MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

Makalah Sumber Kejiwaan Beragama


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur instusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi, masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum, yang lazim meyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan.
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya.
Agama menyangkut kehidupan manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi bathin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Maka dengan demikian, apakah sebenarnya yang menjadi sumber jiwa beragama itu? Dan untuk lebih jelasnya dalam makalahh yang sederhana ini penulis  telah memaparkannya yang merujuk kepada berbagai buku yang dijadikan sebagai informasi.









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sumber Jiwa Beragama
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil riset dan observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, manusia ingin mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari yang paling primitif hingga yang paling modern.
Pernyataan yang timbul adalah: apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Atau dengan kata lain “apakah yang menjadi sumber kejiwaan agama itu?”
Untuk memberikan jawaban itu telah timbul beberapa teori antara lain:
1.         Teori Fitrah
Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah SWT (tauhid Allah). Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak, ia berkecenderungan untuk mengesakan Tuhan dan berusaha secara terus menerus untuk mencari dan mencapai ketahuidan tersebut.
Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan rasa al-tauhid walaupun masih di alam imateri (alam ruh). Hal ini telah digambarkan dalam dialog antara Allah dan ruh, yaitu:[1]
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
Artinya:  Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. Al-A’raf: 172)
Firman Allah SWT:
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٥
Artinya: Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q.S. Luqman: 25)
Menurut Ibnu Abbas yang dikutip oleh Ramayulis di dalam bukunya yang berjudul Psikologi Agama menyatakan bahwa fitrah semacam itu merupakan perjanjian pertama (al-mitsaq al-awwal) yang perlu diikrarkan lagi pada perjanjian terakhir (al-mitsaq al-akbir) di alam materi. Barangsiapa yang mati dalam usia baligh, maka matinya dihukumi Muslim, sebab ia telah mengikrarkan di alam perjanjian, meskipun ia berasal dari keturunan non-Muslim.
Namun jika mencapai usia akil baligh, sementara ia belum mengikrarkan ketauhidannya di alam perjanjian terakhir maka perjanjian pertamanya tidak dianggap lagi. Apabila ia mati maka nantinya dalam keadaan kafir.
2.         Teori Monistik
a.        Pengertian
Teori Monistik berpendapat, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber tunggal manakah yang dimaksud paling dominan?
b.        Beberapa Tokoh Teori Monistik
1)        Thomas van Aquino
Sesuai dengan masanya, Thomas van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber beragama.[2]
2)        Fredrick Hegel
Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thomas van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapat, agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi. Berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran.
3)        Fredrick Schleimacher
4)        Berlainan dengan pendapat kedua ahli di atas, maka Fredrick Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend).
Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah maka timbul konsep tentang Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, makanya mereka menggantung harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak. Berdasarkan konsep ini timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka namakan Tuhan.
5)        Rudolf Otto
Menurut pendapat tokoh ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental seperti itu diistilahkan oleh R. Otto numinous. Perasaan semacam itulah yang menurut pendapatnya sebagai sumber dari kejiwaan agama pada manusia. Walaupun faktor-faktor lainnya diakui pula oleh R. Otto namun ia berpendapat numinous merupakan sumber yang esensial.[3]
6)        Sigmund Freud
Pendapat S. Freud, unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sexuil (naluri seksual). Berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ke-Tuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses:
a)         Oedipoes Complex, yakni mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian yang demikian itu berawal dari manusia primitif. Mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas. Setelah ayah mereka mati, maka timbullah rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu.
b)        Father Image (Citra Bapak), setelah mereka membunuh ayah mereka dan dihantui oleh rasa bersalah itu, maka timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara penebus kesalahan mereka yang telah mereka lakukan. Timbullah keinginan untuk memuja arwah ayah yang telas mereka bunuh itu, karena khawatir akan pembalasan arwah tersebut. Realisasi dari pemujaan itu menurutnya sebagai asal dari upacara keagamaan. Jadi, menurut Freud agama muncul dari ilusi manusia.
Sigmund Freud bertambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan di lingkungannya yang beragama Nasrani, Freud menyaksikan kata
“Bapak” dalam untaian doa mereka.
7)        William Mac Dougall
Sebagai salah seoarang ahli psikologi insting, ia berpendapat bahwa memang isnting khusus sebagai sumber agama tidak ada. Ia berpendapat, sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan dari beberapa insting. Menurut Mac Dougall, pada diri manusia terdapat 14 macam insting, maka agama timbul dari dorongan insting secara terintegrasi. Namun demikian teori insting agama ini banyak mendapat bantahan dari para ahli psikologi agama. Alasannya, jika agama merupakan insting, maka setiap orang tanpa harus belajar agama pasti akan terdorong secara spontan ke gereja, begitu mendengar bunyi lonceng gereja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.


3.         Teori Fakulti (Faculty Theory)
a.        Pengertian
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Demikian pula, perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditemukan oleh tiga fungsi tersebut:
1)        Cipta (Reason)
Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam (teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern, peranan, dan fungsi reason ini sangat menentukan. Dalam lembaga-lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran berdasarkan jalan pikiran yang sehat dalam mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk akal, fungsi berpikir sangat diutamakan. Malahan ada yang beranggapan bahwa agama yang ajarannya tidak sesuai dengan akal merupakan agama yang kaku dan mati.[4]
2)        Rasa (Emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Betapa pun pentingnya fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
Untuk itu, fungsi reason hanya pantas berperan dalam pemikiran mengenai supranatural saja, sedangkan untuk memberi makna dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang seksama dan mendalam sehingga ajaran itu tampak hidup. Jadi, yang menjadi objek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai berapa jauhkah peranan emodi itu dalam agama. Sebab, jika secara mutlak emosi yang berperan tunggal dalam agama, maka akan mengurangi nilai agama itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh W.H. Clark: upacara keagamaan yang hanya menimbulkan keributan bukanlah agama.[5]
3)        Karsa (Will)
Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Mungkin saja pengalaman agama seseorang bersifat intelek atau emosi, namun jika tanpa adanya peranan will maka agama tersebut belum tentu terwujud sesuai dengan kehendak reason atau emosi. Masih diperlukan suatu tenaga pendorong agar ajaran keagamaan itu menjadi suatu tindak keagamaan. Jika hal yang demikian terjadi, misalnya orang berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya, maka itu berarti fungsi will-nya lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam bentuk perwujudan yang sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbangi tingkah laku, perbuatan, dan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan, maka fungsi will-nya kuat. Suatu kepercayaan yang dianut tidak akan berarti sama sekali apabila dalam keyakinan kepercayaan itu will tidak berfungsi secara wajar.
Sejalan dengan fungsi reason dan emosi, maka fungsi will pun tidak boleh berlebihan. Jika hal itu terjadi, maka akan terlihat tindak keagamaan yang berlebih pula. Keadaan yang demikian akan menyebabkan penilaian masyarakat terhadap agama tidak akan mendapat tempat yang sewajarnya. Mungkin golongan yang demikian itu melaksanakan ajaran keagamaan secara efisien, tetapi pada dasarnya mereka belum dapat menempatkan ajaran keagamaan pada proporsi yang sebenarnya.
Ketiganya berfungsi antara lain:
a)         Cipta (reason) berperanan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
b)        Rasa (emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
c)         Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.
b.        Beberapa Tokoh Teori Fakulti
1)        G.M. Straton
G.M. Straton mengemukakan teori “konflik”. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti: baik-buruk, moral-immoral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia. Dikotomi (serba dua) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Adanya dikotomi itu merupakan kenyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik selain dapat membawa kemunduran (kerugian) tetapi ada juga dalam kehidupan sehari-hari konflik yang membawa kearah kemajuan, seperti konflik dalam ukuran moral da ide-ide keagamaan dapat menimbulkan pandangan baru.
Jika konflik itu sudah demikian mencekam manusia dan mempengaruhi kehidupan kejiwaannya, maka manusia itu mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tertinggi (Tuhan). Seperti Sigmund Freud berpendapat, bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar, yaitu:
a)         Life-urge: ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut.
b)        Death-urge: ialah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati (anorganis).[6]
Selanjutnya, G.M. Straton berpendapat, konflik yang positif tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge), sebagai keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut.
Melanjutkan pendapat tersebut kemudian dalam penerapannya W.H. Clark berpendapat, berdasarkan keinginan dasar yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, bahwa ekspresi dari pertentangan antara death-urge dan life-urge merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia.
Jadi, dalam hal ini W.H. Clark menggabungkan pendapat antara G.M. Straton dengan teori konfliknya dari teori Sigmund Freud berupa dominasi antara life-urge dan death-urge.
Dalam kenyataan kehidupan keagamaan kita dapat melihat adanya dorongan life-urge secara positif hingga para pemeluk agama mengamalkan agamanya dengan penuh keikhlasan dalam hidupnya, didorong oleh kekuatannya akan death-urge (hari akhirat). Di dunia, mereka memperluhur budi agar disenangi manusia dan Tuhan, sehingga diharapkan akan berumur panjang (life-urge) serta jika meninggal nantinya akan mendapat tempat secara wajar di sisi Tuhannya (death-urge).
Life-urge membawa penganut agama ke arah pandangan yang positif dan liberal, sedangkan ­death-urge membawa ke arah sikap pasif. Menurut penelitian W.H. Clark, 58% dari himne gerejani mencerminkan keinginan dan harapan bagi kesenangan hidup di hari akhirat. Irama yang demikian menyebabkan kecenderungan ajaran agama Nasrani ke arah konservatif. Ini merupakan salah satu penyebab timbulnya reformasi dalam agama Nasrani, timbulnya Protestan, Penterkosta, dan lain sebagainya.
2)        Zakiah Daradjat
Dr. Zakiah Daradjat berpendapat, bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan, selain dari kebutuhan jasmani dan rohani, manusia pun mempunyai suatu kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan, yaitu:
a)         Kebutuhan akan rasa kasih sayang adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia mendambakan rasa kasih. Sebagai pernyataan tersebut dalam bentuk negatifnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: mengeluh, mengadu, menjilat kepada atasan mengkambinghitamkan orang, dan lain sebagainya. Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan ini, maka akan timbul gejala psikosomatis misalnya: hilang nafsu makan, pesimis, keras kepala, kurang tidur, dan lain-lain.[7]
b)        Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan yang mendorong manusia mengharapkan adanya perlindungan. Kehilangan rasa aman ini akan mengakibatkan manusia sering curiga, nakal, mengganggu, membela diri, menggunakan jimat-jimat, dan lain-lain. Kenyataan dalam kehidupan ialah adanya kecenderungan manusia mencari perlindungan dari kemungkinan gangguan terhadap dirinya, misalnya sistem perdukunan, pertapaan, dan lai-lain.
c)         Kebutuhan akan rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual yang mendorong manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam kenyataan terlihat, misalnya sakit jiwa, delusi, dan ilusi.
d)        Kebutuhan akan rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seseorang bertindak secara bebas untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega. Kebebasan dapat dalam bentuk tindakan ataupun pernyataan verbal. Kebutuhan akan rasa bebas ini terlihat dari pernyataan kebebasan untuk menyatakan keinginan sesuai dengan pertimbangan batinnya, misalnya melakukan sesuatu dan menyatakan sesuatu.
e)         Kebutuhan akan rasa sukses merupakan kebutuhan manusia yang menyebabkan ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil karyanya. Jika kebutuhan akan rasa sukses ini ditekan, maka seseorang yang mengalami hal tersebut akan kehilangan harga dirinya.
f)         Kebutuhan akan rasa ingin tahu adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini diabaikan akan mengakibatkan tekanan batin, oleh karena itu, kebutuhan ini harus disalurkan untuk memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.
Menurut Dr. Zakiah Daradjat, gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik, maka kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses, dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.



3)        W.H. Thomas
Melalui teori The Four Wishes-nya ia mengemukakan, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu:
a)         Keinginan untuk keselamatan (security)
Keinginan ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis maupun nonbiologis. Misalnya mencari makan, perlindungan diri, dan lain sebagainya.
b)        Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognation)
Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain. Ia mendambakan dirinya untuk selalu menjadi orang terhormat dan dihormati.
c)         Keinginan untuk ditanggapi (response)
Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencinta dan dicinta dalam pergaulan.
d)        Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience)
Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mengenal sekelilingnya dari mengembangkan dirinya. Manusia pada dasarnya selalu capat bosan dan jemu terhadap sesuatu dan hal-hal yang selalu ada di sekelilingnya. Mereka selalu ingin mencari dan mengetahui sesuatu yang tak tampak dan berada di luar dirinya
Didasarkan atas keempat keinginan dasar itulah pada umumnya manusia menganut agama menurut W.H. Thomas. Melalui ajaran agama yang teratur, maka keempat keinginan dasar itu akan tersalurkan. Dengan menyembah dan mengabdi kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Sesuai dengan masanya, Thomas van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber beragama.
G.M. Straton mengemukakan teori “konflik”. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti: baik-buruk, moral-immoral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia. Dikotomi (serba dua) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia.
Didasarkan atas keempat keinginan dasar itulah pada umumnya manusia menganut agama menurut W.H. Thomas. Melalui ajaran agama yang teratur, maka keempat keinginan dasar itu akan tersalurkan. Dengan menyembah dan mengabdi kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.







DAFTAR PUSTAKA

Dja’far Siddik, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka Media, 2006.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.
Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta Pusat: Kalam Mulia, 2002.
Rusman Hasibuan, Psikologi Agama, Padangsidimpuan: STAIN Pers, 2004.
Sururin Muslim, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo, 1998.


[1]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), hlm. 54
[2] Ibid., hlm. 56
[3] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta Pusat: Kalam Mulia, 2002), hlm. 26
[4] Ibid., hlm. 29
[5] Sururin Muslim, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hlm. 29
[6] Rusman Hasibuan, Psikologi Agama, (Padangsidimpuan: STAIN Perss, 2004), hlm. 103
[7] Dja’far Siddik, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006), hlm. 66

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN