Puji syukur kami panjatkan kehadirat
ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Munakahat”
ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan.
Tak lupa pula shalawat dan salam kami panjatkan kepada junjungan
alam Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari jaman yang tidak
bermoral dan tidak mengenal iman dan pada akhirnya memperkenalkan kita dunia
yang indah, penuh berkah, dan diridhoi oleh ALLAH SWT. Yaitu islam.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusun karya tulis ilmiah
yang berjudul “Munakahat” ini tidak
terlepas dari bantuan, bimbingan dalam bentuk saran dan berbagai pihak. Oleh
sebab itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu secara langsung dalam pembuatan karya tulis
ilmiah ini.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah
dari ALLAH SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan
dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan, Amin.
Padangsidimpuan,
26 maret 2019,
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar
Belakang Masalah
Allah SWT telah
menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan,
salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk
meneruskan generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh sebab itu Allah SWT
memberikan manusia karunia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru
yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya
kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar
manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai
dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan,agar lahir keturunan
secara terhormat, maka pernikahan adalah satu hal yang wajar jika dikatakan sebagai suatu peristiwa dan sangat
diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
B. Rumusan
Masalah
1. Siapa saja wanita-wanita yang
haram dinikahi?
2. Bagaimanakah pelaksanaan
perkawinan dalam islam?
3. Apakah penyebab putusnya perkawinan
dan akibat-akibatnya?
1. Untuk mengetahui bagaima
ciri-ciri wanita yang haram dinikahi.
2. Agar kita dapat memahami
pelaksanaan pernikahan menurut islam.
3. Agar kita mengetahui sebab
putusnya suatu perkawinan.
Tidak semua orang
perempuan boleh dinikahi dan ada batasan-batasan yang harus diperhatikan ketika
akan memilih seorang calon istri. Wanita yang haram dinikahi atau dalam istilah arab
disebut Al Muharramat, dapat dibagi menjadi dua
bagian:
1. Wanita
yang haram dinikahi untuk selama-lamanya (Al-Muharramat Al-Mu’abbadah),
yaitu wanita yang tidak boleh dinikahi untuk waktu yang tidak terbatas karena
adanya sebab sifat pengharaman yang tidak bisa hilang, seperti karena anak perempuannya,
saudara perempuannya dan lain-lainnya.
- Wanita
yang haram dinikahi untuk sementara (Al-Muharramat Al-Mu’aqqatah),
yaitu wanita yang haram dinikahi karena sebab pengharamannya dapat hilang
karena sesuatu sebab dan bila sebab pengharaman tersebut hilang maka
wanita itu seperti halnya wanita lain yang halal dinikahi, dan
keharamannya hilang, seperti wanita yang sudah menjadi istri orang lain
atau wanita musyrik dan lain sebagainya.
Adapun
wanita-wanita yang haram untuk dinikahi untuk selama-lamanya disebabkan oleh
tiga sebab yaitu karena sebab nasab (al muharramat bi sabab al qarabah), karena
sebab mengawini seorang wanita / persemendaan (al muharramat bi sabab al
mushaharah) dan karena sebab persusuan (al muharramat bi sabab ar radha’ah).
1. Sebab hubungan nasab
Perempuan
Yang Haram Dinikahi sebab hubungan nasab adalah sebagai berikut:
a. Ibu-ibu, termasuk ibu, ibu dari
ibu (nenek dari ibu), ibu dari ayah (nenek dari ayah) dan seterusnya keatas.
b. Anak-anak perempuan kandung,
termasuk cucu terus kebawah.
c. Saudara-saudara perempuan,
termasuk sekandung seayah dan seibu.
d. Saudara-saudara ayah yang
perempuan (bibi dari ayah), termasuk juga saudara perempuan dari kakek.
e. Saudara-saudara ibu yang
perempuan, termasuk saudara nenek yang perempuan.
f. Anak-anak perempuan dari
saudara-saudara laki-laki (keponakan dari saudara laki-
laki), baik sekandung maupun seibu.
g. Anak-anak perempuan dari
saudara-saudara perempuan (keponakan dari saudara perempuan), baik yang
sekandung, seayah maupun seibu.
Pengharaman ini didasarkan pada
firman Allah yang terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan,saudara-saudaramu yang
perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”
Hikmah adanya pengharaman sebab
hubungan nasab ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah:
1) Semua syariat termasuk juga Islam
Ahli Kitab dan lain-lainnya telah mengharamkan nikah dengan wanita-wanita
tersebut. Hal ini adalah berdasarkan fitrah manusia sendiri, bahkan sebahagian
hewan pun demikian tidak mau mengambil pasangan dari kerabatnya.
2) Menurut penelitian ilmiyah
terhadap hewan bahwa perpaduan semen atau perkawinan dari jauh nasabnya telah
menghasilkan keturunan yang kuat, dan perkawinan dari hewan yang dekat nasabnya
menghasilkan nasl (keturunan yang lemah) dan ini dapat diqiyaskan bahwa
perkawinan manusia dengan kerabat dekat pun juga akan menghasilkan keturunan yang demikian.
3) Perkawinan dengan wanita-wanita
yang dekat nasabnya dapat merusak hubungan nasab yang mulia yang telah terikat
diantara mereka, juga akan hilangnya kasih sayang yang timbul dari fitrah
manusia.
4) Andaikan
perkawinan dengan wanita yang dekat nasabnya ini dibolehkan maka semestinya
seorang laki-laki tidak bertemu atau menjauh dari kerabat-kerabatnya sehingga
tidak timbul ketamakan terhadap kerabat-kerabatnya. Dengan kebolehan tersebut maka
seorang laki-laki semestinya tidak boleh bertemu dengan saudara perempuannya,
dengan ibunya, dengan bibinya, anak perempuannya, dan sungguh ini suatu
kerusakan yang besar
2. Sebab persemendaan / mengawini
seorang wanita.
perempuan
yang haram dinikahi karena hubungan persemendaan adalah sebagai berikut:
a. Bekas istrinya bapak
b. Anak-anak tiri, ialah anak-anak
dari istri yang telah dicampuri. Apabila istri itu belum dicampuri maka anak tiri
tersebut halal dinikahi, termasuk juga didalamnya anak-anak perempuan dari
anak-anak tiri dan seterusnya.
3. Sebab Persusuan
Susuan adalah sampainya air susu
anak adam ke lambung anak yang belum berumur lebih dari 2 tahun (24 bulan). Wanita
yang haram dinikahi karenan susuan adalah sebagaimana haramnya karena nasab
(keturunan). Ini berdasarkan pada hadits Nabi saw:
إنها لا تحلّ لى إنها ابنة أخى من
الرضاعة ويحرم من الرضاعة ما يحرم من النسب.
Artinya: ”Bahwasannya ia (anak perempuan
pamanku) itu tidak halal bagiku, sesungguhnya ia adalah saudaraku sesusuan, dan
haram karena sesusuan itu adalah sebagaimana haram karena keturunan’’
Adapun
pengharaman menikahi wanita karena sesusuan ini yaitu sebagai berikut:
Ibu-ibu yang menyusukan, termasuk di
dalamnya ibu dari ibu yang menyusukan, ibu dari suami ibu yang menyusukan dan
seterusnya keatas.
a. Anak-anak perempuan dari ibu yang
menyusukan.
b. Anak-anak perempuan dari semua
ibu yang menyusukan.
c. Anak-anak dari saudara laki-laki
sesusuan, termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki ibu
dan suami ibu susuan.
d.Anak-anak dari saudara perempuan
sesusuan, termasuk didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak perempuan dari
ibu sususan dan suami ibu susuan.
e. Saudara-saudara perempuan dari
ibu yang menyusukan.
f. Saudara perempuan dari suami ibu
yang menyusukan.
Perempuan Yang Haram Dinikahi karena
ada hubungan sesusuan ini hanya terdapat dalam syari’at Islam dan tidak
terdapat pada peraturan hukum lainnya. Hikmah adanya pengahraman ini adalah
sebagai berikut:
1) Anak yang disusukan telah memakan
sebagian dari badan si ibu yang menyusukan, sehingga badan ibu tersebut telah
masuk dalam susunan tubuh si anak, termasuk berpengaruh dalam perasaan dan
kesehatannya. Susu adalah bagian dari darah ibu yang dapat menumbuhkan daging
dan tulang anak tersebut, karena seperti anggota badannya sendiri maka
perkawinan diantaranya menjadi haram.
2) Anak yang disusui menjadi satu
keluarga dengan anak lain yang disusukan kepada satu ibu dan antara mereka
menjadi bagian dari yang lain. Sebagaimana seorang anak yang disusukan
kepadanya menjadi satu keluarga. Karena adanya hubungan nasab diharamkan maka
pernikahan antara anak yang satu susuan juga diharamkan karena juga menjadi satu
keluarga.
3) Dari kalangan non muslim banyak
yang heran dengan peraturan ini. Menyusukan berarti memberi kehidupan pada anak
yang ibunya tidak bisa menyusui. Anak yang disusui apabila tahu kalau ajaran
islam menetapkan ibu yang menyusui adalah sebagai ibunya juga, maka ibu itu
berhak untuk dihormati. Oleh karena itulah ia diharamkan untuk menikah
dengannya sebagaimana haram menikah dengan ibunya.
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan salah satu sanatullah yang berlaku pada semua
makhluk-Nya baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ini merupakan fitrah
dan kebutuhan makhluk demi kelangsungan hidupnya.
Dalam kamus bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata ‘‘kawin’’
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenisnya.
Sedangkan menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dalam
membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
sejahtera.
Beberapa pendapat juga menyebut pernikahan
dengan kata perkawinan. Istilah ‘‘kawin’’ digunakan secara umum untuk tumbuhan
dan hewan yang menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan nikah
digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hokum nasional,
adat-istiadat dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan,
karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (persyaratan penyerahan dari
pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain
itu nikah bias juga dikatan sebagai bersetubuh.
2. Tata Cara Pernikahan Dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan
berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih yaitu:
a. Khitbah
(Peminangan)
Seorang
muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih
dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini
Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedangdipinang orang lain
(Muttafaq ‘alaihi).
b. Akad
Nikah
Dalam akad
nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1) Adanya suka sama suka dari kedua calon
mempelai.
2) Adanya ijab qabul.
a) Syarat
ijab
(1) Pernikahan
hendaklah tepat.
(2) Tidak
boleh menggunakan perkataan sindiran.
(3) Diucapkan
oleh wali atau wakilnya.
b) Syarat qabul
(1) Ucapan
harus sesuai dengan ucapan hijab.
(2) Tiada
perkataan sindiran.
(3) Dilafazkan
oleh calon suami atau wakilnya (sebab-sebab tertentu)
(4) Menyebut
nama calon istri.
(5) Tidak
selingi perkataan lain.
c) Adanya
Mahar
Mahar
(mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki- laki yang akan menikahinya. Mahar
merupakan milik seorang istri dan tidak seorang pun mengambilnya.
d) Adanya
Wali
Yang
dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita dan orang yang
paling berhak untuk menikahkan wanita adalah ayahnya, lalu kakeknya, kemudian
seayah-seibu, saudara seayah, paman.
Adapun
syarat menjadi seorang wali yaitu:
(1) Islam,
bukan kafir atau murtad.
(2) Lelaki
dan bukannya perempuan.
(3) Baligh.
(4) Tidak
fasik.
(5) Tidak
cacat akal pikiran.
2.
Hikmah Pernikahan
Pernikahan menjadikan proses
keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut, dari generasi ke
generasi. Selain itu juga menjadi penyalur nafsu melalui hubungan suami-istri
serta menghindari godaan setan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi
untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan asas saling
menolong dalam wilayah kasih saying dan penghormataan muslimah berkewajiban
untuk mengerjakan tugas rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak,
dan menciptakan suasana yang menyenangkan supaya suami dapat mengerjkan
kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.
Adapun hikmah lain dalam pernikahan
yaitu:
a. Mampu
menjaga kelangsungan hidup manusia dengan berkembang biak.
b. Mampu
menenangkan jiwa.
c. Mampu
membuat wanita melaksanankan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan.
d. Mampu
menjaga suami-istri agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang menistakan agama
dan mampu mengekang syahwat serta menahan pandangan dari sesuatu yang
diharamkan.
1. Putusnya Perkawinan
Putus
Perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus.
Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara
pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah satu antara keduanya pergi
ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap
bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan
perkawinan suami-istri dapat putus atau bercerai.
Persoalan
putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 UU Republik Indonesia No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, yang disebutkan bahwa:
Perkawinan dapat putus karena
a. Kematian
b.Perceraian
c. Keputusan pengadilan
Selain itu kompilasi Hukum Islam
(KHI) menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan perceraian:
1) Thalaq
Secara
harfiah thalaq berarti lepas dan bebas. Sedangkan secara terminologi ialah
menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan
menggunakan kata-kata tertentu.
Thalaq terbagi dua macam yaitu:
(a) Thalaq Raj’I adalah thalaq
kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
(b) Thalaq Ba’in adalah Thalaq yang
tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
2) Khuluk
Khuluk
merupakan penyeraha harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari
ikatan suaminya.
3) Li’an
Li’an
menyebabkan putusnya perkawinan antara suami-istri selama-lamanya karena suami
menuduh istri berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang
sudah lahir dari istrinya sedang istrinya menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.
Akibat yang muncul ketika putus ikatan
perkawinan antara seorang suami dengan istri dapat dilihat dari beberapa garis
hokum, baik yang tercantum dalam UU perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI.
Putusnya ikatan perkawinan dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu Akibat thalaq, Akibat
perceraian (gugat cerai), Akibat khulu’, Akibat li’an dan Akibat ditinggal suami.
1. Tidak
semua perempuan yang boleh dinikahi oleh seorang pria. Sebab-sebab yang membuat
seorang perempuan menjadi haram dinikahi dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu haram selamnya dan wanita yang haram
dinikahi yang bersifat sementara.
2. Islam
telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an
dan Sunnah yang shahih yaitu Khitbah (Peminangan), Akad nikah.
3.
Putusnya perkawinan disebabkan thalaq dan perceraian.
Dalam penulisan makalah ini,
pemakalah merasa masih banyak terdapat kekurangan karena pengetahuan yang
terbatas. Untuk itu pemakalah mengharapkan pembaca dapat memahami isinya dan
mempelajarinya dengan lebih baik lagi sehingga ilmu kita pun menjadi bertambah.
Ali,
Zainuddin. Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Baihaqi,
Ahmad Rafi. Membangun Syurga Rumah Tangga,
Surabaya: Gita Media Press, 2006.
H.M.A,
Tihami, dkk, Fikih Munakahah Kajian Fiqih
Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
‘Uwaidah,
Syaikh kamil Muhammad. Fiqih Wanita, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Zahrah,
Muhammad Abu. Al Ahwal Asy Syakhsiyyah,
Beirut: Dar Al Fikr Al ‘Araby, t. t. 2006.
Komentar
Posting Komentar