BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Mengkaji filsafat Islam tidak semudah membalikkan tangan, ia
sarat dengan muatan teologis dan historis. Secara historis, tarik-menarik
kepenringan bahwa orintasi filsafat itu berasal dari Yunani atau dari Islam
adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Begitu pula, dalam tataran teologis,
penerimaan filsafat kerap berbenturan antara keimanan dan pemikiran riberal
filsafat.
Saling mengklaim antara ilmuan Barat dan Islam menjadi
lembaran panjang filsafat, misalnya Oliver Leaman yang berpendapat bahwa
filsafat Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada dunia lewat
karya-karyanya terjemahan bahasa Arab, lalu kedalam bahasa Yahudi dan baru
kemudian kedalam bahasa Latin atau langsung dari bahasa Arab ke Latin. Berbeda dengan
Al-Farabi yang berpendapat bahwa filsafat berasal dari Irak terus ke Mesir dan
ke Yunani, dan kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ketangan orang-orang
Arab.
Dalam tradisi filsafat, agar bisa sampai pada suatu makna yang
esensi dari suatu hal, seseorang harus melakukan penjelajahan secara radikal,
logis dan serius. Itulah sebabnya Aristoteles memberikan komentar, “Apabila hendak menjadi seorang filsuf, anda
harus berfilsafat dan apabila tidak menjadi seorang filsuf”. Adapun dalam
makalah ini penulis akan membahas biografi A-l-farabi dan pemikiran filsafat
Al-farabi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bigrafi Al-farabi?
2. Apa saja karya-karya Al-farabi dan bagaimana
pemikirannya tentang filsafat?
C. Tujuan
1. Agar kita mengetahui biografi Al-farabi.
2. Agar kita tahu apa saja karya-karya Al-farabi dan
pemikirannya tentang filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Al-farabi adalah ilmuan dan filosof Islam ia juga dikenal dengan
nama Abu Nasir Al-farabi dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad
Bin Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al-farabi, ia juga dikenal didunia Barat
sebagai Alphaarabius, Al-farabi, farabi dan Abu Nasr terlahir di daerah farab,
kaazakhstan tahun 257 H/870 M.
Al-farabi berpakaian rapi sejak kecil. Ayahnya seorang obsir
tentara turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah turki asli. Sejak
dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk
menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya
ini, al-farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa kesustraan, ilmu-ilmu agama
(fiqh, tafsir, dan ilmu hadist), dan aritmatika dasar.
Al-farabi mudah mempelajari ilmu-ilmu islam dan musik di
bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk
menuntut ilmu disana selama 20 tahun. Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di
Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al-farabi kemudian menggembara
dikota Harran yang terletak di Utara Sria, dimana saat itu Harran merupakan
pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar Filsafat dari
Filusuf kristen terkenal yang bernama Yuhana Bin Jilat. Tahun 940 M, al-farabi
melanjutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Syaf Al-Daula
Al-Hamdanid, kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simapatisan para
Imam Syi’ah. Kemudian Al-farabi wafat di Damaskus pada usia 80 tahun (rajab 339
H/Desember 950 M) pada masa pemerintahan khalifah Al-Muthi’ (masih dinasti
Abbasiyah).
Al-farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung
di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa yunani, ia
mengenal para filusuf Yunani: Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik.
Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti Matematika, Filosofi,
pengobatan, bahkan musik. Al-farabi telah menulis berbagai buku tentang
sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, kitab Al-Musiqa. Selain
itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan berbagai alt musik.
Al-farabi dikenal dengan sebutan “guru kedua” setelah aris
toteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai
“guru pertama dalam Ilmu Filsafat”. Dia adalah filusuf Islam pertama yang
berupaya menghadapkan, mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat
politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti
didalam konteks Agama-agama wahyu.
Al-farabi hidup pada daerah otonomi dibawah pemerintahan Syaf
al-Daula di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah, yang berbentuk monarki yang
dipinpin oleh seorang khalifah. Ia lahir dimasa kepemimpinan khalifah Mu’tamid
(869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan khalifah al-Muthi’ (946-974 M)
dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena
ketiadaan kesetabilan politik.
Dalam kondisi demikian al-Farabi berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan
Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide ataupun pemikiran-pemikiran Yunani
kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang
ideal (negara utama).
Al-farabi dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka dari
era abad pertengahan selama hidupnya. Tampaknya al-Farabi condong kepada
Esoteris dan berpendapat bahwa Filsafat tidak dapat diberikan kepada sembarang
orang, dan bahwa para filosof harus menerangkan gagasan-gagasannya yang
teka-teki dan bermakna ganda. Dan bahkan sampai sekarang, bukanlah pekerjaan
yang mudah memahami arti dan maksud ungkapan-ungkapan farabi.
Metode yang beliau pakai hampir sama dengan laggam yang
dimilikinya. Ia mengumpulkan dan menggeneralisasi, ia menyusun dan
menyelaraskan dan ia menganalisis untuk menulis, ia membagi dan membagi lagi
agar terpusat dan terkelompokkan. Dalam beberapa tulisan pembagian
pengelompokan tampak hanya tujuan belaka. Risalahnya yang berjudul “apa yang
harus dipelajari sebelum mencoba filsafat” berbentuk indeks aliran-aliran
filsafat yunani, arti judul-judul dan nama-nama pengarangnya. Ia terutama
memusatkan diri pada pengkajian tujuan-tujuan dan langgam karya-karya
Aristoteles. Bukunya yang berjudul “klasifikasi ilmu” merupakan upaya pertama
untuk jenis karya ini dalam sejarah pemikiran muslim.
Al-farabi gemar kebalikan-kebalikan, ia memang memberikan
kebalikan pada hampir setiap istilah yang digunakannya, sehingga penolakan
berarti pengesahan, dan kejadian, bukan kejadian. Ia menulis sebuah risalah
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Dalam risalah ini, ia
memberikan pernyataan yang ia hadapkan dan pertentangkan dengan lawannya,
dengan maksud mendapatkan penyelesaian yang baik. Hal ini mengingatkan kita
kepada parmanides-nya Plato.
Perhatian utamanya ialah menegaskan dasar-dasar teori dan
landasan doktin, mempercerah kegelapan-kegelapan dan membicarakan
masalah-masalah kontroversial, untuk memproleh kesimpulan yang benar. Tetapi,
beliau sedikit sekali memperhatikan topik-topik yang dianggap biasa dan apa
yang ia duga dapat terbukti dengan sendirinya, ia kesampingkan tanpa usaha
menjelaskannya. Contoh tepat dalam hal ini ialah karangannya yang berjudul
“tujuan stagirite” pada setiap bab bukunya yang bernama alfabet. Buku ini
sangat erat kaitannya dengan pendahuluan atau kritik kita terhadap suatu buku
baru. Buku ini sangat bermanfaat dibandingkan dengan karya serupa yang ditulis
oleh filosof semasanya. Tak mengherankan bahwa ibn Sina mendapatkan dalam
risalah ini kunci “metafisika” Aristoteles.
10 dan ke 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika
sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut al-farabi. Beberapa tulisannya telah
pula diterjemahkan kedalam bahasa Yunani dan Latin, dan telah mempengaruhi
sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karya ini telah diterapkan pada 10 tahun terakhir
abad ke 13 H/ke 19 M, dan beberapa diantaranya diterjemahkan kedalam berbagai
bahasa Eropa modern. Tetapi pada saat ini masih diperlukan lagi sejumlah besar
publikasi kembali dengan penyuntungan cermat, terutama pada sekarang ini
perpustakaan-perpustakaan di Instanbul telah lebih banyak terbuka bagi kita
dari pada sebelumnya, dan kita dapat mengisi kesenjangan melalui jalan itu.
B. Karya dan pemikiran Al-Farabi Tentang Filsafat
1. Karya Al-Farabi
Al-farabi
dikenal sebagai filosof Islam yang tebesar memiliki keahlian dalam bidang
keilmuan, seperti bahasa, matematika, logika, mantik, dan sebagainya. Jika
ditinjau dari ilmu pengetahuan karya-karya al-farabi dapat ditinjau menjadi 6
bagian:
a. Logika
b. Ilmu-ilmu matematika
c. Ilmu alam
d. Ilmu teologi
e. Ilmu politik dan kenegaraan
f.
Bunga rampai (kutub muanawwa’h)
Sebagian besar karya beliau hilang, dan
yang masih bisa dibaca dan dipublikasikan kurang lebih 30 judul, diantaranya:
a. Al-jam’u baina ra’yay a hakimain al-flatun wa arissthau.
b. Tahiq ghard arissthau fi kitab ma ba’da ath thabi’ah
c. Syarah risalah zainun al-kabir al-yunani at-ta’liqat
d. Risalah fi ma yazidu ma’rafat qabla ta’allumi al-falsafah
e. Kitab tahsil assa’adah
f.
Risalah fi istibat al-mufarrakah ‘uyun al-masa’ill
g. Ara’ ahl al-madinah al-fadilah
h. Ihsa al-‘ulum waat
i.
Ta’rif bi aghradita
j.
Fushul al-hukm
k. Risalat al-aql
l.
As-siyasah al-madaniyah
m. Al-masail al-falsafiyah waal ajwibah ‘anha
2. Pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat
Filsafat
al-Farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda. Ia mengambil ajaran-ajaran
para filosof terdahulu membangun kembali dalam bentuk yang sesuai dengan
lingkup kebudayaan, dan menyusunnya sedemikian sistematis dan selaras.
Al-Farabi adalah seorang yang logis baik dalam pemikiran, pernyataan,
argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya. Filsafatnya mungkin
bertumpuk pada beberapa pemikiran yang keluru dan mungkin juga berisi beberapa
hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan yang modern, tetapi ia
memiliki peranan pening dan pengaruh yang besar dibidang pemikiran masa-masa sesudahnya.
Adapun corak dan unsur-unsur penting filsafat beliau yang dimulai dengan studi
logika al-Farabi akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Logika
Sebagian
besar karya al-Farabi dipusatkan pada studi tentang logika tetapi hal ini hanya
terbatas pada penulisan kerangka organon,
dalam fersi yang dikenal oleh para sarjana Arab pada saat itu. Ia
mebyatakan bahwa, seni logika, umumnya, memberikan aturan-aturan yang bila
diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara
langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan. Menurut
beliau, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan
antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantara dengan ilmu syair. Beliau
menekankan praktek dan penggunaan asfek logika, dengan menunjukkan bahwa
pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan
massa ditentukan oleh ukuran.
Logika
juga membantu kita membenakan yang benar dan yang salah dan memproleh cara yang
benar dalam befikir atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini, ia juga
menunjukkan darimana kita mulai berfikir dan bagaimana mengarahkan fikiran itu
kepada keimpulan-kesimpulan akhir. Dalam berpidato dan berdialog, dalam
geometri dan ilmu hitung, logika tidak dapat dikesampingkan, sebagaimana dalam
mempelajari sejumlah pusi atau pidato, orang tidak bisa mengesampingkan tata
bahasa. Seni logika menurut pendapat umum bukanlah hanya sekedar hiasan tak
beguna, karena ia tidak dapat digantikan dalam kemampuan ilmiah. Tetapi
al-farabi selalu membedakan antara tata bahasa dan logika, tata bahasa hanya
berkaitan dengan kata-kata, sedangkan logika berkaitan dengan arti dan kata-kata
yang merupakan penjelmaan makna. Terlebih, tata bahasa selalu berkenaan dengan
aturan-aturan bahasa, sedangkan bahasa itu, berbeda-beda, tetapi logika
berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu sama dimana dan kapan pun.
Masalah pokok logika ialah, topik-topiknyayang
membahas aturan-aturan pemahaman. Topik-topik itu dikelompokkan menjadi 8:
1) Pengelompokan
2) Penafsiran
3) Pengupasan pertama
4) Pengupasan kedua
5) Topik
6) Sofistik
7) Retorik
8) Puisi
Yang kesemua itu merupakan tujuan
logika. Bagian ke4 merupakan bagian yang paling berguna dan paling penting
dibandingkan dengan yang lainnya: yang terdahulu dapat dianggap sebagai
pendahuluan dan berikutnya merupakan penerapan dan perbandingan yang
dimaksutkan untuk menghindari kesalahan dan kebingungan.
Jelaslah bahwa Al-farabi mengikuti
langkah-langkah Aristoteles, meskipun ia memasukkan retorika dan puisi kedalam
cabang logika. Kesalahan serupa dilakukan oleh para pengikut Aristoteles
terutama yang berasal dari aliran Alexandria. Beberapa diantara mereka bahkan mengakui
isagoge (pendahuluannya) porphyry
sebagai bagian dari organonnya
Aristoteles, tetapi pengakuan ini tidak didukung oleh Al-Farabi yang terkenal
sebagai “guru kedua” (the secon teacher), Aristoteles dianggap sebagai guru
pertama. Tak diragukan lagi, pemaparan dipandang penting oleh Aristoteles,
tetapi nampaknya ia lebih bangga dengan penemuannya tentang silogisme.
Sumbangan Al-Farabi dibidang logika
ada 2. Pertama beliau telah berhasil
secara tepat dan jelas menerangkan tentang logika Aristoteles kepada bangsa
yang berbahasa Arab. Dalam pendahuluan salah satu risalahnya yang diterbitkan
akhir-akhir ini, ia menujukkan bahwaia menerangkan prinsip-prisip silogisme
Aristoteles dalam istilah yang dikenal kaum bangsa Arab, karena itu ia
memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masa hidupnya,
yang menggantikan contoh-contoh samar dan asing yang digunakan oleh
Aristoteles. Proses yang dilakukannya betapapun tidak merugikan studi logika
Aristoteles, dan tidak pula membuat jalan lain, atau memutar balikkan arti
filsafatnya.
b. Kesatuan filsafat
Al-Farabi
berpendapat bahwa pada hakikatnya filsafat merupakan satu kesatuan. Karena itu,
para filosof besar harus menyetujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari
kebenaran. Plato dan Aristoteles, yang menjadi cikal bakal filsafat dan
penscipta unsur-unsur dan prinsip-prinsipnya dan penanggung jawab terakhir
kesimpulan-kesimpulan dan cabang-cabangnya, sangat setuju meski ada beberapa
perbedaan formal dan jelas antar mereka. Maka dari itu, Al- farabi sangat yakin
bahwa hanya ada satu aliran filsafat, yaitu aliran kebenaran. Istilah-istilah
pengikut Aristoteles, plato, stoi dan epicure hanya menjelaskan nama-nama
kelompok filosof. Semuanya membentuk satu aliran filsafat. Kelompok-kelompok
merupakan kerikil-kerikil dalam filsafat, sebagaimana terjadi pada politik. Al-
farabi sebagai filosof dan ahli sejarah, menyadari sepenunya bahwa semangat
kekelompokan didalam filsafat. Adanya semangat kekelompokan ini, sedikit banyak
dipengaruhi oleh panatifisme diantara para pengikut filosof-filosof besar.
Disamping usaha menyelaraskan ajaran-ajaran berbagai filosof, pengikut-pengikut
itu pun mempertahankan perbedaan-perbedaan besat antara dua guru dengan
menekankan pengertian-pengertian berlainan, malah kadang-kadang membuat
alternatif baru dan mengungkapkan ajaran-ajaran mereka secara salah. Sikap
Al-farabi terhadap perdebatan dan perbedaan antara filosof masa Renaissance ini
sama dengan sikap para filosof abad 12 H/18 M.
c. Teori 10 kecerdasan
Teori
ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia,
langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Beliau merupakan
dasar fisika dan antronomi. Bidang utama gerakannya ialah pemecahan masalah
yang Esa dan yang banyak dan
pembagian antara yang berubah dan
yang tetap. Al-farabi berpendapat
bahwa yang esa yaitu Tuhan, yang ada dengan sendirinya, karena itu, ia tidak
memerlukan yang lain bagi ada-Nya atau keperluan-Nya. Ia mampu mengetahui
diri-Nya sendiri. Ia mengerti dan dapat dimengerti. Ia sangat unik, karena
sifat-Nya memang demikian. Tak ada yang sama dengan-nya. Ia tidak memiliki
perlawaan ataupun persamaan.
Bila
premis-premis diatas dapat diterima, lantas apakah pengaruh Tuhan terhadap alam
semesta ini, dan bagaimana hubunga antara Dia dengan yang banyak? Al-farabi
telah berupaya keras menyelesaikan masalah-masalah ini dengan semacam
“pemancaran”. Ia berpendapat bahwa dari yang Esa lah memancar yang lain, berkat
kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya. Pemancaran ini merupakan kecerdasan yang
utama. Dengan demikian, pengetahuan sama dengan ciptaan, karena cukuplah dengan
melukiskan sesuatu untuk mengadakan-Nya. Kecerdasan pertama mungkin dengan
sendiri-Nya perlu dengan yang lain, dan ia memikirkan yang Esa dan dirinya.
Ia adalah satu dalam dirinya, dan banyak bakat pertimbangan-pertimbangan ini.
Dari sinilah Al-farabi memulai langkah pertama ke arah kelipatan. Dari
pemikiran intelegensi pertama yang Esa, lahirlah intelegensi lain. Karena
pemikirannya tentang dirinya sendiri bisa terjadi pada dirinya memancarlah
materi dan bentuk “langit pertama”, sebab setiap lingkungan mempunyai bentuk
tersendiri yang adalah ruhnya. Beginilah rantai pemancran berlangsung hingga
melengkapi seluruh intelegensisembilan lingkungan dan sembilan ruh mereka.
Intelegensi ke10 dan terakhir, atau intelegensi agen, adalah yang mengatur
dunia fana ini. Dan dari intelegensi inilah mengalirruh-ruh manusia dan 4
unsur.
Intelegensi-intelegensi
dan ruh-ruh ini merupakan susunan hirarkis. Intelegensi pertaa dengan hirarki
yaitu yang tertinggi, kemudian ruh-ruh lingkungan dan lingkungan itu sendiri.
Susunan terakhir yaitu bimi dan dunia materi yang berada pada urutan ke4. Orang
Yunani kuno berpendapat bahawa segala yang bercorak langit adalah suci, dan segala
yang bercorak bumi adalah tidak suci. Ajara Islam menerangkan bahwa langit
merupakan kiblat shalat, sumber wahyu dantujuan akhir mi’raj. Segala yang
dilangit adalah suci dan tersucikan. Disini, Al-farabi menyesuaikan antara
ajaran gama dan filsafat, tetapi kesulitan utama terletak pada penekanannya
bahwa ketidak sucian bumu timbul dari langit yang sucu itu.
Jumlah
intelegensi adalah 10, terdiri atas intelegensi pertama dan 9 intelegensi
planet dan lingkungan, karena Al-farabi menggunakan teori-teori yang sama
digunakan oleh alih Astronomi Yunani, terutama plotenius yang berpendapat bahwa
kosmos terdiri atas 9 lingkungan yang kesemuanya bergerak mengelilingi bumi
secara tetap. Setiap lingkungan mempunyai intelegensi dan ruh. Intelegensi dan
ruh merupakan asal gerak. Intelegensi ke10 mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan bumi. Ruh adalah penggerak lingkungan tetapi ia memperoleh kekuatan dari
intelegensi. Ia bergerak sesuai dengan intelegensi, dan menuju kesempurnaan dan
menggerakkan lingkungannya. Karena itu hasratnya merupakan sumber geraknya.
Sedang intelegensi dalam perputarannya merupakan hasrat abadi. Yang rendah menghasratkan yang tertinggi, dan segalanya menghasratkan yang
satu, yaitu penggerak pertama meskipun ia tak tergerakkan.
Tetapi,kesimpulan-kesimpulan
Al-farabi tentang fisika berhubungan erat dengan astronomi. Dari intelegensi ke
10 lahirlah materi-materi utama hyle,
yang merupakan asal dari 4 unsur, dari intelegensi itu pula lahirlah
bentuk-bentuk berlainan yang menyatu dengan
hyle untuk membentuk wadag. Dunia bumi hanyalah serangkaian aneka bentuk
berlainan yang menyatu dengan materi atau terpsah darinya. Pertumbuhan
merupakan hasil persatuan bentuk dan materi, dan kerusajkan merupakan hasil
pemiasahan mereka.gerak matahari menghasilkan panas dan dingin yang perlu bagi
perubahan, semua intelegensi yang terpisah menghasilkan gerak yanga bermanfaat
bagi bumi. Disinilah fisika brbaur dengan kosmologi dan dunia bumun diatur oleh
dunia lain.
Betapapun
Al-farabi menolak apa yang disebut Astrologi yang berkembang luas pada masanya,
dan dikembangkan oleh para filosof Stoic dan sarjana-sarjana Alexandria pada
masa sebelumnya.
d. Teori tentang akal
Teori
psikologi Aristoteles telah lama terkenal sederhana dan tepat, dan sebagai
suatu studi objektif, ia tidak kurang diperhatikan. Pengelompokan Aristoteles
akan unsur-unsur jiwa adalah yang pertama akan hal ini.ia menekankan kesatuan
meski terdapat kejamakan unsur jiwa dan menjelaskan pertaliannya dengan tubuh.
Ia telah mengupayakan teori tentang akal, meski tak memadai sehingga
menimbulkan masalah yang membingungkan yang modern dan yang kuno. Tetapitulisannya
”perihal jiwa” merupakan karya terbaik diantara karya kuno psikologi, bahkan
melebihi karya modern, pada abad-abad pertengahan, ia merupakan epepuler organon.
Buku
ini diperkenalkan kepada orang Arab melalui terjemahan bahasa Syria dan bahasa
Yunani, berikut komentar kuno terutama komentar Alexander daari Aphrodisias,
themestius, simplicius. Ia merupakan subyek studi extensif filosof muslim yang
memberikan komentar dan uraian tentangnya. Terpengaruh oleh aristoteles dan
karyanya, para filosof ini menulis berbagai dalil dan berbagai uraian tentang
psikologi, mereka terutama memusatkan pada masalah akal yang merupakan salah
satu masalah-masalah yang dipelajari oleh para filosof skolastik.
Al-farabi
menyadari sepenuhnya arti masalah ini, melibat didalamnya suatu rangkaian dari
10 teori ilmu pengetahuan. Ia dengan baik mengidentifikasikannya dengan
filsafatnya sendiri, karena berkaitan dengan teori 10 intelegensi, dan juga
merupakan pondasi teori kenabian. Ia telah membahas masalah akal di berapa tempat
dalam karya-karyanya, dan ia telah mengupayakan suatu karya yang menyeluruh,
“perihal aneka makna akal”. Karya ini tersebar luas dikalangan sarjana Timur
dan Barat abat pertengahan dan diterjemahkan ke bahasa latin.
Al-farabi
mengelompokan menjadi akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang akan
dikerjakan, dan teoritis yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis
ini dibagi jadi 2 yaitu yang fisik(material),
yang terbiasa (habitual) dan yang
diperoleh (aqhuiret).
e. Teori tentang kenabian
Dasar
setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang
yang dianugrahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan
diberi langsung untuk menyatakan kehendaknya.
Islam, sebagaimana agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai
penguasanya. Al-Qur’an mengatakan: “ia tidak lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan Tuhan yang maha kuasa telah mengajarnya”. Q.S 53: 4-5. Adalah sangat
perlu bagi filosof-filosof muslim memberi penghormatan kepada kenabian,
merujukkn rasionalitas dengan tradisionalisme, dan mengawali bahasa-bahasa bumi
dengan firman-firman. Hal ini telah diusahakan oleh Al-farabi. Teori tentang
kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan
agama dan filsafat. Bahkan dapat juga dianggap sebagai bagian utama dari sistem
yang disusunnya, dengan landasan psikologi dan meta fisika dan hal itu
berkaitan erat dengan ilmu politik dan etika.
f.
Penafsiran atas Al-Qur’an
Beberapa
ajaran agama bersifat tradisional, dan tidak dapat ditunjukkan oleh akal,
seperti keajaiban, dan hari penentuan yang meliputi hari kiamat, kebangkitan,
pengadilan dan hukuman. Menerima syam’iyyat
ini merupakan tiang agama. Orang-orang beriman menerima isinya dengan
ketulus hatian, tetapi, sebagai pemikir dalam upaya memberikan keterangan
rasional, menafsirkannya dengan cara tertentu atau menganggapnya sekedar hukum
alam. Dalam hal ini kaum mu’tazilah telah berusaha, karena sedemikian jauh
dalam menafsirkan ini sehingga mereka menentang kaum Trasfiguris yang
menyamakan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu yang bertentangan dengan keesaan,
kesucian dan ketinggian-Nya.
Al-farabi
melakukan penafsiran yang berbeda, ia mengakui keabsaan keajaiban, karena hal
itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat bahwa keajaiban,
meski bersifat adialami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena sumber
hukum ini terdapat pada dunia lingkungan dan intelegansi yang mengatur dunia
bumi, dan begitu kita berhubungan dengan dunia itu, mka kejadian-kejadian yang
tak bisa akan terjadi pada diri kita. Nabi, sebagaiman diterangkan di atas,
mempunyai kekuatan yang dapat menghubungkannya dengan intelegensi agen. Melalui
perhubungan inilah, ia dapat menyebabkan hujan turun, tongkat dapat berobah
menjadi ular, atau orang buta atau orang lepra dapat disembuhkan. Dengan begini
al-farabi mencoba sebagaimana kaum Stoic telah melakukan sebelumnya,
menjadikannya sebagai kejadian-kejadian sebab-sebabyang berada diluaar kebiasaan
alam dan bahkan bertentangan dengannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makalah ini dapat disimpulkan bahwa doktrin Al-farabi sangat
selaras dan konsisten, tiap-tiap bagiannya benar-benar saling berkait. Dari
yang Esa, sebab pertama, Al-farabi terus menuju keseluruh intelegensi, yang
darinya dua dunia langit dan bumi memancar. Lingkunga-lingkungannya digerakkan oleh
inteligensi-inteligensi yang mengaturnya, dan alam dengan pertumbuhan dan
kehancurannya, terkena inteligensi-inteligensi yang ini. Ruh diatur oleh
inteligensi ini, yaitu inteligensi agen. Begitu pula politik dan etika, karena
kebahagian yang dituntut oleh manusia tak lain hanyalah berhubungan dengan
dunia langit.
Ajaran ini pada waktu yang sama bersifat spiritualistis dan
idealistis, karena al-Farabi hampir memandang segala sesuatu sebagai jiwa.
Tuhannya adalah jiwa dari segala jiwa, lingkung-lingkung astronomisnya diatur
oleh jiwa-jiwa langit, dan pangeran kotanya adalah seorang yang jiwanya
mengatasi tubuhnya. Spirualisme ini berakar pada gagasan-gagasan dan
konsepsi-konsepsi, dan secara keseluruhan untuk di spekulasikan dan
direnungkan. Yang Esa adalah gagasan yang tiada tara dan akal yang mengakali
diri. Meskipun doktin al-Farabi merupan pencerminan abad-abad pertengahan,
tetapi ia mengandung gagasan-gagasan modern dan kontemporer. Ia senang terhadap
ilmu pengetahuan, menganjurkan eksperimen dan menolak peramalan dan astrologi.
B. Saran
Kami sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada para
pembaca agar memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini, supanya
kedepannya kami bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.
Dan kami juga minta maaf atas kekurangan dari makalah ini, karena kami bersifat
khilaf dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunarsil, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam,
Jakarta: Bumi
Aksara, 1991.
Komentar
Posting Komentar