraiannya. Jika ada pertanyaan, beliau memberikan jawaban lebih dari
yang ditanya oleh si penanya.
b. Tadarruj
Nabi memeberikan
pengajaran dengan cara bertahap sebagaimana Al-Qur’an diturunkan dengan metode
yang sama. Kedudukan sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an tentunya mengikuti pola
gradualitas wahyu tersebut. Ini berarti Al-Qur’an dan sunnah sangat
mempertimbangkan factor cultural sosial, dan sikologis masyarakat dalam
menerima dan mengamalkan ajaran islam. Tahapan itu merupakan hikmah terbesar
didalam pensyariatan hukum Allah bagi manusia agar merasuk kedalam setiap jiwa
masyarakat.
c. Tanwi
wa taghyir
Pada waktu itu
Rasulullah saw memberikan pengajaran dengan cara memilah dan membagi masalah
yang diajarkan agar sahabat mudah memahami dan tidak merasa jemu. Demikian juga
beliau merubah pola-pola penyampaian dan pengajaran dengan variatif. Ini
merupakn bagian dari mabajemen pengajaran Nabi yang dilakukannya agar sahabat
sedikit demi sedikit tapi pasti mampu memahami dan mengamalkan sunnah. Sehingga,
pendidikan islam tetap melekat di dalam setiap relung hati sahabat
d. Tathbiq
al-‘amali
Rasul tidak
hanya memberikan penjelasan kepada sahabatnya tetapi juga dalam berbagai
kesempatan ia melakukan praktek langsung terhadap apa yang disampaikannya. Misalnya,
Rasul mengajarkan sejumlah ayat Al-Qur’an kepada sahabat, lalu menyuruh sahabat
membacanya kembali dan menerapkannya dalam kehidupan mereka. Usman Bin Affan,
Abdullah Bin Mas’ud dan lainnya. Setelah mempelajari 10 ayat dari Nabi saw,
biasanya mereka tidak menambahnya sehingga mereka mempelajari ilmu dan
mengamalkannya. Mereka berkata: “kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu dan
pengamalannya sekaligus.”
e. Mura’ah
al-mustawayat al-mukhalifah
Dalam melakukan
pengajaran Nabi saw selalu mempertimbangkan kondisi objektif, sikologis dan
kecerdasan orang yang bertanya kepadanya. Rasul tidak menyamaratakan seluruh
sahabat. Oleh sebab itu, ditemukan pola pengajaran dan jawaban yang beda yang
diberikan Rasul saw kepada para sahabat. Rasulullah saw pernah ditanya seorang
sahabat tentang amalan yang utama, Nabi menjawab dengan jawaban yang
berbeda-beda diantara para penanya. Rasul juga menyesuaikan pertanyaan dengan
kecerdasan orang yang bertanya. Nabi pernah ditanya oleh suku Badui,
“sesungguhnya istriku melahirkan seorang anak yang berkulit hitam, aku
mengingkarinya.” Nabi menjawab, “apakah engkau memiliki unta?” ia menjawan
“betul”. Nabi bertanya lagi, “apa warnanya?” ia mengatakan “merah”, Nabi
berkata, “apakah diantara unta itu ada warna kelabu?” ia menjawab, “sungguh ada
yang kelabu.” Nabi kembali bertanya, “bagaimana hal itu bisa terjadi?” ia
menjawab, “kemungkinan disebabkan asal-usulnya” Nabi berkata “anakmu itu
kemungkinan mengikuti asal-usul nasabnya.”
f. Taisir
wa ‘adam at-tasydid
Ajaran Nabi saw
bertitik tolak pada pengabdian diri kepada Allah dan kemudahan ummat manusia.
Oleh sebab itu, hakikat islam adalah pengabdian sekaligus kemaslahatan hidup
manusia didunia dan diakirat. Melalui Anas Nabi saw pernah bersabda
“permudahlah dan jangan mempersukar.”
2. Larangan Menulis Hadis pada Masa
Rasulullah
Pada masa Rasulullah saw sedikit
sekali sahabat yang bisa menulis sehingga yang menjdi andalan mereka yang
menerima hadis adalah dengan menghafal. Menurut Abd al-Nashr Allah telah
memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan
menghafal, mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, hadis dan syair dengan bagus.
Perhatian sahabat terhadap hadis
sangat tinggi, terutama dibagian majlis Nabi atau tempat untuk menyampaikan
risalah islamiyah seperti di masjid, halaqa ilmu dan diberbagai tempat yang
dijanjikan Rasulullah. Rasulullah menjadi pusat narasumber, referensi, dan
tumpuan pertanyaan ketika para sahabat menghadapi masalah, baik secara langsung
atau tidak langsung seperti melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah
keluarga dan kewanitaan, karena mereka adalah orang-orang yang mengetahui
keadaan Rasulullah dalam masalah keluarga. Hadis pada waktu itu pada umumnya
hanya di ingat dan dihafal oleh para sahabat dan tidak ditulus seperti
Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi, karena situasi dan kondisi tidak
memungkinkan. Memang Nabi melarang bagi umum karena khawatir bercampur antara
hadis dan Al-Qur’an.
3. Diperbolehkannya Menulis Hadis di Masa
Rasulullah saw
Larangan menulis hadis tidaklah
umum kepada semua sahabat, ada sahabat yang tentunya diberikan izin untuk
menuli hadis. Nabi melarang menulis hadis karena khawatir tercampu dengan
Al-Qur’an dan pada kesempatan lain Nabi memperbolehkannya. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Abd Allah Ibn Umar, dia berkata: “aku pernah menulis segala
sesuatu yang kudengar dari Rasulullah, aku ingin menjaga dan menghafalnya,
tetapi orang qurais melarangku melakukannya.” Mereka berkata: “kamu hendak
menulis (hadis) pada hal Rasulullah saw bersabda dalam keadaan marah dan
senang,” kemudian aku menahan diri (untuk tidak menulis hadis) hingga aku
ceritakan kejadian itu kepada Rasulullah saw, dan Rasulullah saw bersabda:
“tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar
dariku kecuali kebenaran.”
Adanya larangan tersebut berakibat
banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak melarang pun tidak
mungkin hadis dapat ditulis. Karena menurut Suyudi Ismail hal ini disebabkan
oleh beberapa alas an berikut:
a. Hadis disampaikan tidaklah selalu dihadapan
sahabat yang pandai menulis
b. Perhatian Nabi dan para sahabat lebih
banyak tercurah pada Al-Qur’an
c. Meskipun Nabi mempunyai sekretaris
tetapi mereka hanya diberi tugas
C.
Hadis Pada Masa Sahabat
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada
ummatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu
Al-Qur’an dan Al-Hadis yang harus dipegang bagi pengaturan seluruh aspek
kehidupan manusia. Setelah nabi saw wafat, kendali kepemimpinan ummat islam
berada ditangan sahabat nabi. Sahabat nabi yang pertama menerima kepemimpinan
itu adalah Abu Bakar as-Shiddiq wafat 13 H/ 634 M, kemudian disusun oleh
Umar Bin Khattab wafat 23 H/ 644 M,
Usman Bin Affan wafat 35 H/ 656 M, dan Ali Bin Abi Thalib wafat 40 H/ 661 M.
1. Abu Bakar as-Shiddiq
Menurut Muhammad Bin Ahmad
al-dzahabiy Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan
kehati-hatiannya dakam meriwayatkan hadis. Pernyataan al-dzahabiy didasarkan
atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.
Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar meminta hak
waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak
melihat petunjuk Al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris
kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada sahabat Al-Mughirah Bin Syu’bah
menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan
kepada nenek sebesar 1/6 bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi
menetapkan kewarisan nenek itu.
Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar Al-Mughirah menghadirkan
seorang saksi, lalu Muhammad Bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran
pernyataan Al-MUghirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek
dengan memberikan 1/6 bagian berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang
disampaikan oleh Al-Mughirah tersebut.
Kasus diatas menunjukkan, bahwa Abu
Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti
periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat
hadis untuk menghadirkan saksi. Bukti lain dari sikap ketat Abu Bakar dalam
periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan
hadis miliknya. Putrid Aisyah menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan
yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Baakar
menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dikhawatirkan berbuat
salah dalam periwayatan hadis. Hal ini menjadi bukti sikap kehati-hatian Abu
Bakar dalam periwayatan hadis.
Data sejarah tentang kegiatan
periwayatan hadis dikalangan ummat islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat
terbatas. Hal ini dapat dimaklumi karena pada masa pemerintah Abu Bakar
tersebut. Ummat islam dihadapkan berbagai ancaman dan kekacauan yang
membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil
diatasi oleh pasukan pemerintah. Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Nabi yang
khususnya yang menghafal Al-Qur’an telah gugur diberbagai peperangan, atas
desakan Umar Bin Khattab, Abu Bakar segera melakukan penghimpunan Al-Qur’an.
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadis pada masa khalifah Abu Bakar dapat
dikatakan belum merupakan kegiatan menonjol dikalangan ummat islam.
2. Umar Bin Khattab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam
periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang
disampaikan oleh Ubay bin Ka’bah, Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis
dari Ubay, setelah para sahabat yang lain diantaranya Abu Dzar menyatakan telah
mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut.
Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu
telah berdusta, saya berlaku demikian karena saya ingin berhati-hati dalam
periwayatan hadis ini.
Disamping itu Umar juga menekankan
kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis di masyarakat.
Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan
mendalami Al-Qur’an. Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak
periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para
sahabat meriwayatkan hadis. Laranga Umar tampaknya tidak tertuju kepada
periwatan tu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati
dalam periwayatan hadis, agar perhatian masyarakat terhadap Al-Qur’an tidak terganggu.
Dari penjelasan diatas dapat
dinyatakan bahwa periwayan hadis pada zaman Umar Bin Khattab telah banyak
dilakukan oleh ummat islam bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini
bukan hanya disebabkan karena ummat islam telah lebih banyak menghajatkan
kepada periwayat hadis semata, melainkan juga karena khalifah Umar pernah
memberikan dorongan kepada ummat islam untuk mempelajari hadis Nabi.
3. Usman Bin Affan
Secara umum kebijakan Usman tentang
periwayatan hadis tidak jauh berbeda denga apa yang telah ditempuh oleh kedua
khalifah pendahulunya. Hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar
Bin Khattab.
Usman secara pribadi memang tidak
banyak meriwayatkan hadis, Ahmad Bin Hambal meriwayatkan hadis Nabi yang
berasal dari riwayat Usman sekitar 40 hadis saja. Itupun banyak matan hadis
yang terulang karena perbedaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang itu
adalah hadis tentang berwudhu.
Dari penjelasan diatas dapat
dinyatakan bahwa pada zaman Usman Bin Affan, kegiatan ummat islam dalam periwayatan
hadis tidak lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan
periwayatan pada zaman Umar Bin Khattab. Usman melalui khutbahnya telah
menyampaikan kepada ummat islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis.
Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap longgar dalam
periwayatan hadis. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi Usman tidak
sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah islam telah makin luas. Luasnya
wilayah islam mengakibatkan bertambahnya kesultanan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat.
4. Ali Bin Abi Thalib
Khalifah Ali Bin Abi Thalib pun
tidak jauh berbeda dengan sikap para pendahulunya dalam periwayatan hadis.
Secara umum, Ali barulah bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat
hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikan itu
benar-benar dari Nabi saw. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa fungsi sumpah
dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan
periwayatan hadis, sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan
riwayat hadis telah benar-benar tidak mungkin keliru.
Ali Bin Abi Thalib sendiri cukup
banyak meriwayatkan hadis Nabi, hadis yang diriwayatkannya selain bentuk lisan
juga dalam bentuktulisan (catatan). Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar
tentang hukuman denda (diyat),
pembahasan orang islm yang ditawan oleh orang kafir dan larangan melakukan
hukum kisos (qishash) terhadap orang
islam yang membunuh orang kafir. Ahmad Bin Hambal telah meriwayatkan hadis
melalui riwayat Ali Bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadis.
Dilihat dari kebijaksanaan
pemerintah, kehti-hatian dalam kegiatan periwayatan hadis pada zaman khalifah
Ali Bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi ummat
islam pada zaman Ali telah berbeda dengan zaman sebelumnya. Pada zaman Ali
pertentangan politik dikalangan ummat islam telah makin menajam. Peperangan
antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadis. Kepentingan
politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadis.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan, bahwa kebujaksanaan para khulafah al-Rasyidin tentang periwayatan
hadis adalah sebagai berikut:
a. Seluh khalifah sependapat tentang
pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadis
b. Larangan memperbanyak hadis, terutama
yang ditekankan oleh khalifah Umar tujuan pokoknya ialah agar periwayat
bersikap selektif dalam meriwayatkan hadis dan agar masyarakat tidak
dipalingkan perhatiannya dari Al-Qur’an
c. Penghadiran saksi atau mengucapkan
sumpah bagi periwayat hadis merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat
hadis, periwayat yang dinilai memilki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban
mengajukan saksi atau sumaph
d. Masing-masing khalifah telah
meriwayatkan hadis, hadis riwayat yang disampaikan oleh ketiga khlifah yang
pertama seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya Ali yang meriwayatkan hadis secara
tulisan disamping secara lisan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ramli.
2003. Studi Ilmu Hadis (Medan: PP2-IK).
Idri. 2013. Studi Hadis (Jakarta: Kencana).
Soetari Endang.
1997. Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti
Press).
Komentar
Posting Komentar