MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PRA KODIFIKASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa lalu manusia. Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara histories.
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW. Hadits merupakan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas.
Secara struktural maupun fungsional Hadis telah disepakati oleh mayoritas kaum Muslimin dari berbagai mazhab Islam, sebagai sumber ajaran dan pedoman hidup yang menduduki posisi kedua setelah al-Qur'an. Hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit dan mendapat perhatian yang khusus sejak dari masa pra kodifikasi sampai dengan saat ini sehingga menghasilkan kualitas Hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya.
                                            
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan Hadits pada masa Nabi SAW?
2.      Bagaimana perkembangan Hadits pada masa Sahabat?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui perkembangan sejarah Hadits pada masa Nabi SAW.
2.      Untuk mengetahui perkembangan sejarah Hadits pada masa Sahabat.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Nabi saw adalah teladan yang senantiasa dicontoh para sahabat. Seperti perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. Menjadi rwferensi kehidupan kehidupan sahabat-sahabat tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hampir setiap gerak gerik Rasul diketahui dan diriwayatkan oleh sahabat-sahabatnya itu. Dengan demikian bagi mereka Nabi saw adalah sumber ilmu pengetahuan dan patron kehidupan ideal.[1]
Nabi saw adalah guru sunnah terbaik. Dalam priode ini sunnah terbentuk dan diamalkan secara konsisten dan universal. Dengan metode pengajaran yang baik. Dengan metode pengajaran sahabat semakin tertarik untuk terus mengikuti pengajaran Nabi saw.
Pada masa ini Hadits disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat dan masyarakat luas melalui khutbah, pertemuan antar kelompok, dirumah beliau sendiri, dan bahkan pasar ketika beliau sedang bepergian. Media-media tersebut sangat efektif untuk penyampaian hadits. Perhatian sahabat terhadap hadits ini sangat tinggi untuk diingat dan disampaikan kepada para sahabat lain yang tidak hadir dalam majlis. Demikian juga diantara mereka yang tidak hadir dalam majlis Rasul juga sangat inten untuk mencari Informasi tentang apa yang disampaikan beliau baik secara langsung atau melalui utusan.
Dan dalam menyamppaikan pengajaran Nabi saw memiliki cara-cara mendidik sahabat-sahabatnya ke jalan sunnah, diantaranya adalah:
1.      Husn at-tarbiyah wa ta’lim. Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan dengan cara yang baik sehingga sahabat merasa puas dengan keterangan dan perilaku Nabi.
2.      Tathbiq al-amali. Memberikan kesempatan melakukan praktek langsung terhadap apa yang disampaikan.
3.      Mura’ah al-mustawayat al-mukhtalifah. Rasul mempertimbangkan kondisi objektif, sikologi, dan kecerdasan orang yang bertanya kepadanya.
4.      Tabarruj. Nabi memberikan pengajaran secara bertahab sebagaimana Al-Qur’an diturunkan dengan metode yang sama.
5.      Tanwi’wa taghyir.cara belajar memilih dan membagikan masalah yang diajarkan agar sahabat mudah memahami dan tidak merasa jenuh.[2]
Diantara mereka ada yang bergantian hadir di majlis beliau seperti yang dilakukan oleh Umar. Sahabat Umar RA berkata: “Aku bersama tetanggaku sahabat Anshar Bani Umayyah bin Zaid. Dia diantar oleh tokoh Madinah bergantian hadir di majlis Rasulullah SAW sehari dia hadir dan hari yang lain aku yang hadir. Jika aku yang hadir aku sampaikan kepadanya berita tentang wahyu dan yang lain kepadanya, demikian juga jika ia yang hadir.
Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW sesuai dengan sabda beliau yang,
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abu 'Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al Awza'iy telah bercerita kepada kami Hassan bin 'Athiyyah dari Abi Kabsyah dari 'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka" (HR.Bukhari).
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa para sahabat Nabi pun menerima hadits dari Rasulullah melalui 2 metode yakni penyampaian secara langsung dan tidak langsung. Penyampaian secara langsung ini misalnya ketika Nabi SAW memberikan ceramah, pengajian, Khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Sedangkan penyampaian tidak langsung dilakukan dengan cara mendengarkan dari sahabat lain atau dari utusan-utusan yang dikirim oleh Nabi SAW ke daerah-daerah atau utusan daerah yang dating kepada Nabi.
Hadits pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihapal oleh mereka (tidak ditulis) seperti Al-Qur’an ketika disampaikan Nabi SAW kepada mereka. Rasulullah melarang keras penulisan hadits karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Al-Qur’an. Selain itu, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat juga sangat terbatas sehingga membuat Rasulullah lebih menekankan untuk menghapal, memahami, mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain. Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi bagi para sahabat untuk menghapal hadits yaitu, pertama hafalan merupakan budaya bangsa arab dan mereka terkenal kuat hafalannya, kedua Rasulullah banyak memberikan spirit melalui doa-doanya, ketiga sering kali beliau menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya.
Namun dibalik larangan Rasulullah dalam menulis hadits tidak sedikit sahabat yang menulis hadits untuk membantu hafalannya atau hanya diperbolehkan bagi para sahabat yang hafalannya kurang dan hanya diperuntukan untuk dirinya sendiri tidak untuk disebarkan kepada orang lain. Setelah ditulis kemudian harus dihapalkan sampai benar-benar hapal. Jika sudah hapal, catatan-catatan hadits tersebut mereka bakar sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa sahabat.


B.     Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[3]
Setelah Nabi saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as-Shiddiq (wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar
Memasuki periode sahabat ini, yang dihadapi oleh umat islam persoalan orang orang murtad dan pertikaian politik. Para sahabat, utamanya Khulafaur Rasyidin tidak menyukai banyak periwayatan dari Rasul, takut terjadi kebohongan atas nama Rasul dan pembelokan perhatian orang islam dari Al-Qur’an kepada al-hadist. Oleh karena itu dengan pertimbangan yang matang Abu Bakar as- Shiddiq memilih mengurungkan niatnya untuk membukukan Hadits.
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadist tersebar secara terbatas. Penulisan hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan pada masa itu Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarkan Al-Qur’an.
Alasan Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak riwayat Hadits adalah karena beliau sangat khawatir dapat menimbulkan tasyabbuh/menyerupai ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir umat Islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam periode para sahabat ini penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu ketika umat Islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum. Walaupun demikian, tetapi mereka sangat selektif dalam menerima hadits dan menguji kebenaran hadits tersebut.
Setelah masa khalifah Abu Bakar dan Umar berakhir, periwayatan Hadits kemudian dilanjutkan oleh Utsman bin Affan. Akan tetapi langkah Utsman tidaklah setegas langkah Umar bin Khatthab. Utsman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat Utsman sekitar empat puluh hadits saja. Hal ini dikarenakan beliau lebih banyak terjun dalam bidang politik.
Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam agara lebih berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap longgar dalam periwayatan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi Utsman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam semakin luas. Luasnya wilayah Islam ini mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.[4]
Tercatat pada masa sahabat ini ada 6 (enam) orang diantara para sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan Hadits diantaranya:
1.    Abu Hurairah sebanyak 5.374 hadits.
2.    Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635.
3.    Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits.
4.    Aisyah Ummi al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadits.
5.    Abdullah bin Abbas sebanyak 1.560 buah hadits.
6.    Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits.
Pada masa Ali bin Abi Thalib, periwayatan Hadits juga tidak begitu banyak karena pada masa ini banyak terjadi konflik dan perpecahan umat Islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dan Mu’awiyyah. Akibat konflik tersebut umat Islam terpecah menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:
a.       Khawarij yaitu golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) antara dua kelompok yang sedang bertikai, Kelompok ini pada awalnya mendukung Ali, akan tetapi kemudian ia keluar karena mereka tidak setuju dengan Ali yang menerima tahkim.
b.      Syiah yaitu pendukung setia terhadap Ali. Diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap Ali.
c.       Jumhur Muslimin, Diantara mereka ada yang mendukung Ali, ada yang mendukung Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah politik.
Akibat pertikaian ini, banyak pihak yang tidak bertanggung jawab berani membuat hadits palsu (Maudhu’) dengan tujuan ingin mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan/kelompok diatas dan ingin mencari dukungan dari umat Islam. Akhirnya dengan adanya pemalsuan hadits ini para Ulama’ kemudian mengadakan perlawatan ke berbagai daerah dalam rangka untuk mengecek kebenaran hadits yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan maupun sanad.
Selain untuk mengecek hadits, mereka juga sekaligus mencari ilmu kepada para Sahabat senior pasca Khulafaur Rasyidin (41-98 H). Para sahabat senior waktu itu banyak yang pindah ke berbagai daerah yang sudah dikuasai oleh Islam. Daerah-daerah yang sudah dikuasai Islam itu diantaranya Syam dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).[5]
Setelah perlawatan selesai, mereka kemudian menyampaikan hasil perlawatan tersebut kepada umat Islam secara transparan. Demikian perhatian para Ulama terhadap Hadits, mereka rela mengorbankan harta benda dan meninggalkan kampung halamannya beberapa hari untuk mencari ilmu.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah hadist pra kodifikasi ini terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, kami akan meringkasnya menjadi beberapa uraian yaitu, dalam periode Nabi Muhammad SAW, beliau dalam menyampaikan hadits di berbagai tempat diantarnya di berbagai majlis-majlis, masjid, rumah beliau, pasar (ketika dalam perjalanan), ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka. Pada waktu itu penulisan hadits masih sangat terbatas disamping Rasul sendiri juga melarangnya. Ketika itu para Sahabat masih mengandalkan hafalan, namun ada juga yang menulisnya akan tetapi diperuntukan untuk dirinya sendiri dan  tidak untuk disebarkan kepada orang lain.
Dan dalam periode sahabat, belum ada pembukuan hadits secara resmi. Hal ini dikarenakan masyarakat masih banyak yang belum mengenal Al-Qur’an sebagai syariat, serta para sahabat lebih selektif dan berhati-hati dalam memilih hadits, menguji kebenaran hadits tersebut terlebih dahulu karena pada waktu itu sudah mulai muncul berbagai hadits palsu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab pasca pertikaian  Ali dengan Mu’awiyyah.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ramli wahid. 2003. Studi Ilmu Hadis. Medan:PP2-IK
Muhammad Teungku Sahbi Shiddieqy. 1999. Sejarah dan pengantar ilmu hadis. Semarang: TP. PUSTAKA RIZKI PUTRA
Khon, Abdul Majid. 2011. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.



[1] Ramli Abdul wahid, Studi Ilmu Hadis, (Medan:PP2-IK, 2003), hlm 55
[2] Muhammad ‘ Ajjaj al-Khatib, ap, cip,hlm 60
[3] Teungku Muhammad Sahbi Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis, (Semarang: TP. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1999), hlm 40-42.
[4] Ahmad bin Hambal, Musnab Ahmad bin Hanbal, Jus 1, Dar al-sahnun, istanbul, Turki, 1990. Hlm. 173
[5] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Uliumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm 34.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL