MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH MAHAR DAN KAFA’AH DALAM PERKAWINAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Fitrah manusia di alam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa hidup sendirian. Srtiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain sebagai pasangan hidup, sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran.
Di antara sekian banyak keperluan asasi manusia di samping makan, minum, dan pendidikan adalah pemenuhan kebutuhan akan seks. Kebutuhan seks juga merupakan fitrah manusia, oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dadn kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya “perkawinan”. Untuk itu dalam upaya pemenuhan kebutuhan seks ini Islam telah menyediakan perkawinan sebagai saran untuk menghalalkan manusia menyalurkan kebutuhannya tersebut. Perkawinan sangat penting, karena akan membangkitkan ketenteraman jiwa baik suami ataupun mencurahkan rasa kasih sayang, Allah SWT berfirman dalam surah ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang”.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Disebabkan manusia dilahirkan dengan karakter, sifat dan tingkat emosi yang berbeda-beda, maka laki-laki yang akan memasuki jenjang perkawinan, dianjurkan Islam untuk meminang perempuan yang akan dinikahi, guna mempelajari satu sama lainnya sehingga bisa saling mengenal, sehingga pelaksanaan perkawinan nantinya benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Dalam proses perkawinan, haru memenuhi rukun dan syaratnya sebagai wujud nikah yang sah. Selain itu, terdapat beberapa teknis pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhatikan oleh setiap laki-laki dan perempuanserta walinya dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Hal itu, berangkat dari peminangan sebagai pintu gerbang pernikahan, kesepakatan pemberian mahar oleh kedua mempelai akad nikah dan adanya kafa’ah calon mempelai yang akan menikah dalam menemukan pasangan hidupnya menjadi tolak ukur dalam perkawinan.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dan hukum mahar?
2.      Apakah syarat-syarat mahar?
3.      Bagaimana kadar (jumlah) mahar?
4.      Bagaimana memberi mahar dengan kontan dan hutang?
5.      Apakah macam-macam mahar?
6.      Apa pengertian kafa’ah?
7.      Bagaimana ukuran kafa’ah?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Hukum Mahar
1.      Pengertian Mahar
Kata’’mahar ‘’berasal dari bahasa arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar,yakni’’mahran’’atau kata kerja,yakni Fi’il dari ‘’mahara-mahran.’’lalu,dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr,dan kini sudah diindonesiakan dengan kata yang sama,yakni mahar atau karna kebiasaan pembayaran mahar dengan mas,mahar diidentikkan dengan naska.[1]
Di kalangan fuqaha, di samping perkataan ‘’mahar’’,juga digunakan istilah lainnya, yakni shadaqah,nihlah,dan faridhah yang maksudnya adalah mahar.Dengan pengertian etimologis tersebut,istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib,tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya,besar dan kecilnya dalam Al-Quran maupun AL-Hadis.Dalam bahasa arab,terma mahar jarang digunakan,Kalangan ahli fiqih lebih sering menggunakan kata ‘’shidaq’’dalam kitab-kitab fiqihnya.Sebaliknya,di Indonesia terma yang sering di gunakan adalah tema mahar dan maskawin.para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara terma ash-shidaq dan terma al- mahar. Ada pendapat yang menegaskan bahwa shadaq merupakan sesuatu yang wajib karena selain nikah,seperti wathi’subhat,persusuan,dan menarik kesaksian.
Menurut Ibnu Qayyim,istilah mahar dengan shidiq tidak berbeda fungsi jika yang di maksudkan merupakan pemberian sesuatu dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam sebuah perkawinan.Hanya istilah mahar digunakan untuk perkawinan, sedangkan istilah shadaq dapat digunakan dalam hal selain perkawinan,karena istilahnya bersifat umum.Sebagaimana shadaqah wajib dan shadaqah sunnah.shadaqah wajib.adalah membayar zakat dan membayar mahar.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan yang hukumnya wajib.Dengan demikian,istilah shadaq,nihlah,dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam AL-Quran tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat,terutama di Indonesia, sedangkan istilah selai mahar bukan hanya jarang di digunakan,istilah shadaqah atau shadaq dan shidaq apalagi nihlah kurang bersosialisasikan dalam masarakat,sedangkan istilah mahar atau maskawin telah dipahami maknanya sampai masarakat awam.[2]
Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan,ketika di langsungkan akad nikah.Mahar adalah merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan.Demikian dikemukakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam.
Para ulama mazhab mengemukakan beberapa defenisi,yaitu:
a.       Mazhab Hanafi (sebagiannya)mendefenisikan,bahwa:’’mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri,karna akad perkawinan,atau disebabkan terjadi senggama dengan sesungguhnya.
b.      Mazhab maliki mendefenisikannya:sebagai:sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli.                          
c.       Mazhab Syafi’I mendefenisikan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. 
d.      Mazhab Hambali menggemukakan,bahwa mahar:sebagai imbalan suatu perkawinan,baik di sebutkan secara jelas dalam akad nikah,ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak,maupun ditentukan oleh hakim.
Dengan demikian mahar adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar suami kepada istrinya.kewajiban membayar mahar di sebabkan dua hal:yaitu ada akad nikah yang sah dan terjadi senggama sungguhan (bukan karna zina).
Menurut sayyid sabiq (1992:53),mahar adalah harta atau manfaat yang. Wajib diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab nikah atau watha. Penyebutan mahar hukumnya sunnat,baik dari segi jumlah maupun bentuk barangnya dalam suatu akad perkawinan.Adapun barang yang bernilai adalah sah untuk dijadikan mahar.Demikian pula,menurut Taqiyuddin,nikahnya tetap sah dan suami wajib membayar mahar mitsil.[3]
Dari beberapa pengertian diatas,dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa mahar adalah pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita berupa harta atau manfaat karna adanya ikatan perkawinan.Bentuk dan jenis mahar tidak ditetapkan dalam hukum perkawinan islam,tetapi kedua mempelai di anjurkan melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan di berikan.Apabila pihak mempelai wanita sepakat dengan mahar yang akan ditawarkan oleh pihak mempelai pria,bentuk dan jenisnya dapat ditetapkan oleh dua belah pihak.[4]
Mahar merupakan salah satu hak pihak mempelai wanita dan menjadi kewajiban pihak mempelai laki-laki .Istilah mahar dalam AL-Quran identic dengan istilah shadaq atau nihlah,tetapi kedua istilah tersebut jarang digunakan,baik dalam realitas masyarakat Indonesia maupun dalam undang –undang perkawinan dan kompilasi hukum islam.Adapun istilah lain yang masyarakat adalah istilah maskawin yang sealoh-olah setiap mahar yang di berikan laki-laki selalu berupa emas,miskipun kenyataanyasering hanya perangkat alat sholat.
Mahar bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan yang hendak dinikah telah dibeli seperti barang.Pemberian mahar dalam syariat islam dimaksudkan untuk mengangkatkan harkat dan derajat.Dengan adanya mahar status prempuan bukan di anggap sebagai barang yang diperjual belikan.
2.      Hukum mahar
Sebagai dasar hukum kewajiban mahar adalah firman Allah:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
 ‘’Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang wajib.kemudian jika mereka menyarakan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.’’(an-Nisa:4)[5]
Firman Allah:                                                                             
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ   y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ  
 ‘’Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,maka janganlah kamu menggambil kembali daripadanya barang sedikit pun.Apakah kamu akan menggambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan menggambilnya kembali,padahal sebagian kamu bergaul(bercampur)dengan yang lain sebagai suami istri.Dan mereka (istri-istrimu)telah menggambil dari kamu perjanjian yang kuat.’’(an-Nisa’:20-21).[6]
Rasulullah pun pernah menggatakan kepada seseorang yang ingin kawin:’’berilah maharnya,sekalipun sebentuk cincin dari besi,’’(HR.Bukhari,Muslim dan Ahmad bin Hanbali).
Ulama fikih menyatakan,bahwa walaupun mahar wajib di berikan kepada istri ,tetapi mahar itu bukan termasuk rukun nikah atau syarat akibat dari suatu akad nikah.
B.     SYARAT-SYARAT MAHAR
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[7]
1.      Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tidak sah.
2.      Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
3.      Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambilbarang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memiliknya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
4.      Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan.
C.     KADAR (JUMLAH) MAHAR
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendah.[8]
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
D.    MEMBERI MAHAR DENGAN KONTAN DAN HUTANG
Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan hutang sebagian yang lain.[9] Kalau memang demikian, maka disunnahkan membayar kontan sebagian, berdasarkan sabda nabi SAW:
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Di manakah baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada fatimah.
Hadits di atas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian lebih dulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih. Segolongan ahli fikih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara di hutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan di anatara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untunk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya.
Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga yang membolehkannya karena atau perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’i. Perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau idak dapat disamakan dengannya. Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayr mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.
E.     MACAM-MACAM MAHAR
Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).[10]
1.      Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atas dinjanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
a)      Telah bercampur (bersenggama), tentang hal ini Allah SWT berfirman:
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ)#Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB
 $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ  
dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?[11]
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
b)      Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù
$tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès?
 ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9 4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÌÐÈ  
jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.[12]
Ialah suami atau wali. kalau Wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.

2.      Mahar mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:[13]
a)      Apabila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur
b)      Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumjumhur ulama dibolehkan. Firman Allah SWT.
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ  
tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.[14]
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil. Beberapa masalh yang berkaitan dengan mahar, komplikasi hukum islam menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 35
1)      Suami yang mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar yang setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
2)      Apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
3)      Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannay diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
1)      Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimnya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
2)      Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar di anggap masih belum di bayar.


F.      KAFA’AH DALAM PERKAWINAN
1.      Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah atau kufu’,menurut bahasa, artinya “setaraf” atau seimbang atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding”.[15] Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehinggan masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosila dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, kehormatan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta, atau bangsawa, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah SWT adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya.
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Kafa’ah dalam Islam dianjurkan memilih calon sumai/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya.karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.
2.      Ukuran Kafa’ah
Masalah kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya. Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi.
Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu, ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari pihak perempuannya. Akan tetapi jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti ia tidak kufu’ dengan perempuan yang shalihah. Bagi perempuan shalihah jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih gadis dan di paksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.[16]
Ibnu Rusyd berkata: di kalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhaka menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antar keduanya. Begitu pula halnya apabila seorang gadis dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talak.









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib,tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya,besar dan kecilnya dalam Al-Quran maupun AL-Hadis.Dalam bahasa arab,terma mahar jarang digunakan,Kalangan ahli fiqih lebih sering menggunakan kata ‘’shidaq’’dalam kitab-kitab fiqihnya.
Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku.
Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
Kafa’ah atau kufu’,menurut bahasa, artinya “setaraf” atau seimbang atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding”.
Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi.
B.     Saran
Karena begitu pentingnnya FIQH III dalam mengkaji Mahar dan Kafa’ah dalam Perkawinan. Maka seluruh calon pendidik dan para pendidik diharapkan mampu mempelajari serta mengaplikasikan FIQH III tersebut dalam pendidikan agar proses pendidikan berjalan dengan baik.





[1] Beni ahmad saebani, fiqh munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 260
[2] Ibid, hlm. 261
[3] Ali hasan, pedoman hidup berumah tangga dalam Islam, (Jakarta: siraja prenaja media group, 2006), hlm. 113
[4] Ibid, hlm. 114
[5] Al-Quran dan Terjemahnya, departemen agama RI edisi tahun 2002
[6] Al-Quran dan Terjemahnya, departemen agama RI edisi tahun 2002
[7]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 87
[8] Ibid, hlm. 88
[9] Ibid, hlm. 90
[10] Mardani, hukum perkawinan Islam di dunia modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 74
[11] Al-Quran dan Terjemahnya, departemen agama RI edisi tahun 2002
[12]  Al-Quran dan Terjemahnya, departemen agama RI edisi tahun 2002
[13] Ibid.
[14] Al-Quran dan Terjemahnya, departemen agama RI edisi tahun 2002
[15] Ibid, abdul rahman ghozali, fiqh munakahat, hlm. 96
[16] Beni ahmad saebani, fiqh munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 280


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL