MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH MUNASABAH AL-QUR’AN


MUNASABAH  AL-QUR’AN

A.  Pengertian Munasabah
Kata Munasabah secara etimologi berasal dari kata nasaba-yunasibu-munasabah, yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. Dan dapat diartikan kedalam beberapa kata sepertial-Muqabarah artinya kedekatan.Dalam pengertian ini As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarahartinya “saling menyerupai” dan “saling mendekati”.[1] Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai berikut : Fulan Yunasib Fulan, berarti si Fulan mempunyai hubungan dekat dengan si fulan itu dan menyerupainya. Dan dari kata itu lahir pula kata an-Nasib, berarti kerabat yang mempunyai hubungan dekat seperti dua orang bersaudara. Al-munasabah berarti adanya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut bisa berbentuk keterkaitan makna ayat-ayat dan macam-macam hubungan dalam isi al-Qur’an, seperti hubungan sebab dan musabbab, hubungan kesetaraan, dan hubungan perlawanan.

Secara terminologi, pengertian Munasabah dapat diartikan sebagai berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:
1.   Menurut Az-Zarkasyi, adalah :
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya
2.  Menurut Ibn Al-Arabi :
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”
3.  Menurut Manna’ Khalil Qattan : 
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an.
d. Menurut al-Biqa’i :
    munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan     dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat atau surah dengan surah.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.[2]
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.[3]
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat  dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini.[4] Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an.[5] Walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya (Peny.)
Ilmu Munasabah ini dapat berperan mengganti ilmu Asbabun Nuzul, apabila seseorang tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tapi seseorang dapatmengetahui relevansi atau hubungan ayat itu dengan ayat lainnya. Ada  beberapa pendapat    di kalangan ulama   tenteng ilmu Tanasubul Ayat Was-Suwar ini. Diantanranya ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya atau hubungannya dengan ayat atau surat lain. Sementara ulama yang lain berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Selain itu adapula yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lain.[6]Hal yang    demikian ini tidak berarti bahw seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Qur’anul Karim turun secar bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, terkadang seorang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri, sebab jika memaksakannya juga akan menghasilkan kesesuaian yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai,  pernyataan ini  senada  dengan  pendapat Syaikh ‘Izz Ibn Abdus-Salam.[7]

B.     Sejarah Ilmu Munasabah
            Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (324 H) yang pertama melahirkan ilmu munasabah di Baghdad. Syekh Izzuddin Ibn ‘Abd as-salam (660 H) menilai munasabah sebagai ilmu yang baik. Menurut al-suyuthi (911 H), orang yang pertama melahirkan ilmu munasabah adalah Syeikh Abu Bakar al-Naisaburi. Apabila al-Qur’an telah dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan disamping surah sebelahnya. Bahkan, ia mencela para ulama Baghdad karena mereka tidak mengetahui ilmu munasabah. Abu Ja’far Ibn al-Zubair Syeikh Abi Hayyan secara khusus menyusun sebuah kitab mengenai munasabah ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an dengan judul, al-Burban Fi Munasabah Tartib Suwar al-Qur’an . Kemudian, Syeikh Burhan an-Din al-Biqa’i menyusun kitab dalam bidang yang sama dengan judul Nuzum al-Durar fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar. Akan tetapi menurut al-Suyuthi-mufasir yang paling banyak membahas munasabah adalah Fakhr al-Din al-Razi (606) dalam tafsirnya yang berjudul Mafatih al-Ghaib fi Tafsir al-Qur’an. Kemudian dari beberapa tokoh tersebut disusul beberapa tokoh lainnya yang menyusu kitab-kitab tentang ilmu munasabah seperti al-Biqa’i.[8]


C.    Eksistensi Munasabah
            Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam al-Qur’an adalah tauqifi tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-nya). Mengenai tertib surah- surah al-Qur’an para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tertib surah-surah al-Qur’an sebaigama yang dijummmpai dalam mushhaf yang sekarang adalah tauqifi. Pendapat ini di dasarkan atas keadaan Nabi SAW. Yang setiap tahun melakukan mu’aradhah (memperdengarkan bacaan) kepada Jibril AS. Termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib surrah-surahnya pada mu’aradhah terakhhir, Zaid Ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tertib surah yang ada kepada kita sekarang.[9]
            Sebagian ulama memandang tertib ayat-ayat al-Qur’an masuk dalam masalah ijtihad. Pendapat ini di dasarkan atas beberapa alasan. Pertama, mushhat pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca al-Qur’an berbeda dengan surah tertib yang terdapat dalam al- Qur’an. Ketiga adanya perbedaan pendapat dalam masalah masalah tertib surah al-Qur’an menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Selain itu ada juga yang berpendapat sebahagian tauqifi dan lainnya ijtihdi, menurut pendapat ini, tidak semua nama surah al-Qur’an diberikan ole Allah, tetapi sebahagian diberikan oleh Nabi SAW, dan lainnya diberikan oleh para sahabat.
            Meski ketiga pendapat diatas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang semuanya tingkat keabsahannya sama. Alasan pendapat yang mengemukakan tertib surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang seorang sahabat pernah mendengar Nabi membaca al-Qur’an berbeda dengan tertib mushhaf yang sekarang dan adanya catatan sahabat yang berbeda bukanlah mutawaddir. Kemudian tidak adanya jaminan bahwa semua sahabat yang memilki catatan mushhaf itu hadir bersama nabi setiap saat turun ayat al-Qur’an. Karena itu kemungkinan tidak utuhnya tertib mushhaf sahabat sangatlah besar. Demikian juga alasan yang mengatakan sebahagian tauqifi dan sebahagian ijtihadi tidak kuat.
            Sebahagian ulama berpendapat bahwa munasabah itu tidak ada.  Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Izz al-Din ‘Abd al-salam (600 H). Alasannya adalah bahwa suatu kalimat akan memiliki munasabah bila diucapkan dalam konteks yang sama. Karena al-Qur’an turun dalam berbagai konteks maka al-Qur’an tidak memiliki munasabah. Disini beliau mengatakan bahwa susunan ayat mestinya berdasarkan masa turunnya. Sementara itu, pendapat yang lain yang mengakui adanya munasabah memandang ketidakberaturan al-Qur’an mengandung rahasia.
            Terlepas dari kontroversi pendapat tentang munasabah, ilmu ini termasuk kurang mendapat perhatian dari para mufasir. Buku-buku Ulumul Qur’an, terutama buku dalam bahasa Indonesia jarang memuat bahasan ini. Sebab, ilmu minasabah sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu yang rumit.

D.    Urgensi Mempelajari Munasabah Al-Qur’an
Munasabah al-Qur’an ini merupakan salah satu ilmu yang perlu kita pelajari karena terdapat berbagai urgensi yang menyebabkan kita perlu mempelajari munasabah al-Qur’an ini, berikut beberapa urgensi mempelajari munasabah al- Qur’an.
1.Menemukan makna yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari al-Qur’an saling berhubungan dan tampak menjadi suatu rangkaian yang utuh.
2.Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surah al-fatihah yang artinya , “Tunjukkan kami kepada jalan yang lurus” disambung dengan ayat tujuh yang artinya , “Yaitu, jalan orang-orang yang engkau beri nikmat atas mereka. Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dari Allah SWT.
3.Memperkuat keyakinan atas kebenarannya wahyu dari Allah. Meskipun al-Qur’an terdiri atas 6666 ayat dan diturunkan ditempat keadaan kasus yang berbeda dalam rentang waktu dua puluh tahun lebih, namun dalam susunannya terdapat makna yang dalam berupa hubungan yang kuat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
4. Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan ini misalnya muncul karena penempatan surah al-Fatihah pada awal mushhaf sehingga surah inilah yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat pertama dari surah al-Alaq sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi , Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal mushhaf  yang kemudian disusul dengan surah al-Baqarah. Setelah didalami, ternyata dalam urusan ini terdapat munasabah. Surah al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat islam dan pada surah ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk kejalan yang lurus. Surah al-Baqarah diawali dengan petunjuk al-kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus.  Dengan demikian, surah al-Fatihah merupakan titik bahasan yang diperinci pada surah berikutnya, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat  al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang dalam.
5.Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzulnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalinat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lai, dimungkinkan seseorang akan mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.
6.Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah al-Qur’an).[10]

E.     Cara mengetahui munasabah dalam al-Qur’an
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi, artinya pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihadi karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun dari sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, al-Qur’an diturunkan secaraa berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan berbagai peristiwa yang ada. Menurut Syekh Izzudin bin Abdus Salam bahwa seseorang mufassir terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak menemukan. Jika tidak menemukan keterkaitan-keterkaitan, mufassir tidak diperkenankan memakasakan berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Jadi dalam hal ini dibutuhkan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Kalaupun itu terjadi ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dalam surah (munasabah) dalam al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Ada beberapa langkah-langkah yang perlu diperhatikanuntuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1.Harus diperhatikan tujuan tujuan pembahasan suatu surah yang menjadi        obyek  pencarian, atau melihat tema sentral dari surah tersebut.
2.Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surah.
3.Menemukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.Mengadakan kategorisasi terhadap ayat-ayat tersebut berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan surah tersebut.
5.Dalam mengambil kesimpulannya hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.[11]

F.     Macam-Macam Munasabah Al-Qur’an
            Munasabah terbagi kedalam beberapa macam seperti :
1.      Ditinjau dari sifatnya
Munasabah terbagi menjadi dua yaitu : zhahir irtibath (penyesuaian yang nyata) dan khafy irtibath (persesuaian yang tidak nyata).
Zhahir Irtibath : Munasabah yang terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu  dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain.
Khafy Irtibath : Munasabah yang terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan diantara keduanya, misalnya hubungan antar ayat 189 dan ayat 190 surat Al-Baqarah :
Surah Al-Baqarah ayat 189
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ  
Artinya :
Merekabertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Surah Al-Baqarah ayat 190[12]
(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ムŸwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =ÅsムšúïÏtG÷èßJø9$# ÇÊÒÉÈ
Artinya :
                              Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ayat 189 di atas bulan sabit (hilal), tanggal untuk anda waktu dan untuk jadwal ibadah haji, Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Padahal kalaulah dicermati dapat diketahui munasabahnya, yaitu pada waktu haji umat islam dilarang berperang. Kecuali kalau diserang musuh, maka dalam kondisi demikian mereka boleh bahkan perlu melakukan balasan.[13]
2.      Munasabah ditinjai dari segi materinya dan kejelasan antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat.
Hal tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
a.       Hubungan yang ditandai dengan huruf ‘athaf
Munasabah dengan menggunakanwaw ‘athaf ini bisanya menghubungkan dua hal yang berlawanan, seperti masuk dan keluar, turun dan naik, langit dan bumi, rahmat dan azab dan lain sebagainya.
Seperti yang terlihat dalam surah Saba’ ayat 2 :
ãNn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøƒs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\tƒ šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù 4 uqèdur ÞOŠÏm§9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ  



Artinya :
                  Dia mengetahui apa yang masuk kedalam bumi, apa yang keluar dari padanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah yang maha penyayang lagi maha pengampun.
Ungkapan “apa yang keluar dari padanya”
Ungkapan “apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanaya”.
Dan keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara tentang sesuatu yang turun dari langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu masih berhubungan dan saling terkait antara satu dengan lainnya. Sebab fokus pembicaraannya masalah ilmu tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi dilangit dan dibumi, kedua ungkapan itu membicarakan tofik yang sama yaitu ilmu Allah.
b.      Hubungan yang tidak memakai huruf ‘athaf
Munasabah yang tidak memakai huruf ‘athaf sandarannya adalah qorinah ma’nawiyah. Sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawai. Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk yaitu ;
1.      At-Tanzhir, yaitu hubungan yang mencerminkan perbandingan, atau membandingkan dua hal yang sebanding.
Misalnya ayat 4 dan 5 surah Al-anfal :
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uyŠ yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOƒÌŸ2 ÇÍÈ   !$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/ ¨bÎ)ur $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# tbqèd̍»s3s9 ÇÎÈ  
Artinya :
4. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.
5. sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaranPadahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”.

Huruf al-kaf pada ayat lima berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang bersembunyi . Hubungan itu tampak dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu  Allah Swt menurunkan ayat ini agar kaum nabi Muhammad mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya rasul dari kalangan mereka.
2.      Al-Istithrad, artinya peralihan kepada penjelasan lain
Misalnya pada surah Al-A’raf ayat26 :
ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqムöNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)­G9$# y7Ï9ºsŒ ׎öyz 4 šÏ9ºsŒ ô`ÏB ÏM»tƒ#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbr㍩.¤tƒ ÇËÏÈ 
Artinya :
              Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Pada ayat tersebut membahas tentang pakaian tajwa lebih baik. Allah menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakaian pakaian penutup aurat itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelek dan buruk. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.
3.      Al-Mudhodah artinya berlawanan misalnya surah al-Baqarah ayat 6
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøŠn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÏÈ  
Artinya :
            Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu peri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
Ayat ini menerangkan bahwa watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala tidak percaya kepad kitab-kitab Allah, sedangkan pada ayat sebelumnya Allah menerangkan watak orang mukmin sangat berlawanan dengan orang kafir. Watak orang-orang mukmin adalah memiliki kepercayaan yang kuat. Dia percaya adanya yang ghaib, melaksanakan shalat, memiliki sifat kebersamaan yaitu tidak senang jika melihat saudaranya kesulitan, baik dalam bidang materi maupun yang lainnya, lalu diambilkan sebagian dari apa yang dimiliki dan diinfakkkan kepada yang memerlukann dan percaya akan adanya kitab-kitab Allah sebelum al-Qur’an, apalagi al-Qur’an. Mukmin yakin adanya kehidupan akhirat.
Ayat tersebut berbunyi :
Surah Al-Baqarah ayat 3 dan 4
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ
   tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qムÇÍÈ  
Artinya :
              Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.
Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat.[14]
3.Munasabah ditinjau dari segi isi al-Qur’an
a.       Munasabah antar surah dengan surah
Surah-surah yang ada di dalam al-Qur’an mempunyai munasabah sebab, surah yang datang kemudian menjelaskan sebagai hal yang disebutkan secara global pada surah sebelumnya. Sebagai contoh, surah al-Baqarah memberikan perincian dan penjelasan bagi surah al-Fatihah. Surah Ali Imran yang merupakan surah berikutnyamemberi penjelasan lebih lanjut bagi kandungan surat al-Baqarah. Selain itu, munasabah dapat membentuk tema sentral dari berbagai surah. Misalnya, ikrar ketuhanan, kaidah-kaidah agama, dan dasar-dasar agama merupakan tema-tema sentral dari surah al-Fatihah, al-Baqarah, dan Ali Imran. Ketiga surah ini saling mendukung tema sentral tersebut.
b.      Munasabah antar nama surat dan kandungannya
Nama-nama surah yang ada didalam al-Qur’an memiliki kaitan dengan pembahasan yang ada pada isinya. Surah al-Fatihah disebut juga umm al-kitab memuat berbagai tujuan al-Qur’an.
c.       Musabah antar ayat dengan ayat dalam satu surah
Munasabah dalam bentuk ini secara jelas dapat dilihat dalam surah-surah pendek. Misalnya : Al-Ikhlas. Misalnya : Al-Ikhlas, masing-masing ayat pada surah itu menguatkan tema pkoknya tentang keesaan Tuhan.
d.      Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
Munasabah antar ayat menggunakan ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak disampingnya.
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ   ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ  
Artinya : “dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Qs : Al-Fatihah 1-2)

Ungkapan “rabb al-alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “ar-rahim” dari ayat pertama.
Munasabah antarayat ,menggunakan pola tafsir apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya ole ayat atau bagian ayat disampingnya. Contoh dalam surah al-Baqarah ayat 2-3
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ   tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ  

Artinya : “kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang beriman kepada yang gaib yang mendirikan sebahagian rizky yang kami anugerahkan kepada mereka” (Qs : al-Baqarah 2-3)
Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian orang yang bertqwa adalah orang yang mengimani hal-hal yang gaib, mengerjakan salat, dan seterusnya.
Munasabah antar ayat yang menggunakan pola tasydid apabila satu ayat  atau bagian ayat mempertegas ayat yang disampingnya.
Contoh dalam surah al-fatihah ayat 6-7 [15]
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ   xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ  
Artinya :
Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah engkau beri nikmat atas  mereka, bukan jalan yang dimurkai dan bukan pula jalan yang sesat
Ungkapan  “ Ash-shiratal Al-mustaqin” pada ayat 6 dipertegas oleh oleh ungkapan “shiratalladzina..” . antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung).
Munasabah antara ayat yang menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik dipertengahan kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Pada surah An-nahl ayat 57 :
ttbqè=yèøgsur ¬! ÏM»oYt7ø9$# ¼çmoY»ysö7ß   Nßgs9ur $¨B šcqåktJô±tƒ ÇÎÐÈ  
Artinya :
Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan, Maha suci Allah sedang untuk mereka menetapkan apa yang mereka sukai yaitu anak-anak perempuan
Kata “subhanahu” pada ayat diatas merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi golongan orang-orang kafir yang menetapkan anak peremouan bagi Allah.
e.       Munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
Sebagai contoh dalam surah al-Baqarah ayat 1 sampai 20, Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi al-Qur’an bagi orang-orang yang bertaqwa. Dalam kelompok berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda yaitu mukmin, kafir dan munafik.
f.       Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Munasabah ini mengandung tujuan – tujuan tertentu diantaranya yaitu tamkin (menguatkan) makna yang terkandung dalam surah ayat.Misalnya dalam surah Al-Ahzab ayat 25 :
¨Šuur ª!$# tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. öNÎgÏàøtóÎ/ óOs9 (#qä9$uZtƒ #ZŽöyz 4 s"x.ur ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# tA$tFÉ)ø9$# 4 šc%x.ur ª!$# $ƒÈqs% #YƒÍtã ÇËÎÈ  
Artinya : “dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, lagi mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperanga. Dan adalah Allah maha kuat lagi maha perkasa”.
Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan bukan karena lemah melainkan karena Allah maha kuat lagi maha perkasa. Tujuan dari fashilah adalah memberi penjelasan tambahan meskipun tanpa  fashilah sebenarnya makna ayat sudah jelas.
g.      Munasabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama
Munasabah ini berarti bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikitan tertentu, lalu pokok pikiran ini kemudian dikuatkan kembali diakhir surah. Misalnya terdapat padasurah Al-Hasyr, Munasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi yaitu segala yang ada baik dilangit maupun dibumi menyucikan Allah sang pencipta keduanya
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ( uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÊÈ  
Artinya :
“telah bertassbih kepada Allah apa yang ada dilangit dan bumi. Dan dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana. (Qs Al – Hasyr : 1)
uqèd ª!$# ß,Î=»yø9$# äÍ$t7ø9$# âÈhq|ÁßJø9$# ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡ßsø9$# 4 ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇËÍÈ  
Artinya : “dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai Al-Asma Al-husna. Bertasbilah kepadanya apa yang dilangit dan bumi, dan dialah yang maha perkasih lagi maha bijaksana. (Qs Al-Hasyr : 24).
h.      Munasabah antar penutup satu surah dengan awal surah berikutnya
Persesuaian antara permulaan surah denga penutupan surah sebelumnya sebab, semua permulaan surah erat sekali kaitannya dengan akhiran surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surah, akan dijumpai munasabah dengan akhir surah senelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya pada permulaan sural Al-Hadid dimulai dengan tasbih.[16]
yx¬7y¬!$tBÎûÏNºuq»uK¡¡9$#ÇÚöF{$#ur(uqèdurâƒÍyèø9$#ãLìÅ3ptø:$#ÇÊÈ
Artinya : “semua yang berada dilangit dan yang berada dibumi bertasbih kepda Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah yang mahakuasa atas segala sesuatu” (Qs : Al-Hadid : 1)
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surah sebelumnya, Al-Waqiah yang memerintahkan bertasbih
ôxÎm7|¡sùÉOó$$Î/y7În/uÉOŠÏàyèø9$#ÇÐÍÈ
Artinya : “maka bertasbilah dengan menyebut nama Tuhanmu yang maha   besar


G.    Kesimpulan
            Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat al-Qur’an, baik dari awal surah dengan akhir surah maupun ayat yang satu dan ayat yang lainnya yang bersifat ijtihady dan bukan taufiqy.Munasabah ini terbagi kedalam beberapa jenis yaitu : ditinjau dari sifatnya, ditinjau dari segi materinya, maupun dari isi-isi yang terdapat dalam al-Qur’an.
            Adapun didalam ilmu munasabah ini terdapat bebagai urgensi mempelajari munasabah al-Qur’an untuk meningkatkan ketakwaan kita terhadap Allah dan menambah keimanan dengan adanya penjelasan yang  lebih jelas terhadap hal-hal yang masih kurang dipahami dan hal-hal yang masih rancudalam penjesan makna-makna dalam al-Qur’an tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, 2003, Al-Qur’an Hadist. Jakarta : PT Bumi Aksara, 2015
As, Mudzakir. 2015. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor : Pustaka Li era AntarNusa
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta : PT. Syamil Cipta Media.
Ibid
Ibid
 As-Suyuti, Jalaluddin. 1998. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Pelajar.
Majid, Abdul. 2002. Sejarah munasabah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Muhammad, Husain, Sayyid.2003. Memahami Esensi Al-Qur’an. Bandung : CV Pustaka Setia.
Supiana dan M. Karma. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Ilamika.
Wahid, Abdul, Ramli. 2002. Ulumul Qur’an. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada


















[1]Jalaluddin As-Suyuti, Ulum AL-Qur’an, (Bandung : Pustaka Pelajar, 1998), hlm.40         
[2]Mudzakir As, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor : Pustaka Li era AntarNusa, 2015), hlm.269
[3]Ibid, hlm.271
[4]M. Quraish Shihab, Munasabah Al-Qur,an, (Bandung : Gema Insani Press, 1997),  hlm. 23
[5]Hasby Ash Shiddieqy, Sejarah  dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 29
[6]Supiana dan M. Karma, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 98
[7]Manna Khalik al-Qattan, Stidi Ilmu-Iimu Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), hlm. 249
[8]Abdul Majid, Sejarah Munasabah,  (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 56
[9]Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.78
[10]Sayyid Muhammad Husain, Memahami Esensi Al-Qur’an, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 23
[11]Amiruddin, Al-Qur’an Hadist, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2015), hlm. 30
[12] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahannya, (Jakarta : PT. Syamil Cipta Media, 2004), hlm.9
[13]Rosihan Anwar, Munasabah Al-Qur’an, (Bandung :Pustaka Setia, 2008), hlm.81
[14]Ibid, hlm.89
[15] Ibid, hlm.105
[16]Rojak Abdullah, Studi Ilmu-Ilimu Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm.120

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL