MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH AL-FARABI (AL-MU’ALLIM ATS-TSANI)


BAB I
PEMBAHASAN
A.     Latar Belakang
       Mengkaji filsafat Islam tidak semudah membalikkan tangan, ia sarat dengan muatan teologis dan historis. Secara historis, tarik-menarik kepenringan bahwa orintasi filsafat itu berasal dari Yunani atau dari Islam adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Begitu pula, dalam tataran teologis, penerimaan filsafat kerap berbenturan antara keimanan dan pemikiran riberal filsafat.
       Saling mengklaim antara ilmuan Barat dan Islam menjadi lembaran panjang filsafat, misalnya Oliver Leaman yang berpendapat bahwa filsafat Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karyanya terjemahan bahasa Arab, lalu kedalam bahasa Yahudi dan baru kemudian kedalam bahasa Latin atau langsung dari bahasa Arab ke Latin. Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa filsafat berasal dari Irak terus ke Mesir dan ke Yunani, dan kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ketangan orang-orang Arab.
       Dalam tradisi filsafat, agar bisa sampai pada suatu makna yang esensi dari suatu hal, seseorang harus melakukan penjelajahan secara radikal, logis dan serius. Itulah sebabnya Aristoteles memberikan komentar, “Apabila hendak menjadi seorang filsuf, anda harus berfilsafat dan apabila tidak menjadi seorang filsuf”. Adapun dalam makalah ini penulis akan membahas biografi A-l-farabi dan pemikiran filsafat Al-farabi.

B.     Rumusan Masalah
1.       Bagaimana bigrafi Al-farabi?
2.       Apa saja karya-karya Al-farabi dan bagaimana pemikirannya tentang filsafat?

C.     Tujuan
1.       Agar kita mengetahui biografi Al-farabi.
2.       Agar kita tahu apa saja karya-karya Al-farabi dan pemikirannya tentang filsafat.





BAB II
PEMBAHASAN
A.     Biografi Al-Farabi
       Al-farabi adalah ilmuan dan filosof Islam ia juga dikenal dengan nama Abu Nasir Al-farabi dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al-farabi, ia juga dikenal didunia Barat sebagai Alphaarabius, Al-farabi, farabi dan Abu Nasr terlahir di daerah farab, kaazakhstan tahun 257 H/870 M.[1]
       Al-farabi berpakaian rapi sejak kecil. Ayahnya seorang obsir tentara turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa kesustraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir, dan ilmu hadist), dan aritmatika dasar.
       Al-farabi mudah mempelajari ilmu-ilmu islam dan musik di bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu disana selama 20 tahun. Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al-farabi kemudian menggembara dikota Harran yang terletak di Utara Sria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar Filsafat dari Filusuf kristen terkenal yang bernama Yuhana Bin Jilat. Tahun 940 M, al-farabi melanjutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Syaf Al-Daula Al-Hamdanid, kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simapatisan para Imam Syi’ah. Kemudian Al-farabi wafat di Damaskus pada usia 80 tahun (rajab 339 H/Desember 950 M) pada masa pemerintahan khalifah Al-Muthi’ (masih dinasti Abbasiyah).[2]
       Al-farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa yunani, ia mengenal para filusuf Yunani: Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti Matematika, Filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, kitab Al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan berbagai alt musik.
       Al-farabi dikenal dengan sebutan “guru kedua” setelah aris toteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai “guru pertama dalam Ilmu Filsafat”. Dia adalah filusuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti didalam konteks Agama-agama wahyu.[3]
       Al-farabi hidup pada daerah otonomi dibawah pemerintahan Syaf al-Daula di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah, yang berbentuk monarki yang dipinpin oleh seorang khalifah. Ia lahir dimasa kepemimpinan khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan khalifah al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kesetabilan politik.
       Dalam kondisi demikian al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide ataupun pemikiran-pemikiran Yunani kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (negara utama).
       Al-farabi dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka dari era abad pertengahan selama hidupnya. Tampaknya al-Farabi condong kepada Esoteris dan berpendapat bahwa Filsafat tidak dapat diberikan kepada sembarang orang, dan bahwa para filosof harus menerangkan gagasan-gagasannya yang teka-teki dan bermakna ganda. Dan bahkan sampai sekarang, bukanlah pekerjaan yang mudah memahami arti dan maksud ungkapan-ungkapan farabi.[4]
       Metode yang beliau pakai hampir sama dengan laggam yang dimilikinya. Ia mengumpulkan dan menggeneralisasi, ia menyusun dan menyelaraskan dan ia menganalisis untuk menulis, ia membagi dan membagi lagi agar terpusat dan terkelompokkan. Dalam beberapa tulisan pembagian pengelompokan tampak hanya tujuan belaka. Risalahnya yang berjudul “apa yang harus dipelajari sebelum mencoba filsafat” berbentuk indeks aliran-aliran filsafat yunani, arti judul-judul dan nama-nama pengarangnya. Ia terutama memusatkan diri pada pengkajian tujuan-tujuan dan langgam karya-karya Aristoteles. Bukunya yang berjudul “klasifikasi ilmu” merupakan upaya pertama untuk jenis karya ini dalam sejarah pemikiran muslim.[5]
       Al-farabi gemar kebalikan-kebalikan, ia memang memberikan kebalikan pada hampir setiap istilah yang digunakannya, sehingga penolakan berarti pengesahan, dan kejadian, bukan kejadian. Ia menulis sebuah risalah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Dalam risalah ini, ia memberikan pernyataan yang ia hadapkan dan pertentangkan dengan lawannya, dengan maksud mendapatkan penyelesaian yang baik. Hal ini mengingatkan kita kepada parmanides-nya Plato.
       Perhatian utamanya ialah menegaskan dasar-dasar teori dan landasan doktin, mempercerah kegelapan-kegelapan dan membicarakan masalah-masalah kontroversial, untuk memproleh kesimpulan yang benar. Tetapi, beliau sedikit sekali memperhatikan topik-topik yang dianggap biasa dan apa yang ia duga dapat terbukti dengan sendirinya, ia kesampingkan tanpa usaha menjelaskannya. Contoh tepat dalam hal ini ialah karangannya yang berjudul “tujuan stagirite” pada setiap bab bukunya yang bernama alfabet. Buku ini sangat erat kaitannya dengan pendahuluan atau kritik kita terhadap suatu buku baru. Buku ini sangat bermanfaat dibandingkan dengan karya serupa yang ditulis oleh filosof semasanya. Tak mengherankan bahwa ibn Sina mendapatkan dalam risalah ini kunci “metafisika” Aristoteles.
       10 dan ke 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut al-farabi. Beberapa tulisannya telah pula diterjemahkan kedalam bahasa Yunani dan Latin, dan telah mempengaruhi sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karya ini telah diterapkan pada 10 tahun terakhir abad ke 13 H/ke 19 M, dan beberapa diantaranya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa Eropa modern. Tetapi pada saat ini masih diperlukan lagi sejumlah besar publikasi kembali dengan penyuntungan cermat, terutama pada sekarang ini perpustakaan-perpustakaan di Instanbul telah lebih banyak terbuka bagi kita dari pada sebelumnya, dan kita dapat mengisi kesenjangan melalui jalan itu.

B.     Karya dan pemikiran Al-Farabi Tentang Filsafat
1.       Karya Al-Farabi
      Al-farabi dikenal sebagai filosof Islam yang tebesar memiliki keahlian dalam bidang keilmuan, seperti bahasa, matematika, logika, mantik, dan sebagainya. Jika ditinjau dari ilmu pengetahuan karya-karya al-farabi dapat ditinjau menjadi 6 bagian:[6]
a.       Logika
b.       Ilmu-ilmu matematika
c.       Ilmu alam
d.       Ilmu teologi
e.       Ilmu politik dan kenegaraan
f.        Bunga rampai (kutub muanawwa’h)
      Sebagian besar karya beliau hilang, dan yang masih bisa dibaca dan dipublikasikan kurang lebih 30 judul, diantaranya:
a.       Al-jam’u baina ra’yay a hakimain al-flatun wa arissthau.
b.       Tahiq ghard arissthau fi kitab ma ba’da ath thabi’ah
c.       Syarah risalah zainun al-kabir al-yunani at-ta’liqat
d.       Risalah fi ma yazidu ma’rafat qabla ta’allumi al-falsafah
e.       Kitab tahsil assa’adah
f.        Risalah fi istibat al-mufarrakah ‘uyun al-masa’ill
g.       Ara’ ahl al-madinah al-fadilah
h.       Ihsa al-‘ulum waat
i.         Ta’rif bi aghradita
j.         Fushul al-hukm
k.       Risalat al-aql
l.         As-siyasah al-madaniyah
m.     Al-masail al-falsafiyah waal ajwibah ‘anha

2.       Pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat
      Filsafat al-Farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda. Ia mengambil ajaran-ajaran para filosof terdahulu membangun kembali dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan, dan menyusunnya sedemikian sistematis dan selaras. Al-Farabi adalah seorang yang logis baik dalam pemikiran, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya. Filsafatnya mungkin bertumpuk pada beberapa pemikiran yang keluru dan mungkin juga berisi beberapa hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan yang modern, tetapi ia memiliki peranan pening dan pengaruh yang besar dibidang pemikiran masa-masa sesudahnya. Adapun corak dan unsur-unsur penting filsafat beliau yang dimulai dengan studi logika al-Farabi akan dijelaskan sebagai berikut:[7]
a.       Logika
            Sebagian besar karya al-Farabi dipusatkan pada studi tentang logika tetapi hal ini hanya terbatas pada penulisan kerangka organon, dalam fersi yang dikenal oleh para sarjana Arab pada saat itu. Ia mebyatakan bahwa, seni logika, umumnya, memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan. Menurut beliau, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantara dengan ilmu syair. Beliau menekankan praktek dan penggunaan asfek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.
            Logika juga membantu kita membenakan yang benar dan yang salah dan memproleh cara yang benar dalam befikir atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini, ia juga menunjukkan darimana kita mulai berfikir dan bagaimana mengarahkan fikiran itu kepada keimpulan-kesimpulan akhir. Dalam berpidato dan berdialog, dalam geometri dan ilmu hitung, logika tidak dapat dikesampingkan, sebagaimana dalam mempelajari sejumlah pusi atau pidato, orang tidak bisa mengesampingkan tata bahasa. Seni logika menurut pendapat umum bukanlah hanya sekedar hiasan tak beguna, karena ia tidak dapat digantikan dalam kemampuan ilmiah. Tetapi al-farabi selalu membedakan antara tata bahasa dan logika, tata bahasa hanya berkaitan dengan kata-kata, sedangkan logika berkaitan dengan arti dan kata-kata yang merupakan penjelmaan makna. Terlebih, tata bahasa selalu berkenaan dengan aturan-aturan bahasa, sedangkan bahasa itu, berbeda-beda, tetapi logika berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu sama dimana dan kapan pun.
Masalah pokok logika ialah, topik-topiknyayang membahas aturan-aturan pemahaman. Topik-topik itu dikelompokkan menjadi 8:
1)       Pengelompokan
2)       Penafsiran
3)       Pengupasan pertama
4)       Pengupasan kedua
5)       Topik
6)       Sofistik
7)       Retorik
8)       Puisi
            Yang kesemua itu merupakan tujuan logika. Bagian ke4 merupakan bagian yang paling berguna dan paling penting dibandingkan dengan yang lainnya: yang terdahulu dapat dianggap sebagai pendahuluan dan berikutnya merupakan penerapan dan perbandingan yang dimaksutkan untuk menghindari kesalahan dan kebingungan.
            Jelaslah bahwa Al-farabi mengikuti langkah-langkah Aristoteles, meskipun ia memasukkan retorika dan puisi kedalam cabang logika. Kesalahan serupa dilakukan oleh para pengikut Aristoteles terutama yang berasal dari aliran Alexandria. Beberapa diantara mereka bahkan mengakui isagoge (pendahuluannya) porphyry sebagai bagian dari organonnya Aristoteles, tetapi pengakuan ini tidak didukung oleh Al-Farabi yang terkenal sebagai “guru kedua” (the secon teacher), Aristoteles dianggap sebagai guru pertama. Tak diragukan lagi, pemaparan dipandang penting oleh Aristoteles, tetapi nampaknya ia lebih bangga dengan penemuannya tentang silogisme.
            Sumbangan Al-Farabi dibidang logika ada 2. Pertama beliau telah berhasil secara tepat dan jelas menerangkan tentang logika Aristoteles kepada bangsa yang berbahasa Arab. Dalam pendahuluan salah satu risalahnya yang diterbitkan akhir-akhir ini, ia menujukkan bahwaia menerangkan prinsip-prisip silogisme Aristoteles dalam istilah yang dikenal kaum bangsa Arab, karena itu ia memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masa hidupnya, yang menggantikan contoh-contoh samar dan asing yang digunakan oleh Aristoteles. Proses yang dilakukannya betapapun tidak merugikan studi logika Aristoteles, dan tidak pula membuat jalan lain, atau memutar balikkan arti filsafatnya.
b.       Kesatuan filsafat
            Al-Farabi berpendapat bahwa pada hakikatnya filsafat merupakan satu kesatuan. Karena itu, para filosof besar harus menyetujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran. Plato dan Aristoteles, yang menjadi cikal bakal filsafat dan penscipta unsur-unsur dan prinsip-prinsipnya dan penanggung jawab terakhir kesimpulan-kesimpulan dan cabang-cabangnya, sangat setuju meski ada beberapa perbedaan formal dan jelas antar mereka. Maka dari itu, Al- farabi sangat yakin bahwa hanya ada satu aliran filsafat, yaitu aliran kebenaran. Istilah-istilah pengikut Aristoteles, plato, stoi dan epicure hanya menjelaskan nama-nama kelompok filosof. Semuanya membentuk satu aliran filsafat. Kelompok-kelompok merupakan kerikil-kerikil dalam filsafat, sebagaimana terjadi pada politik. Al- farabi sebagai filosof dan ahli sejarah, menyadari sepenunya bahwa semangat kekelompokan didalam filsafat. Adanya semangat kekelompokan ini, sedikit banyak dipengaruhi oleh panatifisme diantara para pengikut filosof-filosof besar. Disamping usaha menyelaraskan ajaran-ajaran berbagai filosof, pengikut-pengikut itu pun mempertahankan perbedaan-perbedaan besat antara dua guru dengan menekankan pengertian-pengertian berlainan, malah kadang-kadang membuat alternatif baru dan mengungkapkan ajaran-ajaran mereka secara salah. Sikap Al-farabi terhadap perdebatan dan perbedaan antara filosof masa Renaissance ini sama dengan sikap para filosof abad 12 H/18 M.[8]
c.       Teori 10 kecerdasan
            Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Beliau merupakan dasar fisika dan antronomi. Bidang utama gerakannya ialah pemecahan masalah yang Esa dan yang banyak dan pembagian antara yang berubah dan yang tetap. Al-farabi berpendapat bahwa yang esa yaitu Tuhan, yang ada dengan sendirinya, karena itu, ia tidak memerlukan yang lain bagi ada-Nya atau keperluan-Nya. Ia mampu mengetahui diri-Nya sendiri. Ia mengerti dan dapat dimengerti. Ia sangat unik, karena sifat-Nya memang demikian. Tak ada yang sama dengan-nya. Ia tidak memiliki perlawaan ataupun persamaan.
            Bila premis-premis diatas dapat diterima, lantas apakah pengaruh Tuhan terhadap alam semesta ini, dan bagaimana hubunga antara Dia dengan yang banyak? Al-farabi telah berupaya keras menyelesaikan masalah-masalah ini dengan semacam “pemancaran”. Ia berpendapat bahwa dari yang Esa lah memancar yang lain, berkat kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya. Pemancaran ini merupakan kecerdasan yang utama. Dengan demikian, pengetahuan sama dengan ciptaan, karena cukuplah dengan melukiskan sesuatu untuk mengadakan-Nya. Kecerdasan pertama mungkin dengan sendiri-Nya perlu dengan yang lain, dan ia memikirkan yang Esa dan dirinya.[9] Ia adalah satu dalam dirinya, dan banyak bakat pertimbangan-pertimbangan ini. Dari sinilah Al-farabi memulai langkah pertama ke arah kelipatan. Dari pemikiran intelegensi pertama yang Esa, lahirlah intelegensi lain. Karena pemikirannya tentang dirinya sendiri bisa terjadi pada dirinya memancarlah materi dan bentuk “langit pertama”, sebab setiap lingkungan mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya. Beginilah rantai pemancran berlangsung hingga melengkapi seluruh intelegensisembilan lingkungan dan sembilan ruh mereka. Intelegensi ke10 dan terakhir, atau intelegensi agen, adalah yang mengatur dunia fana ini. Dan dari intelegensi inilah mengalirruh-ruh manusia dan 4 unsur.
            Intelegensi-intelegensi dan ruh-ruh ini merupakan susunan hirarkis. Intelegensi pertaa dengan hirarki yaitu yang tertinggi, kemudian ruh-ruh lingkungan dan lingkungan itu sendiri. Susunan terakhir yaitu bimi dan dunia materi yang berada pada urutan ke4. Orang Yunani kuno berpendapat bahawa segala yang bercorak langit adalah suci, dan segala yang bercorak bumi adalah tidak suci. Ajara Islam menerangkan bahwa langit merupakan kiblat shalat, sumber wahyu dantujuan akhir mi’raj. Segala yang dilangit adalah suci dan tersucikan. Disini, Al-farabi menyesuaikan antara ajaran gama dan filsafat, tetapi kesulitan utama terletak pada penekanannya bahwa ketidak sucian bumu timbul dari langit yang sucu itu.
            Jumlah intelegensi adalah 10, terdiri atas intelegensi pertama dan 9 intelegensi planet dan lingkungan, karena Al-farabi menggunakan teori-teori yang sama digunakan oleh alih Astronomi Yunani, terutama plotenius yang berpendapat bahwa kosmos terdiri atas 9 lingkungan yang kesemuanya bergerak mengelilingi bumi secara tetap. Setiap lingkungan mempunyai intelegensi dan ruh. Intelegensi dan ruh merupakan asal gerak. Intelegensi ke10 mengatur hal-hal yang berkaitan dengan bumi. Ruh adalah penggerak lingkungan tetapi ia memperoleh kekuatan dari intelegensi. Ia bergerak sesuai dengan intelegensi, dan menuju kesempurnaan dan menggerakkan lingkungannya. Karena itu hasratnya merupakan sumber geraknya. Sedang intelegensi dalam perputarannya merupakan hasrat abadi. Yang rendah menghasratkan yang tertinggi, dan segalanya menghasratkan yang satu, yaitu penggerak pertama meskipun ia tak tergerakkan.[10]
            Tetapi,kesimpulan-kesimpulan Al-farabi tentang fisika berhubungan erat dengan astronomi. Dari intelegensi ke 10 lahirlah materi-materi utama hyle, yang merupakan asal dari 4 unsur, dari intelegensi itu pula lahirlah bentuk-bentuk berlainan yang menyatu dengan hyle untuk membentuk wadag. Dunia bumi hanyalah serangkaian aneka bentuk berlainan yang menyatu dengan materi atau terpsah darinya. Pertumbuhan merupakan hasil persatuan bentuk dan materi, dan kerusajkan merupakan hasil pemiasahan mereka.gerak matahari menghasilkan panas dan dingin yang perlu bagi perubahan, semua intelegensi yang terpisah menghasilkan gerak yanga bermanfaat bagi bumi. Disinilah fisika brbaur dengan kosmologi dan dunia bumun diatur oleh dunia lain.
            Betapapun Al-farabi menolak apa yang disebut Astrologi yang berkembang luas pada masanya, dan dikembangkan oleh para filosof Stoic dan sarjana-sarjana Alexandria pada masa sebelumnya.
d.       Teori tentang akal
            Teori psikologi Aristoteles telah lama terkenal sederhana dan tepat, dan sebagai suatu studi objektif, ia tidak kurang diperhatikan. Pengelompokan Aristoteles akan unsur-unsur jiwa adalah yang pertama akan hal ini.ia menekankan kesatuan meski terdapat kejamakan unsur jiwa dan menjelaskan pertaliannya dengan tubuh. Ia telah mengupayakan teori tentang akal, meski tak memadai sehingga menimbulkan masalah yang membingungkan yang modern dan yang kuno. Tetapitulisannya ”perihal jiwa” merupakan karya terbaik diantara karya kuno psikologi, bahkan melebihi karya modern, pada abad-abad pertengahan, ia merupakan epepuler  organon.[11]
            Buku ini diperkenalkan kepada orang Arab melalui terjemahan bahasa Syria dan bahasa Yunani, berikut komentar kuno terutama komentar Alexander daari Aphrodisias, themestius, simplicius. Ia merupakan subyek studi extensif filosof muslim yang memberikan komentar dan uraian tentangnya. Terpengaruh oleh aristoteles dan karyanya, para filosof ini menulis berbagai dalil dan berbagai uraian tentang psikologi, mereka terutama memusatkan pada masalah akal yang merupakan salah satu masalah-masalah yang dipelajari oleh para filosof skolastik.
            Al-farabi menyadari sepenuhnya arti masalah ini, melibat didalamnya suatu rangkaian dari 10 teori ilmu pengetahuan. Ia dengan baik mengidentifikasikannya dengan filsafatnya sendiri, karena berkaitan dengan teori 10 intelegensi, dan juga merupakan pondasi teori kenabian. Ia telah membahas masalah akal di berapa tempat dalam karya-karyanya, dan ia telah mengupayakan suatu karya yang menyeluruh, “perihal aneka makna akal”. Karya ini tersebar luas dikalangan sarjana Timur dan Barat abat pertengahan dan diterjemahkan ke bahasa latin.
            Al-farabi mengelompokan menjadi akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang akan dikerjakan, dan teoritis yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini dibagi jadi 2 yaitu yang fisik(material), yang terbiasa (habitual) dan yang diperoleh (aqhuiret).
e.       Teori tentang kenabian
            Dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang dianugrahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan diberi langsung untuk menyatakan kehendaknya.[12] Islam, sebagaimana agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai penguasanya. Al-Qur’an mengatakan: “ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan Tuhan yang maha kuasa telah mengajarnya”. Q.S 53: 4-5. Adalah sangat perlu bagi filosof-filosof muslim memberi penghormatan kepada kenabian, merujukkn rasionalitas dengan tradisionalisme, dan mengawali bahasa-bahasa bumi dengan firman-firman. Hal ini telah diusahakan oleh Al-farabi. Teori tentang kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan agama dan filsafat. Bahkan dapat juga dianggap sebagai bagian utama dari sistem yang disusunnya, dengan landasan psikologi dan meta fisika dan hal itu berkaitan erat dengan ilmu politik dan etika.
f.        Penafsiran atas Al-Qur’an
            Beberapa ajaran agama bersifat tradisional, dan tidak dapat ditunjukkan oleh akal, seperti keajaiban, dan hari penentuan yang meliputi hari kiamat, kebangkitan, pengadilan dan hukuman. Menerima syam’iyyat ini merupakan tiang agama. Orang-orang beriman menerima isinya dengan ketulus hatian, tetapi, sebagai pemikir dalam upaya memberikan keterangan rasional, menafsirkannya dengan cara tertentu atau menganggapnya sekedar hukum alam. Dalam hal ini kaum mu’tazilah telah berusaha, karena sedemikian jauh dalam menafsirkan ini sehingga mereka menentang kaum Trasfiguris yang menyamakan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu yang bertentangan dengan keesaan, kesucian dan ketinggian-Nya.[13]
            Al-farabi melakukan penafsiran yang berbeda, ia mengakui keabsaan keajaiban, karena hal itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat bahwa keajaiban, meski bersifat adialami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena sumber hukum ini terdapat pada dunia lingkungan dan intelegansi yang mengatur dunia bumi, dan begitu kita berhubungan dengan dunia itu, mka kejadian-kejadian yang tak bisa akan terjadi pada diri kita. Nabi, sebagaiman diterangkan di atas, mempunyai kekuatan yang dapat menghubungkannya dengan intelegensi agen. Melalui perhubungan inilah, ia dapat menyebabkan hujan turun, tongkat dapat berobah menjadi ular, atau orang buta atau orang lepra dapat disembuhkan. Dengan begini al-farabi mencoba sebagaimana kaum Stoic telah melakukan sebelumnya, menjadikannya sebagai kejadian-kejadian sebab-sebabyang berada diluaar kebiasaan alam dan bahkan bertentangan dengannya.





















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
       Makalah ini dapat disimpulkan bahwa doktrin Al-farabi sangat selaras dan konsisten, tiap-tiap bagiannya benar-benar saling berkait. Dari yang Esa, sebab pertama, Al-farabi terus menuju keseluruh intelegensi, yang darinya dua dunia langit dan bumi memancar. Lingkunga-lingkungannya digerakkan oleh inteligensi-inteligensi yang mengaturnya, dan alam dengan pertumbuhan dan kehancurannya, terkena inteligensi-inteligensi yang ini. Ruh diatur oleh inteligensi ini, yaitu inteligensi agen. Begitu pula politik dan etika, karena kebahagian yang dituntut oleh manusia tak lain hanyalah berhubungan dengan dunia langit.
       Ajaran ini pada waktu yang sama bersifat spiritualistis dan idealistis, karena al-Farabi hampir memandang segala sesuatu sebagai jiwa. Tuhannya adalah jiwa dari segala jiwa, lingkung-lingkung astronomisnya diatur oleh jiwa-jiwa langit, dan pangeran kotanya adalah seorang yang jiwanya mengatasi tubuhnya. Spirualisme ini berakar pada gagasan-gagasan dan konsepsi-konsepsi, dan secara keseluruhan untuk di spekulasikan dan direnungkan. Yang Esa adalah gagasan yang tiada tara dan akal yang mengakali diri. Meskipun doktin al-Farabi merupan pencerminan abad-abad pertengahan, tetapi ia mengandung gagasan-gagasan modern dan kontemporer. Ia senang terhadap ilmu pengetahuan, menganjurkan eksperimen dan menolak peramalan dan astrologi.

B.     Saran
       Kami sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada para pembaca agar memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini, supanya kedepannya kami bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Dan kami juga minta maaf atas kekurangan dari makalah ini, karena kami bersifat khilaf dan lupa.  






DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.


Beavers, D. Tedd, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam Kontribusi Filosof
Muslim, Jakarta: Rora Cipta, 2001.


Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Penerbit Mizan,1963.


Ali, Yunarsil, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bumi
       Aksara, 1991.


[1]Yunarsil Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 39
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 40
[4] Ibid.
[5] Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan,1963), hlm. 60
[6] Ibid., hlm. 61
[7]Ibid., hlm 62
[8] Ibid., hlm. 64
[9] Tedd D. Beavers, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam Kontribusi Filosof Muslim, (Jakarta: Rora Cipta, 2001), hlm. 52
[10] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 38
[11] Ibid., hlm 39
[12] Ibid., hlm 44
[13] Syarif, Para Filosof Muslim, hlm. 78

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL