BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadist atau yang disebut juga dengan
sunnah, sebagai sumber ajaran islam yang berisi pernayataan, pengalaman,
pengakuan, dan hal ihwal Nabi SAW yang beredar pada masa nabi Muhammad SAW
hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-quran dan
isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagaman. Oleh karena itu, umat Islam
pada masa Nabi Muhammad SAW dan pengikut jejaknya, menggunakan hadist sebagai
hujjah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya.
Namun, keadaan hadist Nabi Muhammad SAW
dalam kesepakatan tersebut, tidaklah demikian keadannya pasca Nabi Muhammad
SAW. Hadist pasca Nabi Muhammad SAW telah berada dalam suatu kondisi yang mulai
tidak seimbang denagn posisi Al-quran, karena ia telah berada di tengah-tengah
banyak faktor misalnya dalam periwatannya selain berlangsung secara lafal juga
berlangsung secara makan, banyak pemalsuan hadist dan hadist merupakan sumber
ajaran Islam di samping Al-quran yang dibukukan dengan memakan waktu jauh lebih
lama dari pembukuan Al-quran. Dari banyak faktor diatas, maka kondisi hadist
pasca Nabi Muhammad SAW sudah tidak seperti masa Nabi SAW, dan memiliki banyak
peluang untuk diadakan penelitian dan pengkajian dalam banyak persoalan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadist
Al-Hadist dapat menjadi sumber ajaran
Islam yang lain disamping Al-quran, sehingga kedudukan Hadist menjadi penting.
Hadist kadang-kadang disebut juga Al-Sunnah dan keduanya dipergunakan saling
bergantian untuk maksud yang sama. Bahakan ini kadang-kadang diganti dengan
Al-khabar atau Al-atsar. Secara etimologis hadist berarti baru, lawan dari
dekat atau baru terjadi, perkataan, cerita atau berita.
Sedangkan secara terminologi, Hadist
dapat diartikan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, dan pernyataan(taqrir), ahli hadist dan ahli ushul
berbeda pendapat dalam memberiakan pengertian hadist. Dikalanagn ulama hadist
sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan,
taqrir(ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Masuk kedalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam
kitab-kitab tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut
paut denagn itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdsarkan definisi
tersebut, maka bentuk-bentuk hadist dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Sabda
2. Perbuatan
3. Taqrir
4. Hal
ikhwal nabi Muhammad
Kalangan
ulama ushul mendefinisikan hadist sebagai segala perkataan, perbuatan, dan
taqrir Nabi saw. Yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk
dalam kategori hadist sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti
urusan pakaian.
Hadist
menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu
ucapan, perbuatan, atau pengakuan(taqrir). Berikut ini adalah penjelasan
mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
1. Hadist
Qauliyah(ucapan) yaitu hadist Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai
tujuan dan persuaian(situasi).
2. Hadist
Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan
melakukan shalatl lima waktu denag tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan
menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan
sumpah dari pihak penuduh.
3. Hadist
Taqririyah yaitu perbuatan sebagai para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh
Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar
itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik
terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila
seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan
Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan
mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu
merupakan pengakuan dari Nabi.
Keadaan diamnya Nabi itu dilakukan pada dua bentuk :
1) Nabi
mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal
ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan
perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini
tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnya Nabi
dalam hal ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2) Nabi
belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan
keberatan untuk diperbuat. Karena seandainnya perbuatan itu dilarang, tetapi
Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat
kesaahan; sedangkan Nabi terhindar bersifat dari kesalahan.
B.
Tingkat
Kesahihan Hadist
Ulama hadist dalam menetapkan dapat
diterimanya suatu hadist tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan
rawi hadist saja. Hal ini, disebabkan karena hadist sampai kepada kita melalui
mata rantai yang teruntai dalam sanadnya. Oleh karena itu, haruslah
terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadist
disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan
dalam syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat
dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadist yang dapat diterima dan mana
hadist yang harus ditolak.
Pada umumnya para pakar hadist
mengklasifikasikan hadist kedalam tiga bentuk, yaitu :shahih, hasan , dan
dha’if. Adapun hadist maudhu’ tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena
pada dasarnya itu bukan hadist. Penyebutannya sebagai hadist hanya dikatakan
oleh orang yang suka membuatnya. Dalam menetapkan kriteria kesahihan hadist,
terjadi perbedaan pendapat dikalangan Muhaditsin. Meskipun demikian, kriteria
kesahihan hadist yang banyak menyebutkan lima kriteria keotentikan hadist,
yaitu:
1. Sanadnya
bersambung
Kata
ittishal berarti bersambung atau berhubunagan. Sanadnya bersambung artinya
setiap rawi hadist yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang
pertama. Dengan demikian menurut Al-suyuti, hadist munqati, mu’dhal, mu’allaq,
mudallas tidak termasuk kategori hadist shahih karena sanadnya tidak
bersambung. Menurut Ibnu al-shalah, hadist muttasil meliputi hadist marfu’ dan
hadist mauquf. Sedangkan hadist musnad adalah hadist yang khusus disandarkan
kepada rasulullah Saw. Denagan demikian, ulama hadist umumnya berpendapat bahwa
hadist musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadist muttashil
tidak mesti bersambung sanadnya.
Sanad
suatu hadist dianggap tidak bersambung apabila terputus salah seorang atau
lebih dari rangkaian para perawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu
adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadist yang bersangkutan tidak
shahih.
2. Rawinya
‘adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu
bagi diterimanya suatu riwayatnya, karena keadilan itu merupakan suatu sifat
yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat,
dusta dan lain-lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.
Dengan persyaratan ini, maka defenisi
diatas tidak mencakup hadist maudhu’ dan hadist-hadist dha’if yang disebabkan
rawinya dituduh fasik, rusak muru’ahnya dan sebainya.
Secara bahasa kata ‘adl berasal dari ‘adala
ya’dilu, ‘adalat, yang berarti condong, lurus lawan dari dzalim dan
pertengahan. Kata ‘adl ini kemudian
digunakan oleh muhadittisin sebagai
sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima.
Manurut Muhammad ‘Ajjaj al-kitab, ‘adalat
merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya
untuk senantiasa beryaqwa, menjaga muru’ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak
melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru’ah
seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.
3. Rawinya
bersifat dhabit
Dhabit
artinya cermat dan kuat hapalannya. Sedangkan yang dimaksud dengan rawi yang
kuat hafalannya, tidak menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia
terima. Dari sudut kuatnya hafalan rawi, ke-dhabitan in terbagi menjadi dua
macam, yaitu:
1)
Dhabit shadari atau dhabih al-fu’ad,
Dhabt al-Shadr artinya
kemampuan untuk memelihara hadist dalam hafalan sehingga apa yang ia sampaikan
sama dengan apa yang ia terima dari gurunya.
2)
kedua dhabath al-kitab.
Sedangkan
dhabth al-kitab adalah terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan
yang dimilikinya.
Yang dimaksud dhabit adalah bahwa rawi
hadist yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan baik, baik hapalannya
kuat maupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya.
4. Tidak
terdapat kejanggalan atau syadz
Mengenai
hadist yang syadz, al-Syafi’i dan ulama Hijaz berpendapat bahwa suatu hadist
dipandang syadz jika ia diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat namun
bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh orangtsiqat yang banyak,
sementara itu tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya.
Sebenarnya
kerancuan hadist itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya,
karena para muhadditsin menganggap
bahwa kedhabitan telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan
sejumlah hadist yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurang pastian dalam
salah satu hadistnya, tanpa harus kehilangan predikat kedhabitannya sehubungan
dengan hadist-hadistnya yang lain. Kekurang pastian tersebut hanya mengurangi
kashahian hadist yang dicurigai saja.
5. Tidak
terdapat cacat (‘illat)
Menurut
Ibn Shalah, ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadist.
Keberadaannya menyebabkan hadist yang pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak
shahih. Hadist yang mengandung unsur ‘illat tersebut disebut dengan hadist mu’allal dan ma’lul. Dikatakan tidak ada cacat-cacat keshahihannya. Yakni hadist
itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak
bahwa hadist itu tidak menunjukkan adanya cacat-cacat tersebut. Dan hadist yang
mengandung cacat itu bukan hadist shahih. Sebagian ulama yang menyebutkan
‘illat dan syaadz ada pada sanad.
C.
Model-Model
Penelitian Hadist
Secara
historis, sesungguhnya penelitian hadist dalam arti upaya untuk membedakan
antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih
hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Pada masa ini masih dalam bentuk
konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar dari
beliau, tetapi dari sahabat lain yang mendengarkannya.Mereka kemudian pergi
menemui rasulullah apakah sesuatu dikatakan benar- benar oleh beliau. Dengan
demikian, para sahabat dapat secara
langsung mengetahui palid dan tidaknya hadis yang mereka terima.
Praktik
penelitian hadis dengan pola konfirmasitersebut berhenti dengan wafatnya
Rasulullah, namun bukan berarti kritik atau penelitian hadis telah kehilangan
urgensinya. Pada periode selanjutnya, penelitan hadis lebih bersifat
komfaratif, yakni tidak hanya mengandalakan kekuatan hafalan belaka
namun juga dilakukan perbadingan pada data tertulis yang ada.
Pada masa selanjutnya,yakni permulaan abad kedua hijriyah, timbul pemikiran haliifah
Umar bin Abdul Aziz al Amawi untuk meneliti hadis dan pengumpulannya. Untuk
iitu , halifah menyurati amil atau gubernurnya dan meminta mereka untuk meneliti dan mengumplkan hadis karena khawatir akan perkembagan ilmu-ilmu keagamaan
serta ulama-ulama habis meninggal dunia.
Sehingga para perawi hadis mulai menyusun
hadis-hadis yang diriwayatkan menurut babnya dan pembukuannya. Pembuuan yang
terjadi sekitar tahun 145 H ini masih bercampur dengan ucapan-ucapan sahabat
dan tabi’in.
Dalam periode selanjutnyatimbullah usaha untuk
membersihkan hadis –hadis nabi sehingga tidak bercampur dengan ucapan – ucapan
sahabat dan tabi;in. Kitab yang tersusun terkenal dengan nama musnad, diantaranya
yang sampai kepada kita ialah musnad imam ahamad bin Hanbal. Kitab tersebut
disusun musnad karaena didalamnya dikumpulkan menurut sanadnya, tanpa
menghiraukan persoalan yang diterangakan dalam hadis tersebut. Misalnya dikumpulkkan hadis –hadis yang
diriwayakan oleh Abu Bakar, Umar , ‘Aisyah dan lain-lain.
Kemudian
diteruskan dengan periode penyaringan, artinya meneliti mana hadis yang shaih
dan mana pula yang dhoif. Orang yang
berdiri dibarisan paling depan dalam
usaha ini adalah Imam Bukhari dengan kitab hadisnya shahih Bukhari dan Imam
Muslim dengan kitab hadisnya Shahih Muslim. Keduanya menjadi pedoman dan
pandangan yang kemuudian diikuti oleh Abu Daud dan kitab Sunan Abu Daud, Ibnu majah denagn kitab Sunan Ibnu
Majah, Al- tirmizi dengan kitab Sunan al- tirmizi, Al- Nasa’i dengan kitab Sunan Al- nasa’i. Kitab – kitab
mereka ini dikenal dengan kutub al- sittah dan bersama dengan Musnad Imam Ahmad
bin Hanbal terkenal dengan kutub al- sab’ah. Tetapi masih banyak
lagi ulama lain yang meneliti dan menghasilkan kitab hadis meskipun tidak
mencapai derajat yang tinggi dikalangan
umat islam.
Persoalan
yang muncul kemudiian adalah apakah otensitas hadis secara historis dan ilmiah
dapat dibuktikan serta bagaiman cara yang harus ditempuh. Sehingga kemudian
para hadis tertantang untuk menciptakan ilmu penelitian atau kritik hadis, baik
kritik ekstren ( al naql al khariji) yang menyangkut sanad hadis, maupun intern (al naqd
al dakhili) yang menyangkut matan hadist.
Kata
“metode” berasal dari bahasa yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.
Dalam bahasa inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa arab
menerjemahkan dengan tarigat dan manhaj.
Dalam bahasa indonesia, kata tersebut mengandung arti : caara teratur yang
digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan atau kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Sedangkan metodologi berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti cara atau
jalan, logos artinya ilmu.
Kata metodologi dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu
tentang metode uraian tentang metode.
Metode
berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar
tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, atau cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan mecapai tujuan yang ditentukan.
Kata
penelitian yang berasal dari teliti yang artinya cermat, seksama, hati-hati,
memiliki kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang
dilakukan secara sistemaatis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau
menguji suatu hipotesis untuk
mengembangkann prinsip-prinsip umum. Sedangkan Moh. Nazir mengugkapkan bahwa penelitian adalah terjemahan dari kata inggris research. Penelitian merupakan suatu
metode untuk menemukan kebenaran,
sehingga penelitian juga merupakan metode berfikir kritis. Shingga metode
penelitian hadis apat diartikann sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis
data yang dilakukan secara sistematis
dan objektif terhadap hadis sebagai
sumber hukum islam uuntuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat
memahami hadist dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadist tersebut.
Untuk
menuju pada penelitian hadist dengan obyek kajian diatas, terdapat beberapa
metode yang digunakan sebagai berikut:
1. Metode
Komperatif
Metode
komperatif atau metode perbandingan atau pertanyaan silang atau rujuk (cross reference), dilakukan dengan
mengumpulkan semua bahan yang berkaitan, atau katakanlah, semua hadist yang
berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain, orang menilai
keakuratan para ulama. Menurut Ibn al Mubarak (118-181 H), sebagaimana dikutip
Muhammad Mustafa Azami berkata : “ Untuk mencapai pernyataan yang otentik,
orang perlu membandingkan kata-kata para ulama satu dengan yang lain”.
Metode
perbandingan dipraktekkan dengan banyak cara. Berikut ini adalah sebagian dari
cara-cara tersebut:
1) Memperbandingkan
hadist-hadist dari berbagai murid seorang syekh (guru).
2) Memperbandingkan
pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang
berlainan.
3) Memperbandingkan
pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
4) Memperbandingkan
hadist-hadist dengan ayat al-qur’an yang berkaitan.
2. Metode
Rasional
Metode
rasional merupakan metode yang menggunakan penalaran. Nalarditerapkan dalam
kritik hadis pada setiap tahapan, yakni dalam pengkajian hadis, pengajaran
hadis, dalam meniali para perawi, dan dalam menilai keotentikan hadis. Tetapi
secara ketat, terdapat batas- batas tertentu disini dalam mengggunakan
penalaran. Kemampuan penalaran hanya sedikit membantu dalam menerima atau
menolak hadis dari Nabi.
Sebagai contoh, dalam
kotab-kitab hadis kita menemukan bahwa Nabi biasa tidur dengan berbaring pada
lambungg kanan beliau, dan sebelum pergi tidur baliauu biasa membaca do’a
tertentu. Sesudah bangun, beliau juga membaca do’a tertuntu. Beliau biasa minum
dengan tiga kali nafas dan menggunakann tangan kanannya dalam memegangg cangkir
dan sebagainya. Secara rasional, orag bisa saja tidur dengan terlentang,
berbaring pada lambuung kanan atau
lambung kirinya. Semua posisi tidur adalah mungkin. Kita tidak bisa mengatakan
bahwa posisi tertentu mungkin dan posisi lain tidak.
Dalam
kasus ini akal tidak bisa membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran .
Kebenarann hanya bisa diputuskan melalui saksi-saksi dan perawi-perawi yang
terpercaya. Dengan demikian, penalaran
sendiri membawa kita untuk menerima pernyataan dari perawi-perawi yang juju dan
terpercaya, kecuali dalam kasus-kasus dimana kita menemukan bahwa kejadian yang
bersangkutan bertentangan dengan akal (penalaran).
Dari
segi datangnya hadist tidak seluruhnya diyakini derasal dari Nabi, melainkan
ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini disebabkan sifat dan lafadz-lafadz
hadist yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap
penulisan hadist pada zaman Rasulullah agak kurang. Bahkan beliau pernah
melarangnya, dan juga karena sebab-sebab politis lainnya. Keadaan inilah yang
menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segenap
tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadist dan hasil
penelitiannya itu dibukukan dalam kitabnya Sahih Bukhari (810-870) dan Sahih
Muslim (820-875).
3. Model Quraisb Shihab
Bahan-bahan
penelitian yang digunakan adalah bahan perpustakaan, yaitu sejumlah buku yang
ditulis para pakar dibidang hadist dan al-qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya
adalah diskriptif analitis. Hasil penelitian Quraisb Shihab tentang fungsi
hadist terhadap al-qur’an, menyatakan bahwa al-qur’an menekankan Rasullah SAW
berfungsi menjelaskan firman-firman Allah. Penjelasan tersebut dalam pandangan
sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk, sifat dan fungsinya. Fungsi pertama
hadist adalah sekedar menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat
dalam al-qur’an.
Fungsi
yang kedua adalah memperjelas, merinci, membatasi, pengertian lahir dari
ayat-ayatbal-qur’an. Yaitu memberikan perincian dan penafsiran atyat-ayat al
yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat al-qur’an yang masih mitlaq dan
memberikan takshish pada ayat-ayat al-qur’an yang masih umum. Selain itu hadist
dapat mengambil peran menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati dalam
al-qur’an.
4. Model
Musthafa Al-Siba’iy
Penelitian
yang dilakukan Musthafa al-Siba’iy dalam bukunya bercorak exploratif dengan
menggunakan pendekatan historis dan disajikan deskriptif analitis.yakni dalam
sistem penyajiannya menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam
sejarah. Hasil yang dilakukan penelitian antara lain, mengenai sejarah proses
terjadi dan tersebarnya hadist mulai dari Rasullah SAW sampai terjadinya upaya
pemalsuan hadist dan usaha para ulama untuk membendungnya dengan melakukan
pencatatan sunnah, dibukukannya ilmu Musthafa al-Hadist, Ilmu Jarh dan
al-Ta’dil, kitab-kitab tentang hadist-hadist palsu dan para pemalsu dan
penyebarannya.
Selanjutnya
Al-Siba’iy juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum khawarij,
syi’ah, mu’tazilah dan mutakalimin, para penulis modern dan kaum muslimin pada
umumnya terhadap as-sunnah. Dilanjutkan dengan laporan sejumlah kelompok dimasa
sekarang yang mengingkari kahujahan al-sunnah disertai pembelaannya.
Dengan melihat hasil
penelitian yang dikemukakan, al-Siba’iy tampak tidak netral. Ia berupaya
mengumpulkan bahan-bahan kajian sebanyak mungkin yang selanjutnya diarahkan
untuk pelakukan pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia
menyajikan atas apa adanya sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.
5. Model
Muhammad Al-Ghozali
Dalam
bukunya yang berjudul al-sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-fiqh wa Ahl
al-hadist, penelitian yang dilakukan oleh al-Ghozali termasuk penelitian
eksploratif. Didalamnya membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya
berbagai persoalan aktual yang muncul dimasyarakat untuk kemudian diberikan
status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadist tersebut. Corak
penelitiannya masih bersifat diskriptif analitis. Yakni
mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya
dengan menggunakan pendekatan fiqih, sehingga rekesan ada misi pembelaan dan
pemurnian ajaran islam dari berbagai paham yang anggapnya tidak sejalan dengan
al-qur’an dan al-sunnah yang mutawatir.
Berbagai
masalah yang ditentukan didalamnya didominasi oleh masalah-masalah fikih yang
aktual. Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan teologi hanya
disinggung secara sepintas saja.
6. Model
Zain al-Din’Abd al-Raim bin Al-Husain Al-Iraqiy
Bukunya
yang berjudul al-Taqyid wa Idlah Syarh Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk
kitab ilmu hadist tertua yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak
dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadist generasi berikutnya.
Sebelum
zaman al-iraqiy belum ada hasil penelitian hadist, maka nampak ia berusaha
membangun ilmu hadist dengan menggunakan bahan-bahan hadist nabi setta pendapat
para ulama yang dijumpai dalam kitab tersebut. Jadi penelitian ini adalah
penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang digunakan untuk
membangun sebuah ilmu. Buku ini adalah buku pertama yang mengemukakan
macam-macam hadist yang didasarkan pada kualitas sanad dan matanny, yaitu ada
hadist yang tergolong shahi,hasan, dan dhaif. Kemudian dilihat pula dari
keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadist musnad,
muttasil, mrful, mauquf, mursal, al-munaqatil. Selanjutnya dilihat pula dari
kualitas matannya yang dibagi menjadi syadz dan munkar.
7. Model
penelitian lainnya
Terdapat
model penelitian hadist yang diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja.
Misalnya, Rif’ at Fauzi Abd al-muthalib pada tahun 1981, meneliti tentang
perkembangan al-sunnah pada abad ke-2 H lalu mahmud abu Rayyah melalui telah
kritis atau sejumlah hadist nabi. Mahmud al-Thahhan khusus meneliti cara
menyeleksi hadist serta penentuan sanad.
Berdasarkan
pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadist tumbuh menjadi
salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadist tampak masih terbuka luas
terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian
terhadap kualitas hadist yang dipakai dalam berbagai kitab belum banyak
dilakukan. Misalnya pendekatan sosiologi, pedagogis, antropologi, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Dengan demikian hal ininmenunjukkan bahwa pemahaman
masyarakan terhadap hadist pada umumnya masih bersifat persial.
Penulis
mesir ahmad amin (w.1373-1954) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan para
ahli hadist lebih memfokuskan pada sanad dibanding matan. Abu Rayyah lebih jauh
mengatakan bahwa ahli hadist hanya memperhatikan aspek kesinambungan jalur
periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya mengabaikan esensi
kandungan hadist, dan bahkan mereka gagal menangkap bukti-bukti sejarah.
Pendapat ibnu khaldun, ahmad amin dan Abu Rayyah kini dibantah oleh musthafa
as-siba’i, muhammad abu syuhba dan Nur ad Din’Itr. Mereka berpendapat bahwa
ulama hadist sama sekali tidak mengabaikan matan, hal ini dapat dilihat dari
kriteria-kriteria hadist shahi yang mereka buat. Salah satu kriterianya
mengatakan bahwa sebuah hadist jika dianggap shahi apabila sanad dan matannya
tidak syadz dan bebas dari cacat atau ‘illat (hal-hal yang dapat merusak
keshahian hadist).
Dalam
penelitian hadist (naqd al-hadist) klasik, model penelitian diarahklan kepada
dua segi: sanad dan matan. Dalam penelitian sanad, model yang ditempuh adalah
dengan melakukan langkah-langkah berikut ini:
1) Melakukan
At-Takhrij
Takhrij
adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang
asli, yakni berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan hadist tersebut secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan kritik sanad,
dijelaskan kualitas sanad dan para periwayat dari hadist yang bersangkutan.
2) Melakukan
al-I’tibar
Al-I’tibar
berarti menyertakan sanad-sanad untuk hadist tertentu, yang hadist itu pada
bagian sanadnya tanpa hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadist
dimaksud.
Dengan
melakukan i’tibar, diharapkan dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad
yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan
yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan
al i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadist seluruhnya dilihat dari
ada atau tidaknya pendukung (corroboration) berupa periwayatan yang berstatus
muttabi’ atau syahid.
3) Mengkritisi
pribadi periwayat serta metode periwayatannya
Ulama
hadist sependapat bahwa ada dua hal yang harus dikritiki pada diri pribadi
periwayat hadist untuk diketahui apakah riwayat hadist yang dikemukakannya
dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah
keadilan dan kedhabitannya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi,
sedangkan kedhabitannya, berhubungan dengan kpasitas intelektualnya. Jika kedua
hal itu dimiliki oleh periwayat hadist, maka periwayat tersebut dinyatakan
bersifat tsiqah.
Terkait
dengan pelacakan terhadap kebersambungan sanad, hubungan kualitas periwayat dan
metode periwayatan sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang
mengatakan telah menerima riwayat dengan metode sami’na, misalnya, meski metode
itu diakui ulama hadist memilki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang
menyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah, maka informasi yang
dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya.
Sebaliknya, apabila
yang menyatakan sami’na adalah orang tsiqah, maka informasinya dapat dipercaya.
Selain itu, ada
periwayat yang dinilai tsiqah oleh ulama ahli kritik hadist, nama dengan syarat
bila dia menggunakan lambang periwayatan haddatsani atau sami’tu, sanadnya
bersambung. Tetapi, bila menggunakan selain dua lambang tersebut, sanadnya
terdapat tadlils( penyembunyian cacat).
4) Meneliti
syudzudz dan ‘illat
Salah
satu langkah kritik sanad yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya
syudzudz dalam sanad adalah dengan melakukan studi kompratif terhadap seluruh
sanad yang ada untuk satu matan yang sama.
Sedangkan cara
mengkritisi kemungkinan terjadinya ‘illat yaitu dengan membanding-bandingkan
semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.
Hadist yang mengandung
syudzudz ( ke-syadz-an), oleh ulama disebut sebagai hadist syadz, sedangkan
lawan dari hadist syadz disebut hadist mahfuzh.
5) Menyimpulkan
hasil studi kritik sanad
Dalam
menyampaikan kesimpulan ( natijah) harus disertakan pula argumen-argumen yang
jelas. Argumen-argumen ini dapat disampaikan sebelum ataupu sesudah rumusan
natijah dikemukakan.
Isi
natijah untuk hadist yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa
pernyataan bahwa hadist yang bersangkutan berstatus mutawatir dan jika tidak
demikian, maka hadist tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil penelitian
hadist ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadist yang
bersangkutan berkualitas shahi atau hasan atau daif sesuai dengan apa yang
diteliti. Jika diperlukan, pernyataan kualitas tersebut disertai dengan
macamnya, misalnya dengan mengemukakan bahwa hadist yang dikritisi berkualitas
shahih lighayrihi atau hasan ghayrihi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Metode
penelitian hadist terdapat pada posisi urgen dan mempunyai tujuan yang sangat
besar terhadap perkembangan sumber islam kedua tersebut. Metode penelitian
hadist dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang
dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadist sebagai sumber hukum
islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadist
dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadist tersebut.
Objek
penelitian hadist ada dua yaitu sanad dan matan. Sanad berfungsi membuktikan proses
kesejarahan terjadinya hadist, sedangkan matan mempresentasikan konsep ajaran
yang terbalik dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada sumbernya.
Kegunaan dan tujuan dari keilmuan ini sngatlah banyak, sehingga setiap ulama
berpendapat berbeda dengan porsi masing-masing yang mereka punya. Yang jelas,
pada dasarnya penelitian hadist berfungsi untuk menjaga keautentikan hadist dan
kemurnian kandungannya. Karena betapapun hadist menjadi sandaran perjalanan
hidup manusia dan sumber hukum islam yang qath’i.
DAFTAR PUSTAKA
Bustamin,
Metodologi Kritik Hadist. Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2004.
Soebahar,
Ervan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah.
Jakarta, Prenada Media, 2003.
Farida,
Umma, Metodologi Penelitian Hadist. 2010.
Kudus: Nora Media Enterpise.
Idris,
Studi Hadist, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2010.
Ismail,
M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Hadist,
Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2005.
Ismail,
M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadist
Nabi, Jakarat: PT. Bulan Bintang. 2007.
Kamaruddin,
Amin, Metode Kritik Hadist, Jakarta:
Mizan Publika. 2009.
At
tahan, Mahmud, Metode Takhrij Penelitian
Sanad Hadist, Surabaya. Bina Ilmu. 1995.
‘Itr,
Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum
al-Hadist, ter. Mujiyo, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1994.
Sahrani,
Ohari, Ulumul Hadist, Bogor, Ghalia Indonesia. 2010.
Suryadi,
Metodologi Penelitian Hadist,
Yogyakarta: TH Press UIN Suanan Kalijaga, 2009.
Zuhri,
Muhammad, Telaah Matan Hadist,
Jakarta: LESFI. 2003.
Komentar
Posting Komentar