BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Fitrah
manusia di alam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa
hidup sendirian. Srtiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain sebagai
pasangan hidup, sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi
perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran.
Di
antara sekian banyak keperluan asasi manusia di samping makan, minum, dan
pendidikan adalah pemenuhan kebutuhan akan seks. Kebutuhan seks juga merupakan
fitrah manusia, oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan
antara pria dan wanita, dadn kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya “perkawinan”. Untuk itu dalam upaya pemenuhan kebutuhan seks ini
Islam telah menyediakan perkawinan sebagai saran untuk menghalalkan manusia
menyalurkan kebutuhannya tersebut. Perkawinan sangat penting, karena akan
membangkitkan ketenteraman jiwa baik suami ataupun mencurahkan rasa kasih
sayang, Allah SWT berfirman dalam surah ar-Rum ayat 21:
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang”.
Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir. Disebabkan manusia dilahirkan dengan karakter, sifat dan tingkat
emosi yang berbeda-beda, maka laki-laki yang akan memasuki jenjang perkawinan,
dianjurkan Islam untuk meminang perempuan yang akan dinikahi, guna mempelajari
satu sama lainnya sehingga bisa saling mengenal, sehingga pelaksanaan
perkawinan nantinya benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Dalam
proses perkawinan, haru memenuhi rukun dan syaratnya sebagai wujud nikah yang
sah. Selain itu, terdapat beberapa teknis pelaksanaan perkawinan yang perlu
diperhatikan oleh setiap laki-laki dan perempuanserta walinya dalam membangun
keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Hal itu, berangkat dari peminangan
sebagai pintu gerbang pernikahan, kesepakatan pemberian mahar oleh kedua
mempelai akad nikah dan adanya kafa’ah calon mempelai yang akan menikah dalam
menemukan pasangan hidupnya menjadi tolak ukur dalam perkawinan.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian dan hukum mahar?
2. Apakah
syarat-syarat mahar?
3. Bagaimana
kadar (jumlah) mahar?
4. Bagaimana
memberi mahar dengan kontan dan hutang?
5. Apakah
macam-macam mahar?
6. Apa
pengertian kafa’ah?
7. Bagaimana
ukuran kafa’ah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Hukum Mahar
1. Pengertian
Mahar
Kata’’mahar
‘’berasal dari bahasa arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau
masdar,yakni’’mahran’’atau kata kerja,yakni Fi’il dari
‘’mahara-mahran.’’lalu,dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr,dan
kini sudah diindonesiakan dengan kata yang sama,yakni mahar atau karna
kebiasaan pembayaran mahar dengan mas,mahar diidentikkan dengan naska.
Di
kalangan fuqaha, di samping perkataan ‘’mahar’’,juga digunakan istilah lainnya,
yakni shadaqah,nihlah,dan faridhah yang maksudnya adalah mahar.Dengan
pengertian etimologis tersebut,istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan
oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib,tetapi
tidak ditentukan bentuk dari jenisnya,besar dan kecilnya dalam Al-Quran maupun
AL-Hadis.Dalam bahasa arab,terma mahar jarang digunakan,Kalangan ahli fiqih
lebih sering menggunakan kata ‘’shidaq’’dalam kitab-kitab
fiqihnya.Sebaliknya,di Indonesia terma yang sering di gunakan adalah tema mahar
dan maskawin.para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara
terma ash-shidaq dan terma al- mahar. Ada pendapat yang menegaskan bahwa shadaq
merupakan sesuatu yang wajib karena selain nikah,seperti
wathi’subhat,persusuan,dan menarik kesaksian.
Menurut
Ibnu Qayyim,istilah mahar dengan shidiq tidak berbeda fungsi jika yang di
maksudkan merupakan pemberian sesuatu dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan dalam sebuah perkawinan.Hanya istilah mahar digunakan untuk
perkawinan, sedangkan istilah shadaq dapat digunakan dalam hal selain
perkawinan,karena istilahnya bersifat umum.Sebagaimana shadaqah wajib dan
shadaqah sunnah.shadaqah wajib.adalah membayar zakat dan membayar mahar.
Mahar
merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak
mempelai perempuan yang hukumnya wajib.Dengan demikian,istilah
shadaq,nihlah,dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam AL-Quran tetapi
istilah mahar lebih di kenal di masyarakat,terutama di Indonesia, sedangkan
istilah selai mahar bukan hanya jarang di digunakan,istilah shadaqah atau
shadaq dan shidaq apalagi nihlah kurang bersosialisasikan dalam
masarakat,sedangkan istilah mahar atau maskawin telah dipahami maknanya sampai
masarakat awam.
Mahar
adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan,ketika di langsungkan akad nikah.Mahar adalah merupakan
salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan.Demikian dikemukakan dalam
Ensiklopedi Hukum Islam.
Para
ulama mazhab mengemukakan beberapa defenisi,yaitu:
a. Mazhab
Hanafi (sebagiannya)mendefenisikan,bahwa:’’mahar sebagai sejumlah harta yang
menjadi hak istri,karna akad perkawinan,atau disebabkan terjadi senggama dengan
sesungguhnya.
b. Mazhab
maliki mendefenisikannya:sebagai:sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal
untuk digauli.
c. Mazhab
Syafi’I mendefenisikan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan
akad nikah atau senggama.
d. Mazhab
Hambali menggemukakan,bahwa mahar:sebagai imbalan suatu perkawinan,baik di
sebutkan secara jelas dalam akad nikah,ditentukan setelah akad dengan
persetujuan kedua belah pihak,maupun ditentukan oleh hakim.
Dengan
demikian mahar adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar suami kepada
istrinya.kewajiban membayar mahar di sebabkan dua hal:yaitu ada akad nikah yang
sah dan terjadi senggama sungguhan (bukan karna zina).
Menurut
sayyid sabiq (1992:53),mahar adalah harta atau manfaat yang. Wajib diberikan
oleh seorang mempelai pria dengan sebab nikah atau watha. Penyebutan mahar
hukumnya sunnat,baik dari segi jumlah maupun bentuk barangnya dalam suatu akad
perkawinan.Adapun barang yang bernilai adalah sah untuk dijadikan
mahar.Demikian pula,menurut Taqiyuddin,nikahnya tetap sah dan suami wajib
membayar mahar mitsil.
Dari
beberapa pengertian diatas,dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa mahar adalah
pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita berupa harta
atau manfaat karna adanya ikatan perkawinan.Bentuk dan jenis mahar tidak
ditetapkan dalam hukum perkawinan islam,tetapi kedua mempelai di anjurkan
melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan di berikan.Apabila pihak
mempelai wanita sepakat dengan mahar yang akan ditawarkan oleh pihak mempelai
pria,bentuk dan jenisnya dapat ditetapkan oleh dua belah pihak.
Mahar
merupakan salah satu hak pihak mempelai wanita dan menjadi kewajiban pihak
mempelai laki-laki .Istilah mahar dalam AL-Quran identic dengan istilah shadaq
atau nihlah,tetapi kedua istilah tersebut jarang digunakan,baik dalam realitas
masyarakat Indonesia maupun dalam undang –undang perkawinan dan kompilasi hukum
islam.Adapun istilah lain yang masyarakat adalah istilah maskawin yang
sealoh-olah setiap mahar yang di berikan laki-laki selalu berupa emas,miskipun
kenyataanyasering hanya perangkat alat sholat.
Mahar
bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan yang hendak dinikah
telah dibeli seperti barang.Pemberian mahar dalam syariat islam dimaksudkan
untuk mengangkatkan harkat dan derajat.Dengan adanya mahar status prempuan
bukan di anggap sebagai barang yang diperjual belikan.
2. Hukum
mahar
Sebagai dasar hukum
kewajiban mahar adalah firman Allah:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
‘’Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
yang kamu nikahi sebagai pemberian yang wajib.kemudian jika mereka menyarakan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.’’(an-Nisa:4)
Firman
Allah:
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ cõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ
‘’Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan
istri yang lain,sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak,maka janganlah kamu menggambil kembali daripadanya barang
sedikit pun.Apakah kamu akan menggambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung)dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan menggambilnya
kembali,padahal sebagian kamu bergaul(bercampur)dengan yang lain sebagai suami
istri.Dan mereka (istri-istrimu)telah menggambil dari kamu perjanjian yang
kuat.’’(an-Nisa’:20-21).
Rasulullah pun pernah menggatakan kepada
seseorang yang ingin kawin:’’berilah maharnya,sekalipun sebentuk cincin dari
besi,’’(HR.Bukhari,Muslim dan Ahmad bin Hanbali).
Ulama fikih menyatakan,bahwa walaupun
mahar wajib di berikan kepada istri ,tetapi mahar itu bukan termasuk rukun
nikah atau syarat akibat dari suatu akad nikah.
B. SYARAT-SYARAT
MAHAR
Mahar
yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harta/bendanya
berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi
bernilai maka tidak sah.
2. Barangnya
suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah,
karena semua itu haram dan tidak berharga.
3. Barangnya
bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambilbarang milik orang lain tanpa
seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memiliknya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah,
tetapi akadnya tetap sah.
4. Bukan
barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang
yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan.
C. KADAR
(JUMLAH) MAHAR
Mengenai
besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas
tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendah.
Imam
Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in
berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang
dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian
fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik
dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat
puluh dirham.
D. MEMBERI
MAHAR DENGAN KONTAN DAN HUTANG
Pelaksanaan
membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan
keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan hutang sebagian yang lain.
Kalau memang demikian, maka disunnahkan membayar kontan sebagian, berdasarkan
sabda nabi SAW:
Dari
Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan
sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Di
manakah baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada fatimah.
Hadits
di atas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih
baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian lebih dulu.
Dalam
hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan pendapat di
kalangan ahli fikih. Segolongan ahli fikih berpendapat bahwa mahar itu tidak
boleh diberikan dengan cara di hutang keseluruhan. Segolongan lainnya
mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar
membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan di anatara
fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya
untunk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya.
Demikian
pendapat Imam Malik. Ada juga yang membolehkannya karena atau perceraian, ini
adalah pendapat Al-Auza’i. Perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan
itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau idak dapat
disamakan dengannya. Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual
beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya
kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan
dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayr mahar itu tidak
boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.
E. MACAM-MACAM
MAHAR
Ulama
fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar
mitsil (sepadan).
1. Mahar
musamma
Mahar
musamma yaitu mahar yang sudah disebut atas dinjanjikan kadar dan besarnya
ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama
fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara
penuh apabila:
a) Telah
bercampur (bersenggama), tentang hal ini Allah SWT berfirman:
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ)#Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB
$º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
dan jika kamu
ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Maksudnya
Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang
baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin,
Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
b) Salah
satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar
seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya
rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri,
atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan
tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya,
berdasarkan firman Allah SWT:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù
$tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& cqàÿ÷èt ÷rr& (#uqàÿ÷èt Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès?
ÛUtø%r& 3uqø)G=Ï9 4 wur (#âq|¡Ys? @ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇËÌÐÈ
jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau
dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.
Ialah suami atau wali. kalau Wali
mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang
kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.
2. Mahar
mitsil (sepadan)
Mahar
mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun
ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang
pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya,
dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.bila terjadi demikian
(mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi
pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin
wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil
itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai
berikut:
a) Apabila
tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian
suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur
b) Jika
mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan
maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumjumhur ulama dibolehkan.
Firman Allah SWT.
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
tidak ada kewajiban membayar (mahar)
atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang
patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.
Ayat
ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli
dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal
ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil. Beberapa masalh yang berkaitan
dengan mahar, komplikasi hukum islam menjelaskan sebagai berikut:
Pasal
35
1) Suami
yang mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar yang setengah mahar yang
telah ditentukan dalam akad nikah.
2) Apabila
suami meninggal dunia qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi
hak penuh istrinya.
3) Apabila
perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila
mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain
yang sama bentuk dan jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau
dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila
terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,
penyelesaiannay diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
1) Apabila
mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai
wanita tetap bersedia menerimnya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
2) Apabila
istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya
dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar
di anggap masih belum di bayar.
F. KAFA’AH
DALAM PERKAWINAN
1. Pengertian
Kafa’ah
Kafa’ah
atau kufu’,menurut bahasa, artinya “setaraf” atau seimbang atau
keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding”.
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum
Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami
sehinggan masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan”. Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosila dan sederajat dalam akhlak serta
kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, kehormatan dan
keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab kalau kafa’ah
diartikan persamaan dalam hal harta, atau bangsawa, maka akan berarti
terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena
manusia di sisi Allah SWT adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang
membedakannya.
Kafa’ah
dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan
suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
kegoncangan rumah tangga.
Kafa’ah
dalam Islam dianjurkan memilih calon sumai/istri, tetapi tidak menentukan sah
atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya.karena
suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema
berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh
karena itu, boleh dibatalkan.
2. Ukuran
Kafa’ah
Masalah
kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang
lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya.
Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah
dengan perempuan yang berderajat tinggi.
Laki-laki
yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki
derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir
sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan
laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak
seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain
itu, ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari pihak perempuannya. Akan
tetapi jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur
berarti ia tidak kufu’ dengan perempuan yang shalihah. Bagi perempuan shalihah
jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih
gadis dan di paksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.
Ibnu
Rusyd berkata: di kalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa
apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar
(pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhaka
menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan
menceraikan antar keduanya. Begitu pula halnya apabila seorang gadis dikawinkan
dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata
talak.
Komentar
Posting Komentar