MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH FIQIH MENGENAI MUNAKAHAT DALAM ISLAM


KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Munakahat” ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan.
Tak lupa pula shalawat dan salam kami panjatkan kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari jaman yang tidak bermoral dan tidak mengenal iman dan pada akhirnya memperkenalkan kita dunia yang indah, penuh berkah, dan diridhoi oleh ALLAH SWT. Yaitu islam.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusun karya tulis ilmiah yang berjudul “Munakahat” ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dalam bentuk saran dan berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu secara langsung dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari ALLAH SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan, Amin.
Padangsidimpuan, 26 maret 2019,


Penulis


DAFTAR ISI



 




BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

            Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan, salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk meneruskan generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh sebab itu Allah SWT memberikan manusia karunia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan,agar lahir keturunan secara terhormat, maka pernikahan adalah satu hal yang wajar jika  dikatakan sebagai suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.

B. Rumusan Masalah

1. Siapa saja wanita-wanita yang haram dinikahi?
2. Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan dalam islam?
3. Apakah penyebab putusnya perkawinan dan akibat-akibatnya?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaima ciri-ciri wanita yang haram dinikahi.
2. Agar kita dapat memahami pelaksanaan  pernikahan  menurut islam.
3. Agar kita mengetahui sebab putusnya suatu perkawinan.

BAB II

PEMBAHASAN


A. Wanita-wanita yang haram dinikahi

                        Tidak semua orang perempuan boleh dinikahi dan ada batasan-batasan yang harus diperhatikan ketika akan memilih seorang calon istri. Wanita yang haram dinikahi atau dalam istilah arab disebut Al Muharramat, dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.      Wanita yang haram dinikahi untuk selama-lamanya (Al-Muharramat Al-Mu’abbadah), yaitu wanita yang tidak boleh dinikahi untuk waktu yang tidak terbatas karena adanya sebab sifat pengharaman yang tidak bisa hilang, seperti karena anak perempuannya, saudara perempuannya dan lain-lainnya.[1]
  1. Wanita yang haram dinikahi untuk sementara (Al-Muharramat Al-Mu’aqqatah), yaitu wanita yang haram dinikahi karena sebab pengharamannya dapat hilang karena sesuatu sebab dan bila sebab pengharaman tersebut hilang maka wanita itu seperti halnya wanita lain yang halal dinikahi, dan keharamannya hilang, seperti wanita yang sudah menjadi istri orang lain atau wanita musyrik dan lain sebagainya.[2]
                        Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi untuk selama-lamanya disebabkan oleh tiga sebab yaitu karena sebab nasab (al muharramat bi sabab al qarabah), karena sebab mengawini seorang wanita / persemendaan (al muharramat bi sabab al mushaharah) dan karena sebab persusuan (al muharramat bi sabab ar radha’ah).

1. Sebab hubungan nasab
                   Perempuan Yang Haram Dinikahi sebab hubungan nasab adalah sebagai berikut:
a. Ibu-ibu, termasuk ibu, ibu dari ibu (nenek dari ibu), ibu dari ayah (nenek dari ayah) dan seterusnya keatas.
b. Anak-anak perempuan kandung, termasuk cucu terus kebawah.
c. Saudara-saudara perempuan, termasuk sekandung seayah dan seibu.
d. Saudara-saudara ayah yang perempuan (bibi dari ayah), termasuk juga saudara perempuan dari kakek.
e. Saudara-saudara ibu yang perempuan, termasuk saudara nenek yang      perempuan.
f. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki (keponakan dari   saudara laki-  laki), baik sekandung maupun seibu.
g. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan (keponakan dari saudara perempuan), baik yang sekandung, seayah maupun seibu.
Pengharaman ini didasarkan pada firman Allah yang terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 23:
  حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ 
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ 
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ 
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ 
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan,saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”
Hikmah adanya pengharaman sebab hubungan nasab ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah:
1) Semua syariat termasuk juga Islam Ahli Kitab dan lain-lainnya telah mengharamkan nikah dengan wanita-wanita tersebut. Hal ini adalah berdasarkan fitrah manusia sendiri, bahkan sebahagian hewan pun demikian tidak mau mengambil pasangan dari kerabatnya.
2) Menurut penelitian ilmiyah terhadap hewan bahwa perpaduan semen atau perkawinan dari jauh nasabnya telah menghasilkan keturunan yang kuat, dan perkawinan dari hewan yang dekat nasabnya menghasilkan nasl (keturunan yang lemah) dan ini dapat diqiyaskan bahwa perkawinan manusia dengan kerabat dekat pun juga akan  menghasilkan keturunan yang demikian.
3) Perkawinan dengan wanita-wanita yang dekat nasabnya dapat merusak hubungan nasab yang mulia yang telah terikat diantara mereka, juga akan hilangnya kasih sayang yang timbul dari fitrah manusia.
4) Andaikan perkawinan dengan wanita yang dekat nasabnya ini dibolehkan maka semestinya seorang laki-laki tidak bertemu atau menjauh dari kerabat-kerabatnya sehingga tidak timbul ketamakan terhadap kerabat-kerabatnya. Dengan kebolehan tersebut maka seorang laki-laki semestinya tidak boleh bertemu dengan saudara perempuannya, dengan ibunya, dengan bibinya, anak perempuannya, dan sungguh ini suatu kerusakan yang besar
2. Sebab persemendaan / mengawini seorang wanita.
                        perempuan yang haram dinikahi karena hubungan persemendaan adalah sebagai berikut:
a. Bekas istrinya bapak
b. Anak-anak tiri, ialah anak-anak dari istri yang telah dicampuri. Apabila istri      itu belum dicampuri maka anak tiri tersebut halal dinikahi, termasuk juga didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak tiri dan seterusnya.
3. Sebab Persusuan
Susuan adalah sampainya air susu anak adam ke lambung anak yang belum berumur lebih dari 2 tahun (24 bulan). Wanita yang haram dinikahi karenan susuan adalah sebagaimana haramnya karena nasab (keturunan). Ini berdasarkan pada hadits Nabi saw:
إنها لا تحلّ لى إنها ابنة أخى من الرضاعة ويحرم من الرضاعة ما يحرم من النسب.
Artinya: ”Bahwasannya ia (anak perempuan pamanku) itu tidak halal bagiku, sesungguhnya ia adalah saudaraku sesusuan, dan haram karena sesusuan itu adalah sebagaimana haram karena keturunan’’
                        Adapun pengharaman menikahi wanita karena sesusuan ini yaitu sebagai berikut:
Ibu-ibu yang menyusukan, termasuk di dalamnya ibu dari ibu yang menyusukan, ibu dari suami ibu yang menyusukan dan seterusnya keatas.
a. Anak-anak perempuan dari ibu yang menyusukan.
b. Anak-anak perempuan dari semua ibu yang menyusukan.
c. Anak-anak dari saudara laki-laki sesusuan, termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki ibu dan suami ibu susuan.
d.Anak-anak dari saudara perempuan sesusuan, termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak perempuan dari ibu sususan dan suami ibu susuan.
e. Saudara-saudara perempuan dari ibu yang menyusukan.
f. Saudara perempuan dari suami ibu yang menyusukan.
Perempuan Yang Haram Dinikahi karena ada hubungan sesusuan ini hanya terdapat dalam syari’at Islam dan tidak terdapat pada peraturan hukum lainnya. Hikmah adanya pengahraman ini adalah sebagai berikut:
1) Anak yang disusukan telah memakan sebagian dari badan si ibu yang menyusukan, sehingga badan ibu tersebut telah masuk dalam susunan tubuh si anak, termasuk berpengaruh dalam perasaan dan kesehatannya. Susu adalah bagian dari darah ibu yang dapat menumbuhkan daging dan tulang anak tersebut, karena seperti anggota badannya sendiri maka perkawinan diantaranya menjadi haram.
2) Anak yang disusui menjadi satu keluarga dengan anak lain yang disusukan kepada satu ibu dan antara mereka menjadi bagian dari yang lain. Sebagaimana seorang anak yang disusukan kepadanya menjadi satu keluarga. Karena adanya hubungan nasab diharamkan maka pernikahan antara anak yang satu susuan juga diharamkan karena juga menjadi satu keluarga.
3) Dari kalangan non muslim banyak yang heran dengan peraturan ini. Menyusukan berarti memberi kehidupan pada anak yang ibunya tidak bisa menyusui. Anak yang disusui apabila tahu kalau ajaran islam menetapkan ibu yang menyusui adalah sebagai ibunya juga, maka ibu itu berhak untuk dihormati. Oleh karena itulah ia diharamkan untuk menikah dengannya sebagaimana haram menikah dengan ibunya.

B. Pelaksanaan Perkawinan

1. Pengertian Pernikahan
   Pernikahan merupakan salah satu sanatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ini merupakan fitrah dan kebutuhan makhluk demi kelangsungan hidupnya.
   Dalam kamus bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata ‘‘kawin’’ yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenisnya.[3] Sedangkan menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dalam membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.
       Beberapa pendapat juga menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Istilah ‘‘kawin’’ digunakan secara umum untuk tumbuhan dan hewan yang menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan nikah digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hokum nasional, adat-istiadat dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (persyaratan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu nikah bias juga dikatan sebagai bersetubuh.[4]
2. Tata Cara Pernikahan Dalam Islam
     Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih yaitu:
a.       Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedangdipinang orang lain (Muttafaq ‘alaihi).

b.      Akad Nikah
Dalam akad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1)  Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2)  Adanya ijab qabul.
a)      Syarat ijab
(1)   Pernikahan hendaklah tepat.
(2)   Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran.
(3)   Diucapkan oleh wali atau wakilnya.
b)    Syarat qabul
(1)   Ucapan harus sesuai dengan ucapan hijab.
(2)   Tiada perkataan sindiran.
(3)   Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (sebab-sebab tertentu)
(4)   Menyebut nama calon istri.
(5)   Tidak selingi perkataan lain.

c)    Adanya Mahar
Mahar (mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-     laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang istri dan tidak seorang pun mengambilnya.

d)   Adanya Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita dan orang yang paling berhak untuk menikahkan wanita adalah ayahnya, lalu kakeknya, kemudian seayah-seibu, saudara seayah, paman.
Adapun syarat menjadi seorang wali yaitu:
(1)      Islam, bukan kafir atau murtad.
(2)      Lelaki dan bukannya perempuan.
(3)      Baligh.
(4)      Tidak fasik.
(5)      Tidak cacat akal pikiran.

2.         Hikmah Pernikahan
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain itu juga menjadi penyalur nafsu melalui hubungan suami-istri serta menghindari godaan setan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan asas saling menolong dalam wilayah kasih saying dan penghormataan muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan supaya suami dapat mengerjkan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.[5]
Adapun hikmah lain dalam pernikahan yaitu:
a.       Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan berkembang biak.
b.      Mampu menenangkan jiwa.
c.       Mampu membuat wanita melaksanankan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
d.      Mampu menjaga suami-istri agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang menistakan agama dan mampu mengekang syahwat serta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.[6]

 C. Putusnya Perkawinan dan Akibat-Akibatnya

1. Putusnya Perkawinan
               Putus Perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah satu antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami-istri dapat putus atau bercerai.[7]
               Persoalan putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 UU Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang disebutkan bahwa:
Perkawinan dapat putus karena
a. Kematian
b.Perceraian
c. Keputusan pengadilan
               Selain itu kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan perceraian:
1) Thalaq
          Secara harfiah thalaq berarti lepas dan bebas. Sedangkan secara terminologi ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Thalaq terbagi dua macam yaitu:
(a) Thalaq Raj’I adalah thalaq kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri                     dalam masa iddah.
(b) Thalaq Ba’in adalah Thalaq yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru                          dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
2) Khuluk
       Khuluk merupakan penyeraha harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari ikatan suaminya.
3) Li’an
       Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami-istri selama-lamanya karena suami menuduh istri berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari istrinya sedang istrinya menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.

2. Akibat Putusnya Perkawinan

     Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan istri dapat dilihat dari beberapa garis hokum, baik yang tercantum dalam UU perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu Akibat thalaq, Akibat perceraian (gugat cerai), Akibat khulu’,  Akibat li’an dan Akibat ditinggal suami.












BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tidak semua perempuan yang boleh dinikahi oleh seorang pria. Sebab-sebab yang membuat seorang perempuan menjadi haram dinikahi dapat dibagi menjadi 2 bagian  yaitu haram selamnya dan wanita yang haram dinikahi yang bersifat sementara.
2. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih yaitu Khitbah (Peminangan), Akad nikah.
3. Putusnya perkawinan disebabkan thalaq dan perceraian.


B. Saran

            Dalam penulisan makalah ini, pemakalah merasa masih banyak terdapat kekurangan karena pengetahuan yang terbatas. Untuk itu pemakalah mengharapkan pembaca dapat memahami isinya dan mempelajarinya dengan lebih baik lagi sehingga ilmu kita pun menjadi bertambah.






DAFTAR PUSTAKA


Ali, Zainuddin.  Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Baihaqi, Ahmad Rafi. Membangun Syurga Rumah Tangga, Surabaya: Gita Media Press, 2006.

Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqih munakahah, Jakarta: Kencana, 2006.


H.M.A, Tihami, dkk, Fikih Munakahah Kajian Fiqih Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

‘Uwaidah, Syaikh kamil Muhammad. Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.

Zahrah, Muhammad Abu. Al Ahwal Asy Syakhsiyyah, Beirut: Dar Al Fikr Al ‘Araby, t. t. 2006.






     [1] Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Asy Syakhsiyyah. (Beirut: Dar Al Fikr Al ‘Araby, t. t. 2006) , hlm. 71.
     [2] Ibid.
     [3] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih munakahah (Jakarta: Kencana, 2006),  hlm. 7.
    [4] H.M.A, Tihami, dkk, Fikih Munakahah Kajian Fiqih Lengkap (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 6.
    [5] Syaikh kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 378.
    [6] Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga (Surabaya: Gita Media Press, 2006), hlm. 44.
      [7] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia  (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 73.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN