BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam masyarakat yang sudah mapan,
agama merupakan salah satu struktur instusional penting yang melengkapi
keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi, masalah agama berbeda dengan masalah
pemerintahan dan hukum, yang lazim meyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan.
Agama dalam kehidupan individu
berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara
umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah
laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya.
Agama menyangkut kehidupan manusia.
Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih
menggambarkan sisi-sisi bathin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan
sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama
ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Maka dengan demikian, apakah
sebenarnya yang menjadi sumber jiwa beragama itu? Dan untuk lebih jelasnya
dalam makalahh yang sederhana ini penulis
telah memaparkannya yang merujuk kepada berbagai buku yang dijadikan
sebagai informasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Jiwa Beragama
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa
yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada
kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Berdasarkan hasil riset dan observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa pada
diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal.
Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan
akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati,
berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, manusia ingin mengabdikan dirinya
kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang mempunyai kekuasaan
tertinggi. Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok, golongan atau
masyarakat manusia dari yang paling primitif hingga yang paling modern.
Pernyataan
yang timbul adalah: apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya
keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Atau dengan kata lain “apakah
yang menjadi sumber kejiwaan agama itu?”
Untuk
memberikan jawaban itu telah timbul beberapa teori antara lain:
1.
Teori Fitrah
Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah SWT (tauhid Allah). Manusia
lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak, ia berkecenderungan
untuk mengesakan Tuhan dan berusaha secara terus menerus untuk mencari dan
mencapai ketahuidan tersebut.
Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan rasa al-tauhid walaupun
masih di alam imateri (alam ruh). Hal ini telah digambarkan dalam dialog
antara Allah dan ruh, yaitu:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ
بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ
أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
Artinya: Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S.
Al-A’raf: 172)
Firman Allah SWT:
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ
خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ
بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٥
Artinya: Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka
akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q.S.
Luqman: 25)
Menurut Ibnu Abbas yang dikutip oleh
Ramayulis di dalam bukunya yang berjudul Psikologi Agama menyatakan bahwa
fitrah semacam itu merupakan perjanjian pertama (al-mitsaq al-awwal)
yang perlu diikrarkan lagi pada perjanjian terakhir (al-mitsaq al-akbir)
di alam materi. Barangsiapa yang mati dalam usia baligh, maka matinya dihukumi
Muslim, sebab ia telah mengikrarkan di alam perjanjian, meskipun ia berasal
dari keturunan non-Muslim.
Namun jika mencapai usia akil
baligh, sementara ia belum mengikrarkan ketauhidannya di alam perjanjian
terakhir maka perjanjian pertamanya tidak dianggap lagi. Apabila ia mati maka
nantinya dalam keadaan kafir.
2.
Teori
Monistik
a.
Pengertian
Teori Monistik berpendapat, bahwa yang
menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber
tunggal manakah yang dimaksud paling dominan?
b.
Beberapa
Tokoh Teori Monistik
1)
Thomas van
Aquino
Sesuai dengan masanya, Thomas van Aquino
mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berpikir.
Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan
beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri.
Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana
para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber
beragama.
2)
Fredrick Hegel
Hampir sama dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Thomas van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapat, agama
adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi.
Berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang
berhubungan dengan pikiran.
3)
Fredrick
Schleimacher
4)
Berlainan dengan
pendapat kedua ahli di atas, maka Fredrick Schleimacher berpendapat bahwa yang
menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense
of depend).
Dengan adanya rasa ketergantungan yang
mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia
selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya.
Berdasarkan rasa ketergantungan itulah maka timbul konsep tentang Tuhan.
Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya,
makanya mereka menggantung harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap
mutlak. Berdasarkan konsep ini timbullah upacara untuk meminta perlindungan
kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Rasa ketergantungan
yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian
para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka namakan Tuhan.
5)
Rudolf Otto
Menurut pendapat tokoh ini, sumber
kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang
sama sekali lain). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang
dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental seperti itu diistilahkan
oleh R. Otto numinous. Perasaan semacam itulah yang menurut pendapatnya
sebagai sumber dari kejiwaan agama pada manusia. Walaupun faktor-faktor lainnya
diakui pula oleh R. Otto namun ia berpendapat numinous merupakan sumber
yang esensial.
6)
Sigmund Freud
Pendapat S. Freud, unsur kejiwaan yang
menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sexuil (naluri seksual). Berdasarkan
libido ini timbullah ide tentang ke-Tuhanan dan upacara keagamaan setelah
melalui proses:
a)
Oedipoes
Complex, yakni mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa
karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipoes membunuh ayahnya.
Kejadian yang demikian itu berawal dari manusia primitif. Mereka bersekongkol
untuk membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas. Setelah
ayah mereka mati, maka timbullah rasa bersalah (sense of guilt) pada
diri anak-anak itu.
b)
Father Image (Citra
Bapak), setelah mereka membunuh ayah mereka dan dihantui oleh rasa bersalah
itu, maka timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat
suatu cara penebus kesalahan mereka yang telah mereka lakukan. Timbullah keinginan
untuk memuja arwah ayah yang telas mereka bunuh itu, karena khawatir akan
pembalasan arwah tersebut. Realisasi dari pemujaan itu menurutnya sebagai asal
dari upacara keagamaan. Jadi, menurut Freud agama muncul dari ilusi manusia.
Sigmund Freud bertambah yakin akan
kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan
di lingkungannya yang beragama Nasrani, Freud menyaksikan kata
“Bapak”
dalam untaian doa mereka.
7)
William Mac
Dougall
Sebagai salah seoarang ahli psikologi
insting, ia berpendapat bahwa memang isnting khusus sebagai sumber agama tidak
ada. Ia berpendapat, sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan dari beberapa
insting. Menurut Mac Dougall, pada diri manusia terdapat 14 macam insting, maka
agama timbul dari dorongan insting secara terintegrasi. Namun demikian teori
insting agama ini banyak mendapat bantahan dari para ahli psikologi agama.
Alasannya, jika agama merupakan insting, maka setiap orang tanpa harus belajar
agama pasti akan terdorong secara spontan ke gereja, begitu mendengar bunyi
lonceng gereja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
3.
Teori
Fakulti (Faculty Theory)
a.
Pengertian
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku
manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas
beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah:
fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Demikian pula, perbuatan manusia yang
bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditemukan oleh tiga fungsi tersebut:
1)
Cipta (Reason)
Merupakan fungsi intelektual jiwa
manusia. Ilmu kalam (teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi
intelek ini. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan
suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama
merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama
modern, peranan, dan fungsi reason ini sangat menentukan. Dalam
lembaga-lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran berdasarkan jalan pikiran
yang sehat dalam mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk akal, fungsi berpikir
sangat diutamakan. Malahan ada yang beranggapan bahwa agama yang ajarannya
tidak sesuai dengan akal merupakan agama yang kaku dan mati.
2)
Rasa (Emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang
banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang.
Betapa pun pentingnya fungsi reason, namun jika digunakan secara
berlebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
Untuk itu, fungsi reason hanya
pantas berperan dalam pemikiran mengenai supranatural saja, sedangkan untuk
memberi makna dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang seksama dan
mendalam sehingga ajaran itu tampak hidup. Jadi, yang menjadi objek
penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman
keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai berapa jauhkah
peranan emodi itu dalam agama. Sebab, jika secara mutlak emosi yang berperan
tunggal dalam agama, maka akan mengurangi nilai agama itu sendiri sebagaimana
yang dikemukakan oleh W.H. Clark: upacara keagamaan yang hanya menimbulkan
keributan bukanlah agama.
3)
Karsa (Will)
Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa
manusia. Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta
ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan. Mungkin saja pengalaman agama
seseorang bersifat intelek atau emosi, namun jika tanpa adanya peranan will maka
agama tersebut belum tentu terwujud sesuai dengan kehendak reason atau
emosi. Masih diperlukan suatu tenaga pendorong agar ajaran keagamaan itu
menjadi suatu tindak keagamaan. Jika hal yang demikian terjadi, misalnya orang
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya, maka itu berarti fungsi will-nya
lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam bentuk perwujudan yang
sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbangi tingkah laku, perbuatan,
dan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan, maka fungsi will-nya
kuat. Suatu kepercayaan yang dianut tidak akan berarti sama sekali apabila
dalam keyakinan kepercayaan itu will tidak berfungsi secara wajar.
Sejalan dengan fungsi reason dan
emosi, maka fungsi will pun tidak boleh berlebihan. Jika hal itu
terjadi, maka akan terlihat tindak keagamaan yang berlebih pula. Keadaan yang
demikian akan menyebabkan penilaian masyarakat terhadap agama tidak akan
mendapat tempat yang sewajarnya. Mungkin golongan yang demikian itu
melaksanakan ajaran keagamaan secara efisien, tetapi pada dasarnya mereka belum
dapat menempatkan ajaran keagamaan pada proporsi yang sebenarnya.
Ketiganya berfungsi antara lain:
a)
Cipta (reason)
berperanan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan
pertimbangan intelek seseorang.
b)
Rasa (emotion)
menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran
ajaran agama.
c)
Karsa (will)
menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.
b.
Beberapa
Tokoh Teori Fakulti
1)
G.M. Straton
G.M. Straton mengemukakan teori
“konflik”. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah
adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti:
baik-buruk, moral-immoral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah diri dan rasa harga
diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia. Dikotomi (serba
dua) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Adanya dikotomi itu
merupakan kenyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik selain dapat membawa
kemunduran (kerugian) tetapi ada juga dalam kehidupan sehari-hari konflik yang
membawa kearah kemajuan, seperti konflik dalam ukuran moral da ide-ide
keagamaan dapat menimbulkan pandangan baru.
Jika konflik itu sudah demikian mencekam
manusia dan mempengaruhi kehidupan kejiwaannya, maka manusia itu mencari
pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tertinggi (Tuhan). Seperti Sigmund
Freud berpendapat, bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan
yang mendasar, yaitu:
a)
Life-urge:
ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang
terdahulu agar terus berlanjut.
b)
Death-urge:
ialah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati
(anorganis).
Selanjutnya, G.M. Straton berpendapat,
konflik yang positif tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan
dorongan dasar (basic-urge), sebagai keadaan yang menyebabkan timbulnya
konflik tersebut.
Melanjutkan pendapat tersebut kemudian
dalam penerapannya W.H. Clark berpendapat, berdasarkan keinginan dasar yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud, bahwa ekspresi dari pertentangan antara death-urge
dan life-urge merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia.
Jadi, dalam hal ini W.H. Clark
menggabungkan pendapat antara G.M. Straton dengan teori konfliknya dari teori
Sigmund Freud berupa dominasi antara life-urge dan death-urge.
Dalam kenyataan kehidupan keagamaan kita
dapat melihat adanya dorongan life-urge secara positif hingga para
pemeluk agama mengamalkan agamanya dengan penuh keikhlasan dalam hidupnya,
didorong oleh kekuatannya akan death-urge (hari akhirat). Di dunia,
mereka memperluhur budi agar disenangi manusia dan Tuhan, sehingga diharapkan
akan berumur panjang (life-urge) serta jika meninggal nantinya akan
mendapat tempat secara wajar di sisi Tuhannya (death-urge).
Life-urge membawa
penganut agama ke arah pandangan yang positif dan liberal, sedangkan death-urge
membawa ke arah sikap pasif. Menurut penelitian W.H. Clark, 58% dari himne
gerejani mencerminkan keinginan dan harapan bagi kesenangan hidup di hari
akhirat. Irama yang demikian menyebabkan kecenderungan ajaran agama Nasrani ke
arah konservatif. Ini merupakan salah satu penyebab timbulnya reformasi dalam
agama Nasrani, timbulnya Protestan, Penterkosta, dan lain sebagainya.
2)
Zakiah Daradjat
Dr. Zakiah Daradjat berpendapat, bahwa
pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan, selain
dari kebutuhan jasmani dan rohani, manusia pun mempunyai suatu kebutuhan akan
adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami
tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan,
yaitu:
a)
Kebutuhan akan
rasa kasih sayang adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia mendambakan rasa
kasih. Sebagai pernyataan tersebut dalam bentuk negatifnya dapat kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: mengeluh, mengadu, menjilat kepada
atasan mengkambinghitamkan orang, dan lain sebagainya. Akibat dari tidak
terpenuhinya kebutuhan ini, maka akan timbul gejala psikosomatis misalnya:
hilang nafsu makan, pesimis, keras kepala, kurang tidur, dan lain-lain.
b)
Kebutuhan akan
rasa aman merupakan kebutuhan yang mendorong manusia mengharapkan adanya
perlindungan. Kehilangan rasa aman ini akan mengakibatkan manusia sering
curiga, nakal, mengganggu, membela diri, menggunakan jimat-jimat, dan
lain-lain. Kenyataan dalam kehidupan ialah adanya kecenderungan manusia mencari
perlindungan dari kemungkinan gangguan terhadap dirinya, misalnya sistem
perdukunan, pertapaan, dan lai-lain.
c)
Kebutuhan akan
rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual yang mendorong
manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam kenyataan
terlihat, misalnya sakit jiwa, delusi, dan ilusi.
d)
Kebutuhan akan
rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seseorang bertindak secara bebas
untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega. Kebebasan dapat dalam bentuk
tindakan ataupun pernyataan verbal. Kebutuhan akan rasa bebas ini terlihat dari
pernyataan kebebasan untuk menyatakan keinginan sesuai dengan pertimbangan
batinnya, misalnya melakukan sesuatu dan menyatakan sesuatu.
e)
Kebutuhan akan
rasa sukses merupakan kebutuhan manusia yang menyebabkan ia mendambakan rasa
keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil karyanya. Jika
kebutuhan akan rasa sukses ini ditekan, maka seseorang yang mengalami hal
tersebut akan kehilangan harga dirinya.
f)
Kebutuhan akan
rasa ingin tahu adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia selalu meneliti dan
menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini diabaikan akan mengakibatkan tekanan
batin, oleh karena itu, kebutuhan ini harus disalurkan untuk memenuhi pemuasan
pembinaan pribadinya.
Menurut Dr. Zakiah Daradjat, gabungan
dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama.
Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan
melaksanakan ajaran agama secara baik, maka kebutuhan akan rasa kasih sayang,
rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses, dan rasa ingin tahu akan
terpenuhi.
3)
W.H. Thomas
Melalui teori The Four Wishes-nya
ia mengemukakan, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam
keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu:
a)
Keinginan untuk
keselamatan (security)
Keinginan
ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh perlindungan atau
penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis maupun nonbiologis. Misalnya
mencari makan, perlindungan diri, dan lain sebagainya.
b)
Keinginan untuk
mendapat penghargaan (recognation)
Keinginan
ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin
dihargai dan dikenal orang lain. Ia mendambakan dirinya untuk selalu menjadi
orang terhormat dan dihormati.
c)
Keinginan untuk
ditanggapi (response)
Keinginan
ini menimbulkan rasa ingin mencinta dan dicinta dalam pergaulan.
d)
Keinginan akan
pengetahuan atau pengalaman baru (new experience)
Keinginan
ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mengenal sekelilingnya dari
mengembangkan dirinya. Manusia pada dasarnya selalu capat bosan dan jemu
terhadap sesuatu dan hal-hal yang selalu ada di sekelilingnya. Mereka selalu
ingin mencari dan mengetahui sesuatu yang tak tampak dan berada di luar dirinya
Didasarkan atas keempat keinginan dasar
itulah pada umumnya manusia menganut agama menurut W.H. Thomas. Melalui ajaran
agama yang teratur, maka keempat keinginan dasar itu akan tersalurkan. Dengan
menyembah dan mengabdi kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa
yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada
kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Sesuai dengan masanya, Thomas van Aquino
mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berpikir.
Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan
beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan
semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana para ahli
mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber beragama.
G.M.
Straton mengemukakan teori “konflik”. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi sumber
kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang
berlawanan seperti: baik-buruk, moral-immoral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah
diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia.
Dikotomi (serba dua) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia.
Didasarkan atas keempat keinginan dasar
itulah pada umumnya manusia menganut agama menurut W.H. Thomas. Melalui ajaran
agama yang teratur, maka keempat keinginan dasar itu akan tersalurkan. Dengan
menyembah dan mengabdi kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan
terpenuhi.
DAFTAR
PUSTAKA
Dja’far Siddik, Konsep Dasar Ilmu
Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka Media, 2006.
Komentar
Posting Komentar