MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH FILOSOF MUSLIM AL-KINDI


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Pendahuluan
Usaha penerjemahan naskah-naskah dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat telah dilakukan pada masa klasik Islam dari berbagai bahasa seperti bahasa Suryani, Yunani, Persia, dan India kedalam bahasa Arab. Usaha penerjemahan tersebut berlangsung kurang dari satu setengah abad pada zaman klasik Islam ( abad ke I hingga abad ke-7 H) dan berlangsung secara besar-besaran di Baghdad sejak masa khalifah Al-mansyur (137-159 H/ 754-775 M) serta mencapai puncaknya pada masa khalifah Al-makmun (198-218 H/ 813-833 M)
            Lebih lanjut usaha tersebut menghasilkan berbagai karya dalam bahasa Arab diberbagai perpustakaan, baik yang dibangun oleh para penguasa muslim maupun yang digagas oleh para hartawan. Ketersediaan berbagai buku, terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan muslim untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat seperti yang dilakukan oleh kalangan kristen, yahudi, dan majusi pada masa sebelum Islam.
            Kelompok yang dibahas pada bab ini adalah para filsuf muslim timur. Hal ini dikarenakan duniaIslam belahan timur yang berpusat di Bagdhad (Irak) pada zaman klasik Islam lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba ( Spanyol) dengan memanfaatkan materi filsafat Yunani dari Plato, Aristoteles, Phytagoras, Demokritos, Plotinus dan lain-lain, tetapi tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan hadis, para filsuf muslim membangun satu corak folsafat yang disebut filsafat Islam.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Biografi Filosof Al-Kindi
Al-Kindi (185 H/801 M – 260 H/873 M) adalah filosof muslim pertama. Pengetahuan filsafat pada abad ke-2 hijriah / ke-8 M berada di tangan orang-orang kristen Syria, yang terutama para dokter. Mereka mulai menerjemahkan karya-karya berbahasa yunani kedalam bahasa arab atas dorongan halifah. Sebagai muslim arab pertama yang mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat Al-Kindi patut disebut “ahli filsafat arab”.
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imaran ibn Ismail al-Ash’ats bin Qais al-Kindi. Kinddah salah satu suku arab besar pra islam. Kakeknya al-Ash’ats bin Qais memeluk islam dan dianggap sebagai salah satu seorang sahabat nabi saw. Al-Ash’ats bersama beberapa perintis muslim pergi ke kufah, tempat ia dan keturunannya mukim. Ayah al-kindi Ishaq al- Sabbah ,menjadi gubernur kufah selama kekhalifaan Abbasiyah al-Mahdi dan Al-Rasyid. Kemiungkinan besar al-Kindi lahir pada tahun 1085 H/801 M sekitar satu dasar warsa sebelum khalifah al-Rasyid meninggal.[1]
Kuffah dan Basrah pada abad ke2 H atau ke-8 M dan ke-3 H atau ke-9 M merupakan dua pusat kebudayaan islam yang bersaingan kuffah lebih cendrung kepeda studi-studi aqliyah dan dalam lingkungan intelektual inilah al-Kindi melewatkan masa kanak-kanaknya. Dia menghafal al-qur’an mempelajari tata bahasa arab kesusatraan dan ilmu hitung yang kesemuanya itu merupaka kurikulum bagi semua anak muslim. Ia kemudian mempelajari fiqih dan disiplin baru yang disebut kalam. Tetapi tanpaknya ia lebih tertarik kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, ia kepada keduanya ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya. Al-Kindi mempelajari bahasa yunani tetapi ia menguasai bahasa Syiria yang dengannya ia menerjemahkan beberapa karya. Ia juga memperbaiki terjemahan bahasa arab seperti terjemahan Enneads-nya Plotinus oleh al-Himsy yang sampai kepada orang-orang arab sebagai salah satu karya Aris Toteles.
Dibaghdad ia berkenalan dengan al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan putra al-Mu’tasim Ahmad. Ia diangkat sebagai guru pribadi Ahmad ibn al-Mu’tasim yang kepadanya ia persembahkan karya-karya pentingnya. Ibn Nabatah berkata “Al-Kindi dan karya-karyanya telah menghiasi kerajaan al-Mu’tasim”. Ia jaya di masa pemerintahan al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M). Sebuah kisah oleh ibn Aby Usaibi’ah menceritakan ke masyhuran al-Kindi pada masa itu kemajuan pengetahuannya dan kamsyhuran perpustakaan pribadinya. Kisah itu sepenuhnya demikian “Muhammad dan Ahmad dua putra Musa ibn Syakir yang bersekongkol untu memusuhi orang yang maju dalam ilmu pengetahuan, mengutus sanad ibn Ali kle Baghdad untuk memisahkan al-kindi dari al-Mtawakkil. Persekongkolan mereka berhasil sehingga al-Mutawakkil memerintahkan agar al-Kindi dirangket. Perpustakaannya.[2]
Diantara karyanya yang paling populer ialah mengenai sejarah para penguasa dan qadhi di Mesir. Bagian awal kitab Al-Wulat wa Al-Qudhat mencatat para penguasa Mesir dan panglima perang. Catatan ini diselingi dengan uraian mengenai kondisi Domestik maupun Internasional Mesir. Ia menulis sejarah Mesir hingga wafatnya Al-Ikhsyid tahun 335 H/946 M. Catatan ini diteruskan oleh sejarawan anonim sehingga berdirinya dinasti Fathimiyah tahun 362 H/972 M. Al-Kindi menambahi catatn biografi pra penguasa dengan catatan biografi qadhi Mesir sampai kepemimpinan qadhi Bakar tahun 246 H/861 M. Ahmad bin Abdul Rahman bin Barat menambahi catatan karya ini hingga sejarah tahun 366 H/977 M. Lalu dilanjutkan oleh penulis anonim hingga catatan tahun 347-424 H/959-1033 M.
Ditilik dari serarah peradilan, katya ini terbilang sangat penting karena tercatat berbagai keputusan penting yang ditetapkan para qadhi. Pada tahun 1908 M R. Gottheil mengpublikasikan karya ini dibawah judul  The History Of Egyptian Qadhis. Selain menerbitkan karya Al-Kindi publikasi R.Gottheil juga mencantumkan suplement yang diambil dari karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani Raf’u Al-Ishr ‘an Qudhat Al-Mishr.[3]
Riwayat lain tentang sepakterjang al-Kindi dilukiskan dalam karikatur al-Jhaiz dalam kitab al Buwkhala. Al-Kindi hidup mewah disebuah rumah yang dikebun rumahnya ia memelihara banyak bintang langkah. Ia hidup menjauah dari masyarakat, bahkan dari tetangga-tetangganya sebuah kisah menarik oleh al-Qiftih memeparkan bahwa al-Kindi bertetangga dengan seorang saudagar kaya yang tidak pernah tahu bahwa al-Kindi adalah seorang tabit ahli. Ketika sang saudagar tiba-tiba lumpuh dan seorang tabibpun di Baghdad mampu menyembuhkannya, seseorang memberi tahu sang saudagar bahwa ia bertetangga dengan filsuf tercemarlah yang sangat pandai mengobati penyakit seperti itu. Al-Kindi mengobati anak yang sakit lumpuh itu dengan musik.[4]
B.     Filsafat dan Pemikiran Al- Kindi
Definisi filsafat menurut al-Kindi adalah sebagai berikut:
a.    ilsafat terdiri dari gabungan dua kata: philo (sahabat) dan Sophia (kebijakan). Filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan etimologi Yunani.
b.    Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
c.    Filsafat adalah latihan untuk mati. Yaitu bercerainya jiwa dari badan, mematikan hawa nafsu untuk mencapai keutamaan. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
d.    Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
e.    Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitikberatkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri.
f.      Filsafat adalah mengetahui tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh, baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan pada sudut pandang materinya.[5]
Dan menurut al-Kindi, filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama yakni kausa dari semua kebenaran.Filosuf yang sejati adalah filosuf yang memiliki pengetahuan tentang yang utama.Pengetahuan tentang kausa (penyebab) lebih utama daripada pengetahuan tentang akibat. Orang akan mengetahui realitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya (penyebabnya).
Menurut Al-kindi filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Berdasarkan ini para sejarawan Arab awal menyebutnya ‘’Filosof Arab’’. Memang gagasan-gagasan berasal dari Aristotelianisme Neo-Platonis, namun juga benar bahwa ia meletakkan gagasan-gagasan itu dalam konteks baru. Dengan mendamaikan warisan-warisan Hellenistis dengan Islam, ia meletakkan asas- asas sebuah filsafat baru. Sungguh, pendamaian ini untuk jangka lama menjadi ciri utama  filsafat ini. Kemudian Al-kindi yang mengkhususkan diri dalam semua ilmu pengetahuan yang dikenal pada masanya tentangnya, tulisan-tulisannya cukup bukti menjadikan filsafat sebagai suatu studi menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu. Al-Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Rusyd mulanya ilmuan kemudian menjadi filosof. Karena itu Al- Nadin menempatkan Al-kindi dalam kelompok filosof alami. Berikut ini gambaran penuhnya tentang Al-kindi ‘’Al-kindi adalah manusia terbaik pada masanya, unik pengetahuannya tetntang seluruh ilmu pengetahuan kuno, ia disebut filosof Arab. Buku-bukunya mengandung aneka ilmu pengetahuan seperti logika, filsafat, geometri, ilmu hitung, astronomi, dan sebagainya. Kami menyebutnya filosof alam, karena ia menonojol dalam ilmu pengetahuan.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Filosof muslim sebagaimana filosof Yunani percaya bahwa kebenaran jauh berada diatas pengalaman, bahwa kebenaran itu abadi dialam. Batasan filsafat dalam risalah Al-kindi tentang fisafat awal, berbunyi demikian ‘’filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala suatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran dan dalam berpraktek ialah menyesuaikan dengan kebenaran’’. Pada akhir risalahnya ia menyifati Allah dengan istilah ‘’ kebenranan’’ yang merupakan tujuan filsafat. Maka satu yang benar ( Al-wahid Al-haq) adalah yang pertama, sang pencipta, sang pemberi rezeki semua ciptaanya, pandangan ini berasal dari filsafat Aristoteles tetapi penggerak tak tergerakkan ( Unmovable Mover) nya Aristoteles diganti dengan sang pencipta. Perbedaan ini menjadi inti sistem filsafat Al-kindi.
Filsafat dibagi menjadi dua bagian utama studi-studi teoritis, yakni fisika, matematika, dan metafisika dan studi-studi praktis yaitu etika, ekonomi dan politik. Seorang penulis kemudian sembari mengutip Al-kindi mengklasifikasikannya sebagai berikut ‘’ teori dan praktek merupakan awal kebajikan. Masing-masing dibagi menjadi fisika, matematika dan teologi. Praktek dibagi menjadi bimbingan diri, keluarga dan masyarakat. Ibn Nabatah yang juga mengutip Al- kindi hanya menyebutkna bagian-bagian teoritisnya. Ilmu-ilmu filsafat terdiri atas tiga hal, Petama pengajaran ( ta’lim), yaitu matematika yang bersifat mengantar, kedua ilmu alam yaitu yang bersifat terakhir, dan ketiga ilmu agama yang bersifat paling tinggi.
Pengutamaan matematika berasal dari Aristoteles, tetapi urutan terakhir dari tiga pengetahuan yang dimulai dengan fisika, datang dari penganut filsafat Aristoteles terkemudian. Kemungkinan besar Al-kindi mengikuti Ptolomeus yang membagi ilmu pengetahuan diawal Almagest. Sejak masa itu matematika dikenal oleh orang-orang Arab sebagai kajian pertama. Batasan filsafat  dan pembaiannya dalam filsafat muslim sebagaimana disebutkan diatas masih bersifat tradisional sebagaiman dikatakan oleh Mustafa abd al-Raziq ‘’siakp memahami makna filsafat dan pembagiannya berdasarkan materi pokok ini memajukan filsafat muslim.
Filsafat pertama atau metafisika merupakan pengetahuan tentang sebab pertama, karena seluruh filsafat lainnya tercangkup dalam pengetahuan ini. Metode yang dianut dalam mengkaji filsafat awal ialah penggunaan logika. Sejak kini logika menjadi alat para filosof dalam upaya mencari kebenaran. Nilai Al-kindi sebagai filosof dalam masa-masa dahulu diperdebatkan karena kurangnya teori logika dalam sistemnya. Syair Al-andalusi berkata ‘’ Al-kindi menulis banyak buku tentang logika, yang tidak pernah menjadi populer, tak pernah dibaca atau digunakan orang dalam ilmu pengetahuan, karena buku-buku ini hampa seni analisis yang merupakan satu-satunya cara untuk membedakan antara yang benar dan yang salah dalam setiap pengkajian.
Menurut Ya’qub dalam tulisan-tulisannya seni sintesis tak dapat memberikan manfaat selam tal mempunyai premis-premis yang pasti, yang dari premis-premis itu dapat dibuat sintesis. Sukar bagi kita memberikan pendapat yang pasti tentang penilaian ini, sebelum risalah-risalahnya tentang logika dikemukakan. Tetapi kenyataan bahwa Al-Farabi disebut sebagai bapak kedua, lantaran upayanya memperkenalkan logika sebagai metode berpikir dalam filsafat muslim tampak memperkuat penialain Said diatas.
C.     Pengaruh Pemikiran Al-Kindi Terhadap Filsafat Islam
Al-Kindi adalah filosof pertama dalam islam yang menyelaraskan agama dengan filsafat. Ia melicinkan jalan bagi Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua pandangan yang berbeda. Pertama, mengikuti jalur logika, dan memfilsafatkan agama.Kedua, memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahiyah yang menempatkannya di atas filsafat.Ilmu ilahiyah ini diketahui lewat jalur para nabi.Tetapi melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.[6]
Kebesaran Al-Kindi telah dibuktikan dengan pengaruh Al-Kindi terhadap kemajuan peradaban islam. Kemajuan ilmu pengetahuan di dunia islam yang dipelopori oleh Al-Kindi ini telah mengantarkan Al-Kindi dan karya-karyanya menghiasi kerajaan al-Mu’tasim. Ia juga mengalami masa kejayaan dimasa pemerintahan Al-muttawakil (232-247 H/847-861 M). pemikiran Al-Kindi telah banyak menginspirasi banyak para pemikir lain pada masa itu. Hal itu dibuktikan dengan sebagian karya ilmiahnya telah diterjemaahkan oleh Gerard dari Cremona ke dalam bahasa latin. Karya-karya itu sangat mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan.Cardano menganggap Al-Kindi sebagai salah satu dari duabelas pemikir terbesar.[7]
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin.
Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam. Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya.
Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk.
Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan. Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya.[8]
Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia.
Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya.  Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi zat Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.
Adapun Filsafat Al-Kindi diantaranya :
1.       Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia.Pertama, pengetahuan indrawi.Kedua, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal atau rasional.Ketiga, pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi (iluminasi).
2.       Pengetahuan indrawi.
Pengetahuan indrawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material.Pengetahuan indrawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat suatu realitas.Pengetahuan indrawi selalu bersifat juz'iy (parsial).Pengetahuan indrawi sangat dekat pada pengindraannya, tetapi jauh dari gambaran tentang alam pada hakikatnya.
3.       Pengetahuan rasional.
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal sifatnya universal, tidak parsial.Objek pengetahuan rasional ialah genus dan spesies, bukan individu.Orang mengamati manusia berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih, dan lain sebagainya. Semua ini akan menghasilkan pengetahuan indrawi. Tetapi jika orang mengamati manusia dan menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berfikir, maka pengetahuan tersebut diperoleh dengan akal atau rasional, dan telah mencakup semua individu manusia.
4.       Pengetahuan isyraqi.
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan indrawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat sesuatu. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies.Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua jalan tersebut. Al-Kindi, sebagaimana filosuf isyraqi lainnya, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi). Yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi.Puncak dari jalan ini ialah wahyu yang diperoleh para nabi yang berasal dari Tuhan.
Selanjutnya, al-Kindi mengatakan bahwa selain Nabi mungkin ada sebagian orang yang mampu memperoleh pengetahuan isyraqi meskipun derajatnya di bawah yang diperoleh para nabi yang berasal dari wahyu Tuhan.Hal ini mungkin terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya.[9]
5.       Filsafat Ketuhanan.
Pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sangat sesuai dengan ajaran Islam.Bagi al-Kindi Allah adalah wujud yang sebenarnya. Allah akan selalu ada dan akan ada selama-lamanya. Allah adalah wujud yang sempurna, tidak didahului oleh yang lain. Dia tidak berakhir. Sedangkan wujud yang lain disebabkan adanya Allah.
Menurut al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini mempunyai dua hakikat: sebagai juz'i (parsial) yang disebut 'aniah. Dan hakikat sebagai kulli (universal) yang disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
Tujuan akhir dalam filsafat adalah untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan.Allah dalam filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah.Allah tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk benda-benda di alam ini.Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk.Allah Tidak mahiah karena Allah tidak berupa genus atau spesies.Bagi al-Kindi, Allah adalah unik.Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya.Dialah yang benar pertama, dan yang benar tunggal.Selain dariNya semuanya mengandung arti banyak.
Untuk membuktikan adanya Allah, al-Kindi memajukan tiga argument.Pertama, baharunya alam.Kedua, keanekaragaman dalam wujud.Ketiga, kerapian alam.
Tentang dalil pertama, yakni baharunya alam, al-Kindi berangkat dari pertanyaan, "apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya?".Menurut al-Kindi, tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, dan yang mempunyai permulaan pasti berakhir.Oleh karena itu, setiap benda ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil adanya benda tersebut menjadi penyebab wujudnya.Hal ini berarti alam semesta sifatnya baru, dan diciptakan oleh yang menciptakannya, yakni Allah.
Tentang dalil kedua, yakni keanekaragaman dalam wujud, al-Kindi menyatakan bahwa terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya.Sebagai penyebabnya, mustahil jika alam itu sendiri yang menyebabkannya. Jika alam yang menjadi sebab, maka akan terjadilah tasalsul (rangkaian) yang tidak akan ada habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi pada alam ini.Oleh karena itu, penyebabnya harus yang berada di luar alam itu sendiri, yakni zat yang Maha dahulu.Dialah Allah Yang Maha Esa.
Tentang dalil ketiga, yakni kerapian alam, al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya.Pengatur dan pengendalinya tentu yang berada di luar alam.Ia tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena-fenomena yang ada di alam ini. Zat itu tiada lain adalah Allah SWT.[10]
6.       Filsafat Alam.
Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat 'an al 'illat al-Fa'ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat 'illat, yakni: materi benda, bentuk benda, pembuat benda, manfaat benda.
Tentang barunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni gerak, waktu, dan benda.Benda untuk menjadi ada harus ada gerak.Masa gerak menunjukkan adanya zaman.Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda.Mustahil jika ada gerak tanpa ada benda.Ketiganya sejalan dan pasti berakhir.
Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi: panjang, lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi tersebut membuktikan bahwa benda tersusun.Dan setiap yang tersusun tidak dapat dinamakan kadim. Apabila zaman kadim ditelusuri ke belakang tentu saja tidak akan sampai pada akhirnya, karena ia tidak mampunyai awal. Begitu pula zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu tidak akan sampai pada masa sekarang. Oleh karena itu, zaman yang sampai pada masa sekarang ini bukan kadim, melainkan baru.
Dalam pandangannya tentang alam, al-Kindi menolak secara tegas terhadap pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta ini tak terbatas atau kadim. Pendapat al-Kindi tentang barunya alam sama dengan pendapat kaum theologi muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof muslim yang datang sesudahnya yang menyatakan bahwa alam ini kadim. Telah dijelaskan juga bahwa Alquran hanya menginformasikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah SWT. Akan tetapi, Alquran tidak menginformasikan secara detail tentang proses penciptaannya.
7.       Filsafat Jiwa.
Jiwa merupakan unsur utama bagi manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. Kaum filosof muslim memakai kata al-nafs (jiwa) terhadap apa yang diistilahkan Alquran sebagai al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi nafsu, nafas, dan roh.
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam, menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar).Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.Substansinya berasal dari Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan.Jiwa bersifat rohani dan Ilahi.Sementara itu, jisim (tubuh) mempunyai hawa nafsu dan amarah.
Argumen tentang perbedaan jiwa dengan badan, menurut al-Kindi, jiwa menentang keinginan badan.Apabila nafsu marah mandorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa yang melarang tentu tidak sama dengan badan sebagai yang dilarang.
Dalam hal ini, al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, yakni materi dan bentuk.Materi ialah badan.Bentuk ialah jiwa manusia.Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan, dan begitu pula sebaliknya.Pendapat ini mengandung arti kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa.Namun pendapat al-Kindi dalam masalah ini lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident.Binasanya badan tidak membawa binasanya jiwa. Di sisi lain al-Kindi juga menolak pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Sejarah intelektual di dunia Islam yang mana sumbangannya tidak bisa dipungkiri, tetapi disisi lain, filsafat juga dianggap unsur luar yang mengacak-acak ajaran Islam. Bisa jadi, ini karena watak filsafat itu sendiri. Filsafat, apapun nama dan bentuknya, adalah keberanian untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang dalam pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Watak “subversif” filsafat ini juga bisa juga ditemukan dalam filsafat islam. Kita ketahui bersama bahwasanya filsafat di bagi atas beberapa periode, periode pertama yang merupakan awal munculnya filsafat yaitu berasal dari Yunani, karena di sana terdapat beberapa orang yang cenderung menggunakan otak sebagai landasan berpikir.
Tokoh – tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristotales. Periode kedua yang merupakan masa pertengahan adalah filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai berkembang pada masa al-Kindi, yang mana menurut Sulaiman Hasan bahwasanya tidak ada seorangpun filosof Islam kecuali al-Kindi, karena baginya ia merupakan seorang filosof pertama dalam Islam begitu juga merupakan filosof Arab pertama.
Dalam pengembangan filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah Arestoteles. Hal itu bisa dibuktikan dari buku-buku filsafat yang dikarang oleh al-Kindi lebih banyak mengarah pada buku-buku karangan Aristotales. Yang mana pemikiran al-Kindi dalam filsafat sendiri meliputi:
1.       Talfiq, Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat.
2.       Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
3.       Jawaban filsafat menunjukan ketidak-pastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
4.       Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan
5.       Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, Yogyakarta:  Pustaka Pesantren, 2004.
Heris Hermawan, dkk, Filsafat Islam, Bandung, Rineka Cipta. 2011.
MM. Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1985.
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam, Bandung, CV, Pustaka Setia, 2015.
Yusri Abdul Ghani Abdullah,Historiografi Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.


[1] MM. Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1985, hlm. 11
[2] Ibid., hlm. 12-13
[3] Yusri Abdul Ghani Abdullah,Historiografi Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 141-142.
[4] Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam, Bandung, CV, Pustaka Setia, 2015, hlm. 72.
[5]  Heris Hermawan, dkk, Filsafat Islam, Bandung, Rineka Cipta. 2011. hal. 16-17.
[6] Op.Cit., MM Syarif,  hlm. 27.
[7] Ibid., hlm. 27.
[8] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, Yogyakarta:  Pustaka Pesantren, 2004, hlm. 47.
[9] OP.Cit., Haris Hermawan, hlm. 19-20.
[10] Ibid., hlm. 21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL