MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH MODEL PENELITIAN HADIST



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadist atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran islam yang berisi pernayataan, pengalaman, pengakuan, dan hal ihwal Nabi SAW yang beredar pada masa nabi Muhammad SAW hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-quran dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagaman. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW dan pengikut jejaknya, menggunakan hadist sebagai hujjah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya.
Namun, keadaan hadist Nabi Muhammad SAW dalam kesepakatan tersebut, tidaklah demikian keadannya pasca Nabi Muhammad SAW. Hadist pasca Nabi Muhammad SAW telah berada dalam suatu kondisi yang mulai tidak seimbang denagn posisi Al-quran, karena ia telah berada di tengah-tengah banyak faktor misalnya dalam periwatannya selain berlangsung secara lafal juga berlangsung secara makan, banyak pemalsuan hadist dan hadist merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-quran yang dibukukan dengan memakan waktu jauh lebih lama dari pembukuan Al-quran. Dari banyak faktor diatas, maka kondisi hadist pasca Nabi Muhammad SAW sudah tidak seperti masa Nabi SAW, dan memiliki banyak peluang untuk diadakan penelitian dan pengkajian dalam banyak persoalan.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadist
Al-Hadist dapat menjadi sumber ajaran Islam yang lain disamping Al-quran, sehingga kedudukan Hadist menjadi penting. Hadist kadang-kadang disebut juga Al-Sunnah dan keduanya dipergunakan saling bergantian untuk maksud yang sama. Bahakan ini kadang-kadang diganti dengan Al-khabar atau Al-atsar. Secara etimologis hadist berarti baru, lawan dari dekat atau baru terjadi, perkataan, cerita atau berita.[1]
Sedangkan secara terminologi, Hadist dapat diartikan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan pernyataan(taqrir), ahli hadist dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberiakan pengertian hadist. Dikalanagn ulama hadist sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir(ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Masuk kedalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kitab tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut denagn itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdsarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk hadist dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      Sabda
2.      Perbuatan
3.      Taqrir
4.      Hal ikhwal nabi Muhammad
Kalangan ulama ushul mendefinisikan hadist sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. Yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadist sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.[2]
Hadist menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan(taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
1.      Hadist Qauliyah(ucapan) yaitu hadist Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian(situasi).
2.      Hadist Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalatl lima waktu denag tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
3.      Hadist Taqririyah yaitu perbuatan sebagai para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi.[3] Keadaan diamnya Nabi itu dilakukan pada dua bentuk :[4]
1)      Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2)      Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainnya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan; sedangkan Nabi terhindar bersifat dari kesalahan.
B.     Tingkat Kesahihan Hadist
Ulama hadist dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadist tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadist saja. Hal ini, disebabkan karena hadist sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanadnya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadist disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dalam syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadist yang dapat diterima dan mana hadist yang harus ditolak.
Pada umumnya para pakar hadist mengklasifikasikan hadist kedalam tiga bentuk, yaitu :shahih, hasan , dan dha’if. Adapun hadist maudhu’ tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadist. Penyebutannya sebagai hadist hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya. Dalam menetapkan kriteria kesahihan hadist, terjadi perbedaan pendapat dikalangan Muhaditsin. Meskipun demikian, kriteria kesahihan hadist yang banyak menyebutkan lima kriteria keotentikan hadist, yaitu:
1.      Sanadnya bersambung
Kata ittishal berarti bersambung atau berhubunagan. Sanadnya bersambung artinya setiap rawi hadist yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang pertama. Dengan demikian menurut Al-suyuti, hadist munqati, mu’dhal, mu’allaq, mudallas tidak termasuk kategori hadist shahih karena sanadnya tidak bersambung. Menurut Ibnu al-shalah, hadist muttasil meliputi hadist marfu’ dan hadist mauquf. Sedangkan hadist musnad adalah hadist yang khusus disandarkan kepada rasulullah Saw. Denagan demikian, ulama hadist umumnya berpendapat bahwa hadist musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadist muttashil tidak mesti bersambung sanadnya.[5]
Sanad suatu hadist dianggap tidak bersambung apabila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadist yang bersangkutan tidak shahih.[6]
2.      Rawinya ‘adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayatnya, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta dan lain-lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.[7]
Dengan persyaratan ini, maka defenisi diatas tidak mencakup hadist maudhu’ dan hadist-hadist dha’if yang disebabkan rawinya dituduh fasik, rusak muru’ahnya dan sebainya.
Secara bahasa kata ‘adl berasal dari ‘adala ya’dilu, ‘adalat, yang berarti condong, lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata ‘adl ini kemudian digunakan oleh muhadittisin sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima. Manurut Muhammad ‘Ajjaj al-kitab, ‘adalat merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa beryaqwa, menjaga muru’ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru’ah seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.
3.      Rawinya bersifat dhabit
Dhabit artinya cermat dan kuat hapalannya. Sedangkan yang dimaksud dengan rawi yang kuat hafalannya, tidak menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima. Dari sudut kuatnya hafalan rawi, ke-dhabitan in terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)        Dhabit shadari atau dhabih al-fu’ad,
Dhabt al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara hadist dalam hafalan sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari gurunya.
2)        kedua dhabath al-kitab.
Sedangkan dhabth al-kitab adalah terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya.
Yang dimaksud dhabit adalah bahwa rawi hadist yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan baik, baik hapalannya kuat maupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
4.      Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
Mengenai hadist yang syadz, al-Syafi’i dan ulama Hijaz berpendapat bahwa suatu hadist dipandang syadz jika ia diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat namun bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh orangtsiqat yang banyak, sementara itu tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya.
Sebenarnya kerancuan hadist itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena para muhadditsin menganggap bahwa kedhabitan telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadist yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurang pastian dalam salah satu hadistnya, tanpa harus kehilangan predikat kedhabitannya sehubungan dengan hadist-hadistnya yang lain. Kekurang pastian tersebut hanya mengurangi kashahian hadist yang dicurigai saja.
5.      Tidak terdapat cacat (‘illat)
Menurut Ibn Shalah, ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadist. Keberadaannya menyebabkan hadist yang pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak shahih. Hadist yang mengandung unsur ‘illat tersebut disebut dengan hadist mu’allal dan ma’lul. Dikatakan tidak ada cacat-cacat keshahihannya. Yakni hadist itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadist itu tidak menunjukkan adanya cacat-cacat tersebut. Dan hadist yang mengandung cacat itu bukan hadist shahih. Sebagian ulama yang menyebutkan ‘illat dan syaadz ada pada sanad.[8]

C.    Model-Model Penelitian Hadist
Secara historis, sesungguhnya penelitian hadist dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Pada masa ini masih dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar dari beliau, tetapi dari sahabat lain yang mendengarkannya.Mereka kemudian pergi menemui rasulullah apakah sesuatu dikatakan benar- benar oleh beliau. Dengan demikian, para sahabat  dapat secara langsung mengetahui palid dan tidaknya hadis yang mereka terima.
Praktik penelitian hadis dengan pola konfirmasitersebut berhenti dengan wafatnya Rasulullah, namun bukan berarti kritik atau penelitian hadis telah kehilangan urgensinya. Pada periode selanjutnya, penelitan hadis lebih bersifat komfaratif, yakni  tidak  hanya mengandalakan kekuatan hafalan belaka namun juga dilakukan perbadingan pada data tertulis yang ada.[9]
Pada  masa selanjutnya,yakni permulaan abad  kedua hijriyah, timbul pemikiran haliifah Umar bin Abdul Aziz al Amawi untuk meneliti hadis dan pengumpulannya. Untuk iitu , halifah menyurati amil atau gubernurnya dan meminta  mereka untuk meneliti  dan mengumplkan hadis karena  khawatir akan perkembagan ilmu-ilmu keagamaan serta ulama-ulama habis meninggal  dunia. Sehingga para perawi hadis mulai  menyusun hadis-hadis yang diriwayatkan menurut babnya dan pembukuannya. Pembuuan yang terjadi sekitar tahun 145 H ini masih bercampur dengan ucapan-ucapan sahabat dan tabi’in.[10]
Dalam  periode selanjutnyatimbullah usaha untuk membersihkan hadis –hadis nabi sehingga tidak bercampur dengan ucapan – ucapan sahabat dan tabi;in. Kitab yang tersusun terkenal dengan nama musnad, diantaranya yang sampai kepada kita ialah musnad imam ahamad bin Hanbal. Kitab tersebut disusun musnad karaena didalamnya dikumpulkan menurut sanadnya, tanpa menghiraukan persoalan yang diterangakan dalam hadis tersebut.  Misalnya dikumpulkkan hadis –hadis yang diriwayakan oleh Abu Bakar, Umar , ‘Aisyah dan lain-lain.
Kemudian diteruskan dengan periode penyaringan, artinya meneliti mana hadis yang shaih dan mana pula  yang dhoif. Orang yang berdiri dibarisan paling depan  dalam usaha ini adalah Imam Bukhari dengan kitab hadisnya shahih Bukhari dan Imam Muslim dengan kitab hadisnya Shahih Muslim. Keduanya menjadi pedoman dan pandangan yang kemuudian diikuti oleh Abu Daud dan kitab Sunan  Abu Daud, Ibnu majah denagn kitab Sunan Ibnu Majah, Al- tirmizi dengan kitab Sunan al- tirmizi, Al- Nasa’i  dengan kitab Sunan Al- nasa’i. Kitab – kitab mereka ini dikenal dengan kutub al- sittah dan bersama dengan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal  terkenal  dengan kutub al- sab’ah. Tetapi masih banyak lagi ulama lain yang meneliti dan menghasilkan kitab hadis meskipun tidak mencapai derajat yang tinggi dikalangan  umat islam. 
Persoalan yang muncul kemudiian adalah apakah otensitas hadis secara historis dan ilmiah dapat dibuktikan serta bagaiman cara yang harus ditempuh. Sehingga kemudian para hadis tertantang untuk menciptakan ilmu penelitian atau kritik hadis, baik kritik  ekstren ( al naql al khariji) yang menyangkut sanad hadis, maupun intern  (al naqd al dakhili) yang menyangkut matan hadist.[11]
Kata “metode” berasal dari bahasa yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa arab menerjemahkan  dengan tarigat dan manhaj. Dalam bahasa indonesia, kata tersebut mengandung arti : caara teratur yang digunakan untuk  melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan atau kegiatan  guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan metodologi berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu.[12] Kata metodologi dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang metode uraian tentang metode.
Metode berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan mecapai tujuan yang ditentukan.
Kata penelitian yang berasal dari teliti yang artinya cermat, seksama, hati-hati, memiliki kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistemaatis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu  hipotesis untuk mengembangkann prinsip-prinsip umum. Sedangkan Moh. Nazir mengugkapkan bahwa  penelitian adalah terjemahan dari kata  inggris research. Penelitian merupakan suatu metode untuk  menemukan kebenaran, sehingga penelitian juga merupakan metode berfikir kritis. Shingga metode penelitian hadis apat diartikann sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan  secara sistematis dan objektif terhadap  hadis sebagai sumber hukum islam uuntuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadist dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadist tersebut.
Untuk menuju pada penelitian hadist dengan obyek kajian diatas, terdapat beberapa metode yang digunakan sebagai berikut: [13]
1.      Metode Komperatif
Metode komperatif atau metode perbandingan atau pertanyaan silang atau rujuk (cross reference), dilakukan dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan, atau katakanlah, semua hadist yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain, orang menilai keakuratan para ulama. Menurut Ibn al Mubarak (118-181 H), sebagaimana dikutip Muhammad Mustafa Azami berkata : “ Untuk mencapai pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan kata-kata para ulama satu dengan yang lain”.
Metode perbandingan dipraktekkan dengan banyak cara. Berikut ini adalah sebagian dari cara-cara tersebut:
1)      Memperbandingkan hadist-hadist dari berbagai murid seorang syekh (guru).
2)      Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan.
3)      Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
4)      Memperbandingkan hadist-hadist dengan ayat al-qur’an yang berkaitan.
2.      Metode Rasional
Metode rasional merupakan metode yang menggunakan penalaran. Nalarditerapkan dalam kritik hadis pada setiap tahapan, yakni dalam pengkajian hadis, pengajaran hadis, dalam meniali para perawi, dan dalam menilai keotentikan hadis. Tetapi secara ketat, terdapat batas- batas tertentu disini dalam mengggunakan penalaran. Kemampuan penalaran hanya sedikit membantu dalam menerima atau menolak hadis dari Nabi.
Sebagai contoh, dalam kotab-kitab hadis kita menemukan bahwa Nabi biasa tidur dengan berbaring pada lambungg kanan beliau, dan sebelum pergi tidur baliauu biasa membaca do’a tertentu. Sesudah bangun, beliau juga membaca do’a tertuntu. Beliau biasa minum dengan tiga kali nafas dan menggunakann tangan kanannya dalam memegangg cangkir dan sebagainya. Secara rasional, orag bisa saja tidur dengan terlentang, berbaring pada  lambuung kanan atau lambung kirinya. Semua posisi tidur adalah mungkin. Kita tidak bisa mengatakan bahwa posisi tertentu mungkin dan posisi lain tidak.
Dalam kasus ini akal tidak bisa membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran . Kebenarann hanya bisa diputuskan melalui saksi-saksi dan perawi-perawi yang terpercaya.  Dengan demikian, penalaran sendiri membawa kita untuk menerima pernyataan dari perawi-perawi yang juju dan terpercaya, kecuali dalam kasus-kasus dimana kita menemukan bahwa kejadian yang bersangkutan bertentangan dengan akal (penalaran).
Dari segi datangnya hadist tidak seluruhnya diyakini derasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini disebabkan sifat dan lafadz-lafadz hadist yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadist pada zaman Rasulullah agak kurang. Bahkan beliau pernah melarangnya, dan juga karena sebab-sebab politis lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadist dan hasil penelitiannya itu dibukukan dalam kitabnya Sahih Bukhari (810-870) dan Sahih Muslim (820-875).[14]
3.      Model Quraisb Shihab
Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah bahan perpustakaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar dibidang hadist dan al-qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah diskriptif analitis. Hasil penelitian Quraisb Shihab tentang fungsi hadist terhadap al-qur’an, menyatakan bahwa al-qur’an menekankan Rasullah SAW berfungsi menjelaskan firman-firman Allah. Penjelasan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk, sifat dan fungsinya. Fungsi pertama hadist adalah sekedar menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam al-qur’an.
Fungsi yang kedua adalah memperjelas, merinci, membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayatbal-qur’an. Yaitu memberikan perincian dan penafsiran atyat-ayat al yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat al-qur’an yang masih mitlaq dan memberikan takshish pada ayat-ayat al-qur’an yang masih umum. Selain itu hadist dapat mengambil peran menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati dalam al-qur’an.
4.      Model Musthafa Al-Siba’iy
Penelitian yang dilakukan Musthafa al-Siba’iy dalam bukunya bercorak exploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan deskriptif analitis.yakni dalam sistem penyajiannya menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Hasil yang dilakukan penelitian antara lain, mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadist mulai dari Rasullah SAW sampai terjadinya upaya pemalsuan hadist dan usaha para ulama untuk membendungnya dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukannya ilmu Musthafa al-Hadist, Ilmu Jarh dan al-Ta’dil, kitab-kitab tentang hadist-hadist palsu dan para pemalsu dan penyebarannya.[15]
Selanjutnya Al-Siba’iy juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum khawarij, syi’ah, mu’tazilah dan mutakalimin, para penulis modern dan kaum muslimin pada umumnya terhadap as-sunnah. Dilanjutkan dengan laporan sejumlah kelompok dimasa sekarang yang mengingkari kahujahan al-sunnah disertai pembelaannya.[16]
Dengan melihat hasil penelitian yang dikemukakan, al-Siba’iy tampak tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan bahan-bahan kajian sebanyak mungkin yang selanjutnya diarahkan untuk pelakukan pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia menyajikan atas apa adanya sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.
5.      Model Muhammad Al-Ghozali
Dalam bukunya yang berjudul al-sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-fiqh wa Ahl al-hadist, penelitian yang dilakukan oleh al-Ghozali termasuk penelitian eksploratif. Didalamnya membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul dimasyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadist tersebut. Corak penelitiannya masih bersifat diskriptif analitis. [17]Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan fiqih, sehingga rekesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran islam dari berbagai paham yang anggapnya tidak sejalan dengan al-qur’an dan al-sunnah yang mutawatir.[18]
Berbagai masalah yang ditentukan didalamnya didominasi oleh masalah-masalah fikih yang aktual. Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan teologi hanya disinggung secara sepintas saja.
6.      Model Zain al-Din’Abd al-Raim bin Al-Husain Al-Iraqiy
Bukunya yang berjudul al-Taqyid wa Idlah Syarh Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadist tertua yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadist generasi berikutnya. [19]
Sebelum zaman al-iraqiy belum ada hasil penelitian hadist, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadist dengan menggunakan bahan-bahan hadist nabi setta pendapat para ulama yang dijumpai dalam kitab tersebut. Jadi penelitian ini adalah penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang digunakan untuk membangun sebuah ilmu. Buku ini adalah buku pertama yang mengemukakan macam-macam hadist yang didasarkan pada kualitas sanad dan matanny, yaitu ada hadist yang tergolong shahi,hasan, dan dhaif. Kemudian dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadist musnad, muttasil, mrful, mauquf, mursal, al-munaqatil. Selanjutnya dilihat pula dari kualitas matannya yang dibagi menjadi syadz dan munkar. [20]
7.      Model penelitian lainnya
Terdapat model penelitian hadist yang diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif’ at Fauzi Abd al-muthalib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan al-sunnah pada abad ke-2 H lalu mahmud abu Rayyah melalui telah kritis atau sejumlah hadist nabi. Mahmud al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi hadist serta penentuan sanad.[21]
Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadist tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadist tampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadist yang dipakai dalam berbagai kitab belum banyak dilakukan. Misalnya pendekatan sosiologi, pedagogis, antropologi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dengan demikian hal ininmenunjukkan bahwa pemahaman masyarakan terhadap hadist pada umumnya masih bersifat persial. [22]
Penulis mesir ahmad amin (w.1373-1954) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan para ahli hadist lebih memfokuskan pada sanad dibanding matan. Abu Rayyah lebih jauh mengatakan bahwa ahli hadist hanya memperhatikan aspek kesinambungan jalur periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya mengabaikan esensi kandungan hadist, dan bahkan mereka gagal menangkap bukti-bukti sejarah. Pendapat ibnu khaldun, ahmad amin dan Abu Rayyah kini dibantah oleh musthafa as-siba’i, muhammad abu syuhba dan Nur ad Din’Itr. Mereka berpendapat bahwa ulama hadist sama sekali tidak mengabaikan matan, hal ini dapat dilihat dari kriteria-kriteria hadist shahi yang mereka buat. Salah satu kriterianya mengatakan bahwa sebuah hadist jika dianggap shahi apabila sanad dan matannya tidak syadz dan bebas dari cacat atau ‘illat (hal-hal yang dapat merusak keshahian hadist). [23]
Dalam penelitian hadist (naqd al-hadist) klasik, model penelitian diarahklan kepada dua segi: sanad dan matan. Dalam penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan melakukan langkah-langkah berikut ini:
1)      Melakukan At-Takhrij
Takhrij adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan hadist tersebut secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan kritik sanad, dijelaskan kualitas sanad dan para periwayat dari hadist yang bersangkutan.[24]
2)      Melakukan al-I’tibar
Al-I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad untuk hadist tertentu, yang hadist itu pada bagian sanadnya tanpa hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadist dimaksud.
Dengan melakukan i’tibar, diharapkan dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadist seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung (corroboration) berupa periwayatan yang berstatus muttabi’ atau syahid.
3)      Mengkritisi pribadi periwayat serta metode periwayatannya
Ulama hadist sependapat bahwa ada dua hal yang harus dikritiki pada diri pribadi periwayat hadist untuk diketahui apakah riwayat hadist yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah keadilan dan kedhabitannya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedangkan kedhabitannya, berhubungan dengan kpasitas intelektualnya. Jika kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadist, maka periwayat tersebut dinyatakan bersifat tsiqah.
Terkait dengan pelacakan terhadap kebersambungan sanad, hubungan kualitas periwayat dan metode periwayatan sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang mengatakan telah menerima riwayat dengan metode sami’na, misalnya, meski metode itu diakui ulama hadist memilki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang menyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah, maka informasi yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya. [25]
Sebaliknya, apabila yang menyatakan sami’na adalah orang tsiqah, maka informasinya dapat dipercaya.
Selain itu, ada periwayat yang dinilai tsiqah oleh ulama ahli kritik hadist, nama dengan syarat bila dia menggunakan lambang periwayatan haddatsani atau sami’tu, sanadnya bersambung. Tetapi, bila menggunakan selain dua lambang tersebut, sanadnya terdapat tadlils( penyembunyian cacat).
4)      Meneliti syudzudz dan ‘illat
Salah satu langkah kritik sanad yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya syudzudz dalam sanad adalah dengan melakukan studi kompratif terhadap seluruh sanad yang ada untuk satu matan yang sama.
Sedangkan cara mengkritisi kemungkinan terjadinya ‘illat yaitu dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.
Hadist yang mengandung syudzudz ( ke-syadz-an), oleh ulama disebut sebagai hadist syadz, sedangkan lawan dari hadist syadz disebut hadist mahfuzh.
5)      Menyimpulkan hasil studi kritik sanad
Dalam menyampaikan kesimpulan ( natijah) harus disertakan pula argumen-argumen yang jelas. Argumen-argumen ini dapat disampaikan sebelum ataupu sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadist yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadist yang bersangkutan berstatus mutawatir dan jika tidak demikian, maka hadist tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil penelitian hadist ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadist yang bersangkutan berkualitas shahi atau hasan atau daif sesuai dengan apa yang diteliti. Jika diperlukan, pernyataan kualitas tersebut disertai dengan macamnya, misalnya dengan mengemukakan bahwa hadist yang dikritisi berkualitas shahih lighayrihi atau hasan ghayrihi.



















                                      BAB III
                                    PENUTUP
A.    Kesimpulan
Metode penelitian hadist terdapat pada posisi urgen dan mempunyai tujuan yang sangat besar terhadap perkembangan sumber islam kedua tersebut. Metode penelitian hadist dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadist sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadist dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadist tersebut.
Objek penelitian hadist ada dua yaitu sanad dan matan. Sanad berfungsi membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadist, sedangkan matan mempresentasikan konsep ajaran yang terbalik dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada sumbernya. Kegunaan dan tujuan dari keilmuan ini sngatlah banyak, sehingga setiap ulama berpendapat berbeda dengan porsi masing-masing yang mereka punya. Yang jelas, pada dasarnya penelitian hadist berfungsi untuk menjaga keautentikan hadist dan kemurnian kandungannya. Karena betapapun hadist menjadi sandaran perjalanan hidup manusia dan sumber hukum islam yang qath’i.

















DAFTAR PUSTAKA
Bustamin, Metodologi Kritik Hadist. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.
Soebahar, Ervan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta, Prenada Media, 2003.
Farida, Umma, Metodologi Penelitian Hadist. 2010. Kudus: Nora Media Enterpise.
Idris, Studi Hadist, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Hadist, Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2005.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, Jakarat: PT. Bulan Bintang. 2007.
Kamaruddin, Amin, Metode Kritik Hadist, Jakarta: Mizan Publika. 2009.
At tahan, Mahmud, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadist, Surabaya. Bina Ilmu. 1995.
‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadist, ter. Mujiyo, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1994.
Sahrani, Ohari, Ulumul Hadist, Bogor, Ghalia Indonesia. 2010.
Suryadi, Metodologi Penelitian Hadist, Yogyakarta: TH Press UIN Suanan Kalijaga, 2009.
Zuhri, Muhammad, Telaah Matan Hadist, Jakarta: LESFI. 2003.


[1]  Ohari Sahrani, Ulumul Hadist, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2000) Cet I, h. 27
[2]  Umma Farida, Metodologi Penelitian Hadist, (Kudus, Nora Media Enterpise, 2010) hal. 1
[3]  Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadist, (Jakarta: LESFI 2003), h. 87
[4]  Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadist, terj. Mujiyo (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), 2
[5]  Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al- Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 174
[6]  Nuruddin ‘Itr, Manjah al-Naqs fi ‘Ulum al-Hadist, terj. Mujiyo (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), 2
[7]  Umma Farida, Metodologi Penelitian Hadist, (Kudus: Nora Media Enterpise, 2010). h. 1-2
[8]  A. Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadist, (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, 1982), h. 5
[9]  M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadist, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 5
[10]  Ibid, h. 6-7
[11]  Idris, Studi Hadist, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 276
[12]  M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2007), h. 11
[13]  Suryadi, Penelitian Hadist, (Yogyakarta: TH Press, 2009) h. 137
[14]  Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 174
[15]  Suryadi , Metodologi Penelitian Hadist, (Yogyakarta: TH Press, UIN Sunan Kalijaga, 2009), h. 10
[16]  Ibid, h. 11-12
[17]  Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadist, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), h. 6
[18]  Ibid, h. 7
[19]  Muhammad at Tahan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadist, (Syrabaya, Bina Ilmu, 1995), h. 7
[20]  Ibid, h.8
[21]  Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadist, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), h. 12
[22]  Ibid, h. 13-14
[23]  Muhammad at Tahan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadist, (Syrabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 20
[24]  Suryadi, Metodologi Penelitian Hadist, (Yogyakarta: TH Press, 2009), h. 34
[25]  M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadist, (Jakarta: PT. Bulan Bintang), h. 54-71

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL