A.
Pendahuluan
Setiap tingkah laku individu satu
dengan individu lain pasti berbeda. Individu bertingkah laku karena ada
dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Tapi apabila gagal dalam memenuhi
kepentingannya akan banyak menimbulkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi
lingkungannya. Suatu hal yang saling berkaitan, apabila seorang individu
mempunyai prasangka dan akan cenderung membuat sikap untuk membeda-bedakan.
Maka akan terjadi sikap bahwa kebudayaan dirinya lebih baik daripada kebudayaan
orang lain, sehingga timbullah konflik yaitu berusaha untuk memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan.
Didalam kelompok masyarakat
Indonesia, konflik dapat disebabkan karena faktor harga diri dan kebahagian
kelompok terusik, benturan (kepentingan politik, ekonomi, pertentangan). Adat
kebiasaan dan tradisi yang hidup dalam masyarakat merupakan tali pengikat
kesatuan perilaku didalam masyarakat. Suatu kelompok yang ada dalam keadaan
konflik yang berlangsung lama biasanya mengalami disintegrasi. Dan untuk
menyelesaikan semua itu melalui integrasi masyarakat. Integrasi dapat
berlangsung cepat dan lambat karena dipengaruhi oleh faktor homogenitas
kelompok, besar kecilnya kelompok, mobilitas geografis, dan efektivitas
komunikasi.
Hidup bermasyarakat adalah
berhubungan baik antara dihubungkan dengan menghubungkan antara
individu-individu maupun antara kelompok dan dorongan. Hidup bermasyarakat juga
berarti kehidupan dinamis dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling
memberi dan menerima. Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota
penerima karena ia patut untuk menerima. Ikatan berupa norma serta nilai-nilai
yang telah dibuatnya bersama diantara para anggotanya menjadikan alat
pengontrol agar para anggota masyarakat tidak terlepas dari rel ketentuan yang
telah disepakati itu.
B. Perbedaan Kepentingan
Manusia sebagai makhluk individu
kehidupannya selalu tidak terlepas dengan masyarakatnya. Sebagai individu
manusia mempunyai peranan-peranan yang khas dalam lingkungannya serta
kepribadian dan pola tingkah laku yang khas pula.
Dalam
kaitan di atas maka manusia dalam kehidupan di masyarakat akan berhadapan
dengan kepentingan-kepentingan lain yang berkembang dalam kelompok tersebut.
Kepentingan-kepentingan yang berkembang selama
kelompok tersebut jarang bertentangan dengan kepentingan individu tersebut.
Sebagai Human being bahwa individu selalu berkait dalam kehidupan
masyarakat. Kehidupan dalam masyarakat merupakan syarat mutlak untuk
mengembangkan individu tersebut untuk memampukannya dalam bermasyarakat dan
berkebudayaan. Manusia yang berbudaya tercipta dan berkembang sebagai
perwujudan kehidupan individu tersebut dalam bermasyarakat. Ada empat faktor
yang membentuk sikap mental dalam kehidupan manusia:
1. Keturunan
atau faktor warisan biologis
2. Kebudayaan
atau faktor warisan sosial
3. Lingkungan
alam atau faktor geografis
4. Faktor
kelompok masyarakat
Dari
empat faktor di atas terlihat bahwa pembentukan kepribadian individu tersebut
juga memerlukan keterampilan dari individu tersebut untuk mengolah potensi yang
ada pada diri individu tersebut untuk ditransformasikan dalam kehidupan
sekitarnya (masyarakat). Masyarakat
tradisonal di Indonesia, pada umumnya bersifat kolektif. Segala kegiatan
didasarkan pada kepentingan masyarakat: kepentingan-kepentingan individu
walaupun diakui, mempunyai fungsi sosial.
Tidak
jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya
tersebut, yang dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan.
Pertentangan antar kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi
muda. Pertentangan-pertentangan demikian itu kerapkali terjadi, apalagi pada
masyarakat-masyarat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap
modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih muda untuk
menerima unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) yang dalam
beberapa hal mempunyai taraf yang lebih tinggi. Keadaan tersebut dapat
menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan
yang lebih bebas antara wanita dengan laki-laki, kedudukan wanita yang
sederajat dengan laki-laki di dalam masyarakat dan sebagainya.
Suatu
pertentangan antara golongan yang mempertahankan hukum adat yang tradisional
dengan golongan yang memasukkan agama islam (dalam hal ini hukum islam) pernah
pula terjadi di beberapa tempat di Indonesia pada masa-masa lalu. Dalam hal-hal
tertentu, pertentangan tersebut menghasilkan suatu akomodasi, misalnya perihal
perkawinan. Menurut adat istiadat, suatu upacara perkawinan merupan suatu
“crisis rite”, yaitu suatu upacara berhubungan dengan meningkatnya seseorang
dari tahap kehidupan tertentu, menuju ke tahap kehidupan yang selanjutnya. Perpindahan
tersebut memerlukan suatu upacara tertentu, karena orang tadi pindah ke dalam
lingkungan sosial yang baru, dan juga untuk mengumumkan kepada khalayak ramai
mengenai kedudukan sosial orang tersebut.
Menurut
hukum Islam, perkawinan merupakan suatu kontrak (akad nikah). Timbul
pertentangan mengenai saat sahnya perkawinan, yaitu apakah pada saat upacara
adat dilakukan atau pada saat ijab kabul. Pada umumnya tercapai suatu
akomodasi; terutama bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam, akad nikah
merupakan hukum yang memaksa (hukum imperatif), dan kemudian diikuti dengan
upacara menurut adatnya masing-masing.
Dalam
menghadapi standar normatif kelompok yang berkepentingan akan selalu berusaha
membentangkan tujuan-tujuannya atau harapan-harapannya diatas tebaran tata
nilai yang dijadikan standar dengan berusaha mengadakan rasionalisasi. Dalam
hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik dalam bentuk perdebatan. Bentuk
lain yang lebih ekstrim dari konflik ini adalah penyimpangan tingkah laku yang aktualisasikan secara
demonstratif maupun tingkah laku yang bersifat mediator.
Rasionalisasi
yang dilancarkan oleh pihak ego dimaksudkan untuk mencapai penafsiran moralitas
yang relevan yang memungkinkan masing-masing pihak mewujudkan kehendaknya.
Rasionalisasi yang sering memperuncing konflik dipengaruhi oleh proses
sosialisasi individu antara hubungan manusia dengan norma-norma telah berubah,
sehingga ia merasa benar-benar harus berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan.
Disinilah puncak dari suatu konflik.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat kita katakan
bahwa pada awalnya konflik dimulai dengan pertentangan yang bersifat ideologis
dan kemungkinan akan berakhir pada saat salah satu pihak memaksakan pengertian
mereka tentang moral maupun suatu harapan yang diikuti dengan kesadaran bahwa
salah satu diantaranya telah berbuat kekeliruan. Ini harus kita sadari sebagai
konsekuensi paling ringan dari suatu konflik ideologis atau perbedaan ideologi.
Pada kenyataan-kenyataan seperti
itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang
merupakan konsensus dari berbagai subdeologi yang akhirnya akan melahirkan
kondisi dis-integrasi atau konflik. Permasalahan utama yang jelas tampak dalam
tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara harapan
(tujuan sosial) dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya.
Perbedaan kepentingan
ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal
beberapa fase, yaitu:
a.
Fase
disorganisasi yang terjadi karena
kesalahfahaman (akibat pertentangan antara harapan dengan standar normatif),
yang menyebabkan sulitnya atau tidak dapatnya satu kelompok sosial menyesuaikan
diri dengan norma (ideologi).
b.
Fase
disentegrasi (konflik) yaitu pertanyaan tidak setuju dalam berbagai bentuk
seperti timbulnya emosi masa yang meluap, protes, aksi mogok, pemberontakan dan
sebagainya.
Secara lebih teliti Walter T. Martin dan
kawan-kawannya mengemukakan tahapan pertama disintegrasi sebagai berikut:
1)
Ketidaksefahaman
anggota kelompok tentang tujuan sosial yang hendak dicapai yang semula menjadi
pegangan kelompok;
2)
Norma-norma
sosial tidak membantu anggota masyarakat lagi dalam mencapai tujuan yang telah
disepakatinya;
3)
Norma-norma
dalam kelompok dan yang dihayati oleh kelompok bertentangan satu sama lain;
4)
Sangsi
sudah menjadi lemah bahkan sangsi tidak dilaksanakan dengan konsekuen lagi.
5)
Tindakan
anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
Pandangan sosiologis
tentang proses disorganisasi dan disintegrasi tidak saja akan melahirkan
konflik sosial, tetapi pada hal-hal tertentu dapat mengarah kepada integrasi
kelompok maupun masyarakat.
C. Prasangka dan Diskriminasi
1. Prasangka
Prasangka atau prejudice berasal dari kata Latin prejudicium, yang pengertiannya sekarang
mengalami perkembangan sebagai berikut:
a. Semula
diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas dasar
pengalaman yang lalu.
b. Dalam
bahasa Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan
pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.
c. Untuk
mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional (suka-tidak suka)
dalam keputusan yang diambil tersebut.
Prasangka sosial
merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap manusia tertentu, golongan ras
atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu.
Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap
golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain.
Prasangka sosial yang pada mula-mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaaan
negatif itu, lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang
diskriminatif terhadap orang-orang termasuk golongan yang diprasangkai itu,
tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan
tindakan-tindakan diskrimitatif. Tindakan-tindakan diskrimatif dapat diartikan
sebagai tindakan-tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan
perkembangannya, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang hanya karena
mereka kebetulan termasuk golongan yang diprasangkai itu.
Prasangka ini
sebagian besar sifatnya aprior, mendahului pengalaman sendiri (tidak
berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau
pengoperan langsung pada pola orang lain, atau dioper dari milieu dimana orang
menetap. Gradasi prasangka meneunjukkan adanya distansi sosial antara ingroup dan outgroup. Dengan kata lain, tingkat prasangka itu menumbuhkan jarak
sosial tertentu diantara anggota kelompok sendiri dengan anggota-anggota
kelompok luar, dengan kata lain adanya diskriminatif antar kelompok.
Prasangka bisa
diartikan sebagai suatu sikap yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan
generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan diberangi proses
simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap suatu realita. Sikap menurut
Morgan (1966), adalah kecenderungan merespon, baik secara positif ataupun
negatif, terhadap orang, objek, atau situasi. Tentu saja kecenderungan untuk
merenspon ini meliputi perasaan atau pandangannya, yang tidak sama dengan
tingkah laku. Sikap sesorang baru diketahui bila ia sudah bertingkah laku.
Sikap merupakan salah satu determinan dari tingkah laku, selain motivasi dan
norma masyarakat. Oleh karena itu kadang-kadang bertentangan dengan tingkah
laku.
Newcomb mengemukakan pendapat bahwa prasangka
dapat diartikan sebagai yang tak baik dan sebagai suatu predisposisi untuk
berpikir, merasa dan bertindak dengan cara yang menentang atau menjauhi dan
bukan menyokong atau mendekati orang-orang lain, terutama sebagai anggota
kelompok. Pengertian Newcomb tersebut timbul dari gejala-gejala yang terjadi
dalam masyarakat.
Pengalaman
seseorang yang bersifat sepintas, yang bersifat perfomance semata akan cepat
sekali menimbulkan sikap negatif terhadap suatu kelompok atau terhadap
seseorang. Melihat penampilan orang-orang Negro maka sering menimbulkan kesan
keras, sadis, tidak bermoral dan sejenisnya.
Pandangan yang
demikian akan menimbulkan kesan bergaul dengan mereka dan selalu memandangnya
dengan sikap negatif.
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan, bahwa sikap mempunyai komponen-komponen, yakni:
a. Kognitif
artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya, terlepas pengetahuan itu
benar atau salah.
b. Afektif
artinya dalam sikap akan selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju atau tidak
setuju) mengenai objek sikapnya.
c. Konatif
artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai
dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif
(tindakan agresif).
2. Diskriminasi
Diskriminasi
adalah suatu pola perilaku yang mengarah pada perlakuan yang tidak adil atau
tidak menyenangkan terhadap kelompok lain. Diskriminasi ini timbul karena
pandangan-pandangan stereotip yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan tertentu yang umumnya berorientasi politik dan ekonomi.
Dengan adanya sikap-sikap menghambat, mematikan dan mencemohkan suatu kelompok
lain akan menimbulkan rasa antipati dan permusuhan antar kelompok yang
merupakan manifestasi konflik.
Diskriminasi terhadap suatu pihak yang lain
pasti merugikan pihak yang akan dikenai diskriminasi.
Diskriminasi
dapat terjadi pada bidang:
a. Pekerjaan,
yang berarti anggota kelompok tertentu tidak diterima untuk mendapatkan
pekerjaan.
b. Politik,
yang berarti anggota kelompok tertentu tidak mendapat hak di pemerintahan
(misalnya memilih).
c. Ditempat
umum, yang berarti anggota kelompok tertentu tidak mendapatkan kesempatan untuk
menikmati tempat tertentu (misalnya temapt hiburan).
d. Perumahan,
yang artinya anggota kelompok tertentu tidak mendapatkan kesempatan menikamati
perumahan yang ada (misalnya fasilitas perumahan flat.
Masih
banyak dilakukan usaha-usaha agar supaya diskriminasi yang dijalankan dapt
berlangsung demi tujuan yang diinginkan tercapai. Namun perlu kita sadari bersama
bahwa diskriminasi sangat merugukan bagi pembangunan nasional.
D. Golongan–Golongan yang Berbeda dan
Integrasi Sosial
1. Masyarakat
majemuk dan nasion Indonesia
Masyarakat
Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk, yaitu suatu masyarakat negara
yang terdiri dari beberapa suku bangsa atau golongan sosial yang dipersatukan
oleh kekuatan Nasional, yaitu berwujud Negara Indonesia.
Masyarakat yang
majemuk tersebut dipersatukan oleh sistem Nasional yang mengintegrasikannya
melalui jaringan-jaringan administrasi pemerintahan, politik, ekonomi dan
sosial yang berpusat di kota-kota. Untuk lebih jelas dikemukakan aspek dari
kemasyarakatan tersebut.
a. Suku
Bangsa dan Kebudayaan
Indonesia
terdiri dari sekitar 13.000 buah pulau besar dan kecil dan sejumlah laut, selat
dan samudera mewujudkan satu daerah atau lingkungan alam yang berbeda-beda
antara satu denagn lainnya. Perbedaan lingkungan alam emepengaruhi ciri-ciri
jasmaniah penduduk di masing-masing daerah sehingga penduduk Indonesia
mewujudkan ciri-ciri jasmaiah yang berbeda-beda.
Di daerah-daerah
di Indonesia yang tersebar luas terdiri dari sejumlah suku bangsa yang dikenal
pula dengan masyarakat daerah. Di Sumatera dikenal beberapa suku bangsa
seperti: Aceh, Batak, Mingkabau, dan sebagainya. Di Kalimantan dikenal suku
bangsa Dayak, Banjar. Di Sulawesi dikenal suku bangsa Makasar, Bugis, Minahasa
dan di kepulauan-kepulauan lainnya dikenal suku bangsa yang tidak sedikit
jumlahnya.
Oleh karena itu
tiap suku bangsa mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. maka di Indonesia juga
terdapat sejumlah sistem budaya yang dipergunakan oleh masing-masing suku
bangsa.
b. Agama
Dilihat dari
segi historis suku-suku bangsa di Indonesia mempunyai toleransi yang besar
terhadap agama atau kepercayaan yang lain. Kepercayaan seperti diwujudkan dalam
agama Islam atau agama Kristen dan kepercayaan lain (Hindu Budha) merupakan
sumber nilai yang dianut oleh warganya. Nilai merupakan pedoman umum yang
digunakan dalam memili antara bebrabagai kemungkinan pilihan. Nilai digunakan
dalam menentukan tujuan tindakan atau usaha. Orang menggunakan nilai-nilai
tertentu, karena orang menganut suatu kepercayaan tertentu yang membenarkan
nilai-nilai dianutnya. Nilai-nilai yang dianutnya bersama ini dinamakan
nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya mungkin merupakan nila lama, tetap juga
mungkin merupakan nilai-nilai baru.
c. Bahasa
Pada suku-suku
bangsa yang bermacam-macam itu terikat pula oleh satu persamaan yaitu bahasa.
Bahasa yang merupakan alat komunikasi dalam melaksanakan interaksi sosial
diantara kelompoknya. Di Bali warga masyarakatnya mempergunakan bahasa Bali
dalam mengadakan hubungan. Di masyarakat Bugis orang mempergunakan bahasa
Bugis. Di daerah Batak warga masyarakat mempergunakan bahasa Batak.Demikian
pula karya-karya satra masyarakat daerah itu mempergunakan bahasa daerahnya
masing-masing.
d. Nasion
Indonesia
Diluar suku
bangsa Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bugis, Bali, Banjar, Sasak, dan
sebagainya di Indonesia masih terdapat satu Nasion baru yaitu Nasion Indonesia.
Nasion merupakan kesatuan solidaritas, yang terbentuk sebagai hasil proses
setelah kemerdekaan tahun 1945. Nasion indonesia merupakan suatu federasi
antara suku-suku bangsa yang masing-masing merupakan kesatuan tersendiri dan
federasi ini tetap mempertahankan kesatuan mereka masing-masing.
Kesatuan
Indonesia juga mempunyai kebudayaan sendiri yang disbut kebudayaan nasional.
Kebudayaan nasional terbentuk dan merupakan perpaduan dari kebudayaan daerah
yang dapat diterima olegh masyarakat dan suku-suku bangsa lainnya.
Jadi dalam pembentukan
kebudayaan Nasional unsur-unsurnya berasal dari kebudayaan daerah. Kebudayaan
daerah itu sendiri tidak akan punah, tetapi tetap berkembang terus. Justru
mengembangkan kebudayaan daerah berarti pula memperkaya kebudayaan Nasional.
Nasion
Indonesia
Nasion
Daerah(kebudayaan daerah)
Kebudayaan Nasional sebagai
sistem kebudayaan nasional mengontrol perilaku para warganya. Penyimpanan dari
sistem kebudayaan nasional merupakan pelanggaran yang akan dikenakan sanksi.
2. Integrasi
Integrasi adalah
proses menyatukan berbagai kelompok sosial, aliran, dan kekuatan-kekuatan
lainnya dari seluruh wilayah tanah air guna untuk mewujudkan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sehat, dinamis, berkeadilan sosial, demokratis
berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Penduduk indonesia yang menempati
wilayah yang luas bukan hanya terikat oleh sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan
yang berlaku di Indonesia:
1) Sistem
kebudayaan daerah
2) Sistem
kebudayaan agama, seperti islam, kristen, hindu, dan budha
3) Sistem
kebudayaan nasional
4) Sistem
kebudayaan asing, seperti China, Arab
Keempat unsur diatas merupakan unsur dari
kebudayaan nasional. Keempat unsur tersebut sekaligus menjadi landasan dan atau
corak masalah dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang majemuk. Orang Indonesia
merupakan pendukung lebih dari satu sistem kebudayan, sebagai contoh seorang
Sunda dalam berkomunikassi dengan sukunya mempergunakan sistem kebudayaan
sunda. Disamping itu seorang sunda ada yang beragama Islam. Oleh karena itu dia
juga memakai sistem kebudayaan islam. Sebagai bagian dari rakyat Indonesia,
orang Sunda itu juga memakai sistem kebudayaan Nasional.
Dalam hal ini masalah besar yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia setelah merdeka yaitu masalah integrasi diantara
masyarakat majemuk itu. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan.
Masyarakat majemuk itu tetap pada kemajemukan masing-masing. Mereka dapat hidup
serasi, berdampingan, seperti tulisan yang terdapat dalam lambang negara yaitu
Bhineka Tunggal Ika, yang berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan.
Karena itu harus
memperjelas dalam hubungan antara:
a)
Kebudayaan atau kekuatan Nasional dengan
kebudayaan suku-suku bangsa/daerah.
b)
Kebudayaan suku-suku bangsa/daerah denag
kebudayaan suku-suku nbangsa/daerah yang lain.
Kuatnya integrasi akan menjadi salah satu
ukuran timbul atau tidaknya pemberontakan-pemberontakan di daerah. Demikian
pula dominasi kekuatan ditingkat Nasional oleh salah satu suku bangsa akan
menimbulkan konflik kekuatan antara suku-suku bangsa.
3.
Integrasi Sosial
Integrasi sosial (integrasi masyarakat)
dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari
individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga
menghasilkan persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang
sama-sama dijunjung tinggi.
Integrasi masyarakat akan terwujud
apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada dimasyarakat sehingga tidak
terjadi konflik, dominasi, tidak banyak sistem yang tidak saling melengkapi,
dan tumbuh integrasi tanpa paksaan.
Sejarah telah mencatat bahwa sumpah
pemuda yang dicetuskan tahun 1928 adalah suatu perwujudan solidaritas sosial
begitu kental merasuk dalam kalbu antar golongan pemuda. Tidak perlu
dipertanyakan dari mana asal-usul suku bangsa, ras, agama, bahasa dan lain
sebagainya. Mereka bergabung, membaur, menyatu dalam kadar solidaritas yang
tinggi menuju terwujudnya integrasi sosial-integrasi nasional.
Bahwa bangsa dan budaya Indonesia pada
hakikatnya satu. Kenyataan adanya berbagai suku bangsa, ras, dan corak ragam
budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan
landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnay, sehingga menjadi modal dasar
bagi terwujudnya Integrasi Sosial- Integrasi Nasional.
E.
Integrasi
Nasional
Integrasi nasional merupakan masalah
yang dialami oleh semua negara atau nation yang ada di dunia, yang berbeda
adalah bentuk permasalahannya yang dihadapinya. Beberapa negara yang berdiri
setelah Perang Dunia II ternyata banyak yang tidak mampu mengintegrasikan berbagai
golongan dalam masyarakatnya.
Menghadapi masalah integrasi ini
sebenarnya tidak memiliki kunci yang pasti karena masalah yang dihadapi berbeda
dan latar belakang sosio kultural nation state yang berbeda pula. Sehingga
masalah integrasi cenderung diselesaikan sesuai dengan kondisi negara yang
bersangkutan. Ada yang menempuh jalan kekerasan dan ada yang menempuh strategi
politi yang lebih lunak.
1.
Beberapa Permasalahan Integrasi Nasional
Permasalahan utama yang dihadapi dalam
integarasi nasional ini adalah adanya cara pandang yang berbeda tentang poal
laku duniawi dan cara untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain masalah integrasi
nasional ini pada prinsipnya bersumber pada perbedaan ideologi.
Permasalah yang kedua, permasalahan yang
ditimbulkan oleh kondisi masyarakat majemuk, yang terdiri dari berbagai
kelompok etnis baik diantara penduduk pribumi maupun keturuan asing.
Perasaan solidaritas yang tinggi
menyebabkan nation-nation lam tidak bisa hilang walaupu telah bergabung dalam
nation Indonesia yang baru. Hal ini yang menyebabkan bahwa masalah integrasi
berbagai kelompok etnis merupakan masalah pokok bagi integarsi nasional
indonesia. Selain masalah etnis pribumi indonesia juga menghadapi masalah
integrasi warga negara keturunan assing. Karena mereka yang tergolong keturunan
asing ini secara genitas masih memiliki hubungan dengan negara asalnya, maka
mereka berusaha mengemabangkan kebudayaan asalnya di Indonesia. Ini merupakan
masalah abru bagi negara Indonesia.
Permasalahan ketiga, adalah masalah
teritorial daerah yang seringkali berjarak cukup jauh. Lebih-lebih indonesia
yang berbentuk negara kepulauan dan merupakan arus lalu lintas dua benua dan
dua samudera. Kondisi ini akan lebih mempererat rasa solidaritas kelompok etnis
tertentu.
Masalah keempat, ditimjau dari kehidupan
dan pertumbuhan partai politik. Permasalahan politik di indonesia berpenagruh
pula dalam mencapai integrasi nasional. Disamping itu adanya partai-partai
politik yang terikat oleh kepentingan-kepentingan primordial yang secara tidak
langsung terikat oleh kepentingan kelompok elite dan kelompok etnis tertentu.
2.
Upaya Pendekatan
Disamping perbedaan golongan itu sendiri
mempunayai potensi untuk menuju kearah integrasi dengan sistem silang menyilang
(cross cutting affilation) yang akan
melahirkan pelapisan sosial yang saling menyilang, atau paling tidak maka
diusahakan pula langkah-langkah yang lebih sistematis dan operasional. Demikianlah
denagn sistem saling menyilang ini konflik antara suku-suku bangsa daerah akan
dapat diredakan dengan adanya pertemuan dibidang agama.
3.
Integrasi Nasional dalam Perspektif
Seperti yang diasumsikan oleh Harsya W.
Bachtiar bahwa masalah integrasi nasioanal akan tetap masalah, tanpa memandang
apakah itu negar abaru ataupun negara yang sudah lama, karena pada setiap soal
konflik dapat saja terjadi.
Namun demikian integrasi nasional
sebagai suatu cita-cita nasional maupun cita-cita negara akan dapat terwujud
atau paling tidak menekan kemungkinan permasalahan yang timbul dengan berbagai
usaha yang mendukung potensi masyarakat untuk berintegrasi sendiri secara
alamiah dengan sistem cross cutting
affilation. Disamping dukungan usaha-usaha seperti yang telah dikemukakan
diatas, maka masih ada penunjang yang cukup berpengaruh terhadap usaha-usaha
lain yaitu memperkuat kedudukan ideologi nasional.
F.
Penutup
Manusia
yang berbudaya tercipta dan berkembang sebagai perwujudan kehidupan individu
tersebut dalam bermasyarakat. Ada empat faktor yang membentuk sikap mental
dalam kehidupan manusia yaitu keturunan atau faktor warisan biologis,
kebudayaan atau faktor warisan sosial, lingkungan alam atau faktor geografis,
dan faktor kelompok masyarakat.
Prasangka sosial merupakan sikap
perasaan orang-orang terhadap manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan,
yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu.
Diskriminasi ini timbul karena
pandangan-pandangan stereotip yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan tertentu yang umumnya berorientasi politik dan ekonomi.
Golongan-golongan yang berbeda dan
integrasi sosial dibagi menjadi tiga yaitu masyarakat majemuk dan nasion
Indonesia, integrasi, dan integrasi sosial.
Integrasi nasional adalah masalah
yang dialami oleh semua negara atau nation yang ada di dunia, yang berbeda
adalah bentuk permasalahannya yang dihadapinya.
Daftar Pustaka
Komentar
Posting Komentar