MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH PERTENTANGAN-PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT


A.    Pendahuluan
            Setiap tingkah laku individu satu dengan individu lain pasti berbeda. Individu bertingkah laku karena ada dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Tapi apabila gagal dalam memenuhi kepentingannya akan banyak menimbulkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Suatu hal yang saling berkaitan, apabila seorang individu mempunyai prasangka dan akan cenderung membuat sikap untuk membeda-bedakan. Maka akan terjadi sikap bahwa kebudayaan dirinya lebih baik daripada kebudayaan orang lain, sehingga timbullah konflik yaitu berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan.
              Didalam kelompok masyarakat Indonesia, konflik dapat disebabkan karena faktor harga diri dan kebahagian kelompok terusik, benturan (kepentingan politik, ekonomi, pertentangan). Adat kebiasaan dan tradisi yang hidup dalam masyarakat merupakan tali pengikat kesatuan perilaku didalam masyarakat. Suatu kelompok yang ada dalam keadaan konflik yang berlangsung lama biasanya mengalami disintegrasi. Dan untuk menyelesaikan semua itu melalui integrasi masyarakat. Integrasi dapat berlangsung cepat dan lambat karena dipengaruhi oleh faktor homogenitas kelompok, besar kecilnya kelompok, mobilitas geografis, dan efektivitas komunikasi.
              Hidup bermasyarakat adalah berhubungan baik antara dihubungkan dengan menghubungkan antara individu-individu maupun antara kelompok dan dorongan. Hidup bermasyarakat juga berarti kehidupan dinamis dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling memberi dan menerima. Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota penerima karena ia patut untuk menerima. Ikatan berupa norma serta nilai-nilai yang telah dibuatnya bersama diantara para anggotanya menjadikan alat pengontrol agar para anggota masyarakat tidak terlepas dari rel ketentuan yang telah disepakati itu.[1]
                                                                                                      





B.   Perbedaan Kepentingan
              Manusia sebagai makhluk individu kehidupannya selalu tidak terlepas dengan masyarakatnya. Sebagai individu manusia mempunyai peranan-peranan yang khas dalam lingkungannya serta kepribadian dan pola tingkah laku yang khas pula.
Dalam kaitan di atas maka manusia dalam kehidupan di masyarakat akan berhadapan dengan kepentingan-kepentingan lain yang berkembang dalam kelompok tersebut.
 Kepentingan-kepentingan yang berkembang selama kelompok tersebut jarang bertentangan dengan kepentingan individu tersebut.
            Sebagai Human being bahwa individu selalu berkait dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan dalam masyarakat merupakan syarat mutlak untuk mengembangkan individu tersebut untuk memampukannya dalam bermasyarakat dan berkebudayaan. Manusia yang berbudaya tercipta dan berkembang sebagai perwujudan kehidupan individu tersebut dalam bermasyarakat. Ada empat faktor yang membentuk sikap mental dalam kehidupan manusia:
1.      Keturunan atau faktor warisan biologis
2.      Kebudayaan atau faktor warisan sosial
3.      Lingkungan alam atau faktor geografis
4.      Faktor kelompok masyarakat
Dari empat faktor di atas terlihat bahwa pembentukan kepribadian individu tersebut juga memerlukan keterampilan dari individu tersebut untuk mengolah potensi yang ada pada diri individu tersebut untuk ditransformasikan dalam kehidupan sekitarnya (masyarakat).[2] Masyarakat tradisonal di Indonesia, pada umumnya bersifat kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan masyarakat: kepentingan-kepentingan individu walaupun diakui, mempunyai fungsi sosial.
Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya tersebut, yang dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan. Pertentangan antar kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan-pertentangan demikian itu kerapkali terjadi, apalagi pada masyarakat-masyarat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih muda untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf yang lebih tinggi. Keadaan tersebut dapat menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih bebas antara wanita dengan laki-laki, kedudukan wanita yang sederajat dengan laki-laki di dalam masyarakat dan sebagainya.
Suatu pertentangan antara golongan yang mempertahankan hukum adat yang tradisional dengan golongan yang memasukkan agama islam (dalam hal ini hukum islam) pernah pula terjadi di beberapa tempat di Indonesia pada masa-masa lalu. Dalam hal-hal tertentu, pertentangan tersebut menghasilkan suatu akomodasi, misalnya perihal perkawinan. Menurut adat istiadat, suatu upacara perkawinan merupan suatu “crisis rite”, yaitu suatu upacara berhubungan dengan meningkatnya seseorang dari tahap kehidupan tertentu, menuju ke tahap kehidupan yang selanjutnya. Perpindahan tersebut memerlukan suatu upacara tertentu, karena orang tadi pindah ke dalam lingkungan sosial yang baru, dan juga untuk mengumumkan kepada khalayak ramai mengenai kedudukan sosial orang tersebut.
Menurut hukum Islam, perkawinan merupakan suatu kontrak (akad nikah). Timbul pertentangan mengenai saat sahnya perkawinan, yaitu apakah pada saat upacara adat dilakukan atau pada saat ijab kabul. Pada umumnya tercapai suatu akomodasi; terutama bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam, akad nikah merupakan hukum yang memaksa (hukum imperatif), dan kemudian diikuti dengan upacara menurut adatnya masing-masing. [3]
Dalam menghadapi standar normatif kelompok yang berkepentingan akan selalu berusaha membentangkan tujuan-tujuannya atau harapan-harapannya diatas tebaran tata nilai yang dijadikan standar dengan berusaha mengadakan rasionalisasi. Dalam hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik dalam bentuk perdebatan. Bentuk lain yang lebih ekstrim dari konflik ini adalah penyimpangan  tingkah laku yang aktualisasikan secara demonstratif maupun tingkah laku yang bersifat mediator.
Rasionalisasi yang dilancarkan oleh pihak ego dimaksudkan untuk mencapai penafsiran moralitas yang relevan yang memungkinkan masing-masing pihak mewujudkan kehendaknya. Rasionalisasi yang sering memperuncing konflik dipengaruhi oleh proses sosialisasi individu antara hubungan manusia dengan norma-norma telah berubah, sehingga ia merasa benar-benar harus berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan. Disinilah puncak dari suatu konflik.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat kita katakan bahwa pada awalnya konflik dimulai dengan pertentangan yang bersifat ideologis dan kemungkinan akan berakhir pada saat salah satu pihak memaksakan pengertian mereka tentang moral maupun suatu harapan yang diikuti dengan kesadaran bahwa salah satu diantaranya telah berbuat kekeliruan. Ini harus kita sadari sebagai konsekuensi paling ringan dari suatu konflik ideologis atau perbedaan ideologi.
Pada kenyataan-kenyataan seperti itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang merupakan konsensus dari berbagai subdeologi yang akhirnya akan melahirkan kondisi dis-integrasi atau konflik. Permasalahan utama yang jelas tampak dalam tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara harapan (tujuan sosial) dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya.
Perbedaan kepentingan ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal beberapa fase, yaitu:
a.    Fase disorganisasi  yang terjadi karena kesalahfahaman (akibat pertentangan antara harapan dengan standar normatif), yang menyebabkan sulitnya atau tidak dapatnya satu kelompok sosial menyesuaikan diri dengan norma (ideologi).
b.    Fase disentegrasi (konflik) yaitu pertanyaan tidak setuju dalam berbagai bentuk seperti timbulnya emosi masa yang meluap, protes, aksi mogok, pemberontakan dan sebagainya.[4]
Secara lebih teliti Walter T. Martin dan kawan-kawannya mengemukakan tahapan pertama disintegrasi sebagai berikut:
1)   Ketidaksefahaman anggota kelompok tentang tujuan sosial yang hendak dicapai yang semula menjadi pegangan kelompok;
2)   Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat lagi dalam mencapai tujuan yang telah disepakatinya;
3)   Norma-norma dalam kelompok dan yang dihayati oleh kelompok bertentangan satu sama lain;
4)   Sangsi sudah menjadi lemah bahkan sangsi tidak dilaksanakan dengan konsekuen lagi.
5)   Tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
Pandangan sosiologis tentang proses disorganisasi dan disintegrasi tidak saja akan melahirkan konflik sosial, tetapi pada hal-hal tertentu dapat mengarah kepada integrasi kelompok maupun masyarakat.

C.  Prasangka dan Diskriminasi
1.      Prasangka
Prasangka atau prejudice berasal dari kata Latin prejudicium, yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut:
a.    Semula diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu.
b.    Dalam bahasa Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.
c.    Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional (suka-tidak suka) dalam keputusan yang diambil tersebut.[5]
Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain. Prasangka sosial yang pada mula-mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaaan negatif itu, lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskrimitatif. Tindakan-tindakan diskrimatif dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangannya, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang hanya karena mereka kebetulan termasuk golongan yang diprasangkai itu.
Prasangka ini sebagian besar sifatnya aprior, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung pada pola orang lain, atau dioper dari milieu dimana orang menetap. Gradasi prasangka meneunjukkan adanya distansi sosial antara ingroup dan outgroup. Dengan kata lain, tingkat prasangka itu menumbuhkan jarak sosial tertentu diantara anggota kelompok sendiri dengan anggota-anggota kelompok luar, dengan kata lain adanya diskriminatif antar kelompok.
Prasangka bisa diartikan sebagai suatu sikap yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan diberangi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap suatu realita. Sikap menurut Morgan (1966), adalah kecenderungan merespon, baik secara positif ataupun negatif, terhadap orang, objek, atau situasi. Tentu saja kecenderungan untuk merenspon ini meliputi perasaan atau pandangannya, yang tidak sama dengan tingkah laku. Sikap sesorang baru diketahui bila ia sudah bertingkah laku. Sikap merupakan salah satu determinan dari tingkah laku, selain motivasi dan norma masyarakat. Oleh karena itu kadang-kadang bertentangan dengan tingkah laku.
 Newcomb mengemukakan pendapat bahwa prasangka dapat diartikan sebagai yang tak baik dan sebagai suatu predisposisi untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara yang menentang atau menjauhi dan bukan menyokong atau mendekati orang-orang lain, terutama sebagai anggota kelompok. Pengertian Newcomb tersebut timbul dari gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat.
Pengalaman seseorang yang bersifat sepintas, yang bersifat perfomance semata akan cepat sekali menimbulkan sikap negatif terhadap suatu kelompok atau terhadap seseorang. Melihat penampilan orang-orang Negro maka sering menimbulkan kesan keras, sadis, tidak bermoral dan sejenisnya.
Pandangan yang demikian akan menimbulkan kesan bergaul dengan mereka dan selalu memandangnya dengan sikap negatif.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa sikap mempunyai komponen-komponen, yakni:
a.    Kognitif artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya, terlepas pengetahuan itu benar atau salah.
b.    Afektif artinya dalam sikap akan selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju atau tidak setuju) mengenai objek sikapnya.[6]
c.    Konatif artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif (tindakan agresif).[7]


2.    Diskriminasi
Diskriminasi adalah suatu pola perilaku yang mengarah pada perlakuan yang tidak adil atau tidak menyenangkan terhadap kelompok lain. Diskriminasi ini timbul karena pandangan-pandangan stereotip yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu yang umumnya berorientasi politik dan ekonomi. Dengan adanya sikap-sikap menghambat, mematikan dan mencemohkan suatu kelompok lain akan menimbulkan rasa antipati dan permusuhan antar kelompok yang merupakan manifestasi konflik.[8]
 Diskriminasi terhadap suatu pihak yang lain pasti merugikan pihak yang akan dikenai diskriminasi.
Diskriminasi dapat terjadi pada bidang:
a.       Pekerjaan, yang berarti anggota kelompok tertentu tidak diterima untuk mendapatkan pekerjaan.
b.      Politik, yang berarti anggota kelompok tertentu tidak mendapat hak di pemerintahan (misalnya memilih).
c.       Ditempat umum, yang berarti anggota kelompok tertentu tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati tempat tertentu (misalnya temapt hiburan).
d.      Perumahan, yang artinya anggota kelompok tertentu tidak mendapatkan kesempatan menikamati perumahan yang ada (misalnya fasilitas perumahan flat.
Masih banyak dilakukan usaha-usaha agar supaya diskriminasi yang dijalankan dapt berlangsung demi tujuan yang diinginkan tercapai. Namun perlu kita sadari bersama bahwa diskriminasi sangat merugukan bagi pembangunan nasional.




D.    Golongan–Golongan yang Berbeda dan Integrasi Sosial
1.      Masyarakat majemuk dan nasion Indonesia
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk, yaitu suatu masyarakat negara yang terdiri dari beberapa suku bangsa atau golongan sosial yang dipersatukan oleh kekuatan Nasional, yaitu berwujud Negara Indonesia.
Masyarakat yang majemuk tersebut dipersatukan oleh sistem Nasional yang mengintegrasikannya melalui jaringan-jaringan administrasi pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial yang berpusat di kota-kota. Untuk lebih jelas dikemukakan aspek dari kemasyarakatan tersebut.
a.       Suku Bangsa dan Kebudayaan
Indonesia terdiri dari sekitar 13.000 buah pulau besar dan kecil dan sejumlah laut, selat dan samudera mewujudkan satu daerah atau lingkungan alam yang berbeda-beda antara satu denagn lainnya. Perbedaan lingkungan alam emepengaruhi ciri-ciri jasmaniah penduduk di masing-masing daerah sehingga penduduk Indonesia mewujudkan ciri-ciri jasmaiah yang berbeda-beda.
Di daerah-daerah di Indonesia yang tersebar luas terdiri dari sejumlah suku bangsa yang dikenal pula dengan masyarakat daerah. Di Sumatera dikenal beberapa suku bangsa seperti: Aceh, Batak, Mingkabau, dan sebagainya. Di Kalimantan dikenal suku bangsa Dayak, Banjar. Di Sulawesi dikenal suku bangsa Makasar, Bugis, Minahasa dan di kepulauan-kepulauan lainnya dikenal suku bangsa yang tidak sedikit jumlahnya.
Oleh karena itu tiap suku bangsa mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. maka di Indonesia juga terdapat sejumlah sistem budaya yang dipergunakan oleh masing-masing suku bangsa.[9]
b.      Agama
Dilihat dari segi historis suku-suku bangsa di Indonesia mempunyai toleransi yang besar terhadap agama atau kepercayaan yang lain. Kepercayaan seperti diwujudkan dalam agama Islam atau agama Kristen dan kepercayaan lain (Hindu Budha) merupakan sumber nilai yang dianut oleh warganya. Nilai merupakan pedoman umum yang digunakan dalam memili antara bebrabagai kemungkinan pilihan. Nilai digunakan dalam menentukan tujuan tindakan atau usaha. Orang menggunakan nilai-nilai tertentu, karena orang menganut suatu kepercayaan tertentu yang membenarkan nilai-nilai dianutnya. Nilai-nilai yang dianutnya bersama ini dinamakan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya mungkin merupakan nila lama, tetap juga mungkin merupakan nilai-nilai baru.
c.       Bahasa
Pada suku-suku bangsa yang bermacam-macam itu terikat pula oleh satu persamaan yaitu bahasa. Bahasa yang merupakan alat komunikasi dalam melaksanakan interaksi sosial diantara kelompoknya. Di Bali warga masyarakatnya mempergunakan bahasa Bali dalam mengadakan hubungan. Di masyarakat Bugis orang mempergunakan bahasa Bugis. Di daerah Batak warga masyarakat mempergunakan bahasa Batak.Demikian pula karya-karya satra masyarakat daerah itu mempergunakan bahasa daerahnya masing-masing.
d.      Nasion Indonesia
Diluar suku bangsa Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bugis, Bali, Banjar, Sasak, dan sebagainya di Indonesia masih terdapat satu Nasion baru yaitu Nasion Indonesia. Nasion merupakan kesatuan solidaritas, yang terbentuk sebagai hasil proses setelah kemerdekaan tahun 1945. Nasion indonesia merupakan suatu federasi antara suku-suku bangsa yang masing-masing merupakan kesatuan tersendiri dan federasi ini tetap mempertahankan kesatuan mereka masing-masing.
Kesatuan Indonesia juga mempunyai kebudayaan sendiri yang disbut kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional terbentuk dan merupakan perpaduan dari kebudayaan daerah yang dapat diterima olegh masyarakat dan suku-suku bangsa lainnya.
Jadi dalam pembentukan kebudayaan Nasional unsur-unsurnya berasal dari kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah itu sendiri tidak akan punah, tetapi tetap berkembang terus. Justru mengembangkan kebudayaan daerah berarti pula memperkaya kebudayaan Nasional.
Nasion Indonesia
Nasion Daerah(kebudayaan daerah)
Kebudayaan Nasional[10]

                 Kebudayaan Nasional sebagai sistem kebudayaan nasional mengontrol perilaku para warganya. Penyimpanan dari sistem kebudayaan nasional merupakan pelanggaran yang akan dikenakan sanksi.[11]
2.      Integrasi
Integrasi adalah proses menyatukan berbagai kelompok sosial, aliran, dan kekuatan-kekuatan lainnya dari seluruh wilayah tanah air guna untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat, dinamis, berkeadilan sosial, demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Penduduk indonesia yang menempati wilayah yang luas bukan hanya terikat oleh sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan yang berlaku di Indonesia:
1)      Sistem kebudayaan daerah
2)      Sistem kebudayaan agama, seperti islam, kristen, hindu, dan budha
3)      Sistem kebudayaan nasional
4)      Sistem kebudayaan asing, seperti China, Arab
       Keempat unsur diatas merupakan unsur dari kebudayaan nasional. Keempat unsur tersebut sekaligus menjadi landasan dan atau corak masalah dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang majemuk. Orang Indonesia merupakan pendukung lebih dari satu sistem kebudayan, sebagai contoh seorang Sunda dalam berkomunikassi dengan sukunya mempergunakan sistem kebudayaan sunda. Disamping itu seorang sunda ada yang beragama Islam. Oleh karena itu dia juga memakai sistem kebudayaan islam. Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, orang Sunda itu juga memakai sistem kebudayaan Nasional.
       Dalam hal ini masalah besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia setelah merdeka yaitu masalah integrasi diantara masyarakat majemuk itu. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan. Masyarakat majemuk itu tetap pada kemajemukan masing-masing. Mereka dapat hidup serasi, berdampingan, seperti tulisan yang terdapat dalam lambang negara yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan.
Karena itu harus memperjelas dalam hubungan antara:
a)      Kebudayaan atau kekuatan Nasional dengan kebudayaan suku-suku bangsa/daerah.
b)      Kebudayaan suku-suku bangsa/daerah denag kebudayaan suku-suku nbangsa/daerah yang lain.
Kuatnya integrasi akan menjadi salah satu ukuran timbul atau tidaknya pemberontakan-pemberontakan di daerah. Demikian pula dominasi kekuatan ditingkat Nasional oleh salah satu suku bangsa akan menimbulkan konflik kekuatan antara suku-suku bangsa.
3.      Integrasi Sosial
        Integrasi sosial (integrasi masyarakat) dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama dijunjung tinggi.[12]
        Integrasi masyarakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada dimasyarakat sehingga tidak terjadi konflik, dominasi, tidak banyak sistem yang tidak saling melengkapi, dan tumbuh integrasi tanpa paksaan.
        Sejarah telah mencatat bahwa sumpah pemuda yang dicetuskan tahun 1928 adalah suatu perwujudan solidaritas sosial begitu kental merasuk dalam kalbu antar golongan pemuda. Tidak perlu dipertanyakan dari mana asal-usul suku bangsa, ras, agama, bahasa dan lain sebagainya. Mereka bergabung, membaur, menyatu dalam kadar solidaritas yang tinggi menuju terwujudnya integrasi sosial-integrasi nasional.
        Bahwa bangsa dan budaya Indonesia pada hakikatnya satu. Kenyataan adanya berbagai suku bangsa, ras, dan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnay, sehingga menjadi modal dasar bagi terwujudnya Integrasi Sosial- Integrasi Nasional.

E.     Integrasi Nasional
              Integrasi nasional merupakan masalah yang dialami oleh semua negara atau nation yang ada di dunia, yang berbeda adalah bentuk permasalahannya yang dihadapinya. Beberapa negara yang berdiri setelah Perang Dunia II ternyata banyak yang tidak mampu mengintegrasikan berbagai golongan dalam masyarakatnya.
              Menghadapi masalah integrasi ini sebenarnya tidak memiliki kunci yang pasti karena masalah yang dihadapi berbeda dan latar belakang sosio kultural nation state yang berbeda pula. Sehingga masalah integrasi cenderung diselesaikan sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan. Ada yang menempuh jalan kekerasan dan ada yang menempuh strategi politi yang lebih lunak.
1.      Beberapa Permasalahan Integrasi Nasional
        Permasalahan utama yang dihadapi dalam integarasi nasional ini adalah adanya cara pandang yang berbeda tentang poal laku duniawi dan cara untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain masalah integrasi nasional ini pada prinsipnya bersumber pada perbedaan ideologi.[13]
        Permasalah yang kedua, permasalahan yang ditimbulkan oleh kondisi masyarakat majemuk, yang terdiri dari berbagai kelompok etnis baik diantara penduduk pribumi maupun keturuan asing.
        Perasaan solidaritas yang tinggi menyebabkan nation-nation lam tidak bisa hilang walaupu telah bergabung dalam nation Indonesia yang baru. Hal ini yang menyebabkan bahwa masalah integrasi berbagai kelompok etnis merupakan masalah pokok bagi integarsi nasional indonesia. Selain masalah etnis pribumi indonesia juga menghadapi masalah integrasi warga negara keturunan assing. Karena mereka yang tergolong keturunan asing ini secara genitas masih memiliki hubungan dengan negara asalnya, maka mereka berusaha mengemabangkan kebudayaan asalnya di Indonesia. Ini merupakan masalah abru bagi negara Indonesia.
        Permasalahan ketiga, adalah masalah teritorial daerah yang seringkali berjarak cukup jauh. Lebih-lebih indonesia yang berbentuk negara kepulauan dan merupakan arus lalu lintas dua benua dan dua samudera. Kondisi ini akan lebih mempererat rasa solidaritas kelompok etnis tertentu.
        Masalah keempat, ditimjau dari kehidupan dan pertumbuhan partai politik. Permasalahan politik di indonesia berpenagruh pula dalam mencapai integrasi nasional. Disamping itu adanya partai-partai politik yang terikat oleh kepentingan-kepentingan primordial yang secara tidak langsung terikat oleh kepentingan kelompok elite dan kelompok etnis tertentu.

2.      Upaya Pendekatan
        Disamping perbedaan golongan itu sendiri mempunayai potensi untuk menuju kearah integrasi dengan sistem silang menyilang (cross cutting affilation) yang akan melahirkan pelapisan sosial yang saling menyilang, atau paling tidak maka diusahakan pula langkah-langkah yang lebih sistematis dan operasional. Demikianlah denagn sistem saling menyilang ini konflik antara suku-suku bangsa daerah akan dapat diredakan dengan adanya pertemuan dibidang agama.[14]
3.      Integrasi Nasional dalam Perspektif
        Seperti yang diasumsikan oleh Harsya W. Bachtiar bahwa masalah integrasi nasioanal akan tetap masalah, tanpa memandang apakah itu negar abaru ataupun negara yang sudah lama, karena pada setiap soal konflik dapat saja terjadi.
        Namun demikian integrasi nasional sebagai suatu cita-cita nasional maupun cita-cita negara akan dapat terwujud atau paling tidak menekan kemungkinan permasalahan yang timbul dengan berbagai usaha yang mendukung potensi masyarakat untuk berintegrasi sendiri secara alamiah dengan sistem cross cutting affilation. Disamping dukungan usaha-usaha seperti yang telah dikemukakan diatas, maka masih ada penunjang yang cukup berpengaruh terhadap usaha-usaha lain yaitu memperkuat kedudukan ideologi nasional.

F.     Penutup
            Manusia yang berbudaya tercipta dan berkembang sebagai perwujudan kehidupan individu tersebut dalam bermasyarakat. Ada empat faktor yang membentuk sikap mental dalam kehidupan manusia yaitu keturunan atau faktor warisan biologis, kebudayaan atau faktor warisan sosial, lingkungan alam atau faktor geografis, dan faktor kelompok masyarakat.
            Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu.
            Diskriminasi ini timbul karena pandangan-pandangan stereotip yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu yang umumnya berorientasi politik dan ekonomi.
            Golongan-golongan yang berbeda dan integrasi sosial dibagi menjadi tiga yaitu masyarakat majemuk dan nasion Indonesia, integrasi, dan integrasi sosial.
            Integrasi nasional adalah masalah yang dialami oleh semua negara atau nation yang ada di dunia, yang berbeda adalah bentuk permasalahannya yang dihadapinya.   




























Daftar Pustaka

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar Jakarta: PT Rineka Cipta. 2009.
Hartono dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar  Jakarta: Bumi Aksara. 1990.
Munandar Soelaeman,  Ilmu Sosial Dasar  Bandung: Eresco. 1993.



[1]Hartono dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar  (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 256.
[2] Ibid., hlm. 256-257.
[3] Ibid., hlm. 258
[4]Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 269.
[5]Munandar Soelaeman,  Ilmu Sosial Dasar  (Bandung: Eresco, 1993),  hlm. 236-237.
[6]  Ibid., hlm. 238.
[7] Ibid., hlm. 235.
[8]Hartono dan Arnicun Aziz. Ilmu Sosial Dasar  (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 265-266

[9]Abu Ahmadi,  Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),  hlm. 285.
[10]  Ibid., hlm. 286.
[11] Ibid.,  hlm. 288.
[12] Ibid., 289-292.
[13]Ibid., hlm.293-294.
[14] Ibid., hlm. 296-297.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL