MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DAN MANAJEMEN KEPEMIMPINAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Karakteristik ajaran islam adalah karakter yang harus dimiliki oleh umat muslim yang berdasarkan dengan Al-Quran dan Hadis dalam berbagai bidang ilmu, kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, disiplin ilmu, aqidah, dan berbagai ilmu khusus. Sumber ini telah menjadi pedoman hidup bagi setiap umat islam.
Maka dari itu, kali ini kami akan membahas tentang karakteristik aqidah islam yang meliputi Taufiqiyyah, Ghaibiyyah, Shumuliyyah. Pengertian aqidah sendiri adalah keyakinan hati atau bisa disebut dengan iman atas segala sesuatu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian aqidah islam?
2.      Bagaimanakah pengertian taufiqiyyah?
3.      Bagaimanakah pengertian ghaibiyyah?
4.      Bagaimanakah pengertian shumuliyyah?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian aqidah islam
2.      Mengetahui pengertian taufiqiyyah
3.      Mengetahui pengertian ghaibiyyah
4.      Mengetahui pengertian shumuliyyah





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Aqidah Islam
Secara etimologis (lughatan), aqidah berakar dari kata ‘aqodaya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan. ‘Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian, dan kokoh. Setelah terbentuk aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Sedangkan menurut istilah terminology aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya. Syekh Hasan al-Banna menyatakan ‘Aqoid (bentuk jamak ‘Aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keraguan-keraguan.[1]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam pengertian umum aqidah adalah ilmu yang mengkaji persoalan-persoalan terhadap eksistensi Allah dan seluruh unsur yang tercakup didalamnya.[2]
Hal ini sejalan dengan firman Allah (QS. Al-Baqarah: 177):
لَيْسَ الْبِرُّ اَنْ تُوَلٌّوْا وُجُوْ هَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَئكَةِ وَالْكتبِ وَالنَّبِيّنَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّه ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتمى وَالْمَسكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّآئِلِيْنَ وَفِى الرِّقَابِ وَاَقَامَ الصَّلوةَ وَاتَى الزَّكوةَ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عهَدُوْا وَالصّبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَآءِ وَالضَّرَّآءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِ اُولئِكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَاٌولئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ {١٧٧}         
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Jadi Aqidah Islam itu adalah Aqidah yang tidak akan berubah-ubah karena pergantian zaman, tempat dan tidak pula berganti-ganti karena perbedaan golongan atau masyarakat. Tetapi Aqidah Islam itu akan kekal Allah SWT yang menurunkan dan memeliharanya. Aqidah Islam merupakan ruh bagi setiap orang yang beriman kepada Allah SWT, dengan berpegang teguh kepada-Nya, maka ia akan hidup dalam keadaan selamat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

2.      Pengertian Tauqifiyyah
Kata Tauqifiyyah adalah bentuk taf’il dari akar kata waqf yang berarti pelanggaran dan pengungkungan. Imbuhan ya berfungsi menisbatkan. Begitu pula dengan huruf taa. Jadi kata ini merupakan bentuk masdar shina’i. Taufiq artinya perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan dengan akal yang sehat.[3]
Pertama, Rasulullah SAW telah menjelaskan semua rincian muatan Aqidah Islam. Beliau tidak membiarkan satu bagian pun lepas dari penjelasannya. Sebab Aqidah merupakan bagian terpenting dari seluruh muatan agama. Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُوْنَ حَتّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَيَجِدُوْا فِيْ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا {٦٥} 
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Kedua, harus konsisten dengan lafaz dan makna Al-Quran dan Sunnah. Dalam menyatakan berbagai hal tentang Aqidah, kita tidak menggunakan lafaz-lafaz yang tidak digunakan dalam Al-Quran dan Sunnah. Jadi ini merupakan pembatas sumber Aqidah  Islam, baik pada lafaz maupun gaya ungkapannya.
Aqidah Tauqifiyyah juga berarti bahwa dalam beraqidah dan memahami Aqidah Islam, kita wajib berhenti dan membatasi diri pada batas-batas ketetapan wahyu Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih saja.  Kita tidak dibenarkan mengedepankan dan mendominankan peran penalaran akal dan logika dalam berakidah dan memahami Aqidah Islam.
Adapun ibadah yang bersifat Tauqifiyyah artinya sesuatu aktifitas ibadah haruslah memiliki dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak ada satupun dari aktifitas ibadah yang disyariatkan, kecuali memiliki dasar yang kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah. Diuar itu berarti bid’ah, dan segala bid’ah dalam agama adalah sesat dan ditolak.[4]

3.      Pengertian Ghaibiyyah
Aqidah ghaibiyyah (berkenaan dengan masalah ghaib). Kata ghaibiyyah adalah kata yang dinisbatkan pada kata ghaib yaitu apa yang tidak bisa ditangkap oleh pancaindra. Karena pancaindra adalah jendela akal dari memperoleh pengetahuan. Allah berfirman QS. Al-Mu’minun: 78
وَ هُوَ الَّذِيْ اَنْشَاَلَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْئِدَةَ قَلِيْلاً مَّا تَشْكُرُوْنَ {٧٨}
“ Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”
Yang dimaksud dengan istilah ghaib dalam keimanan Islam disini bukanlah “ghaib” versi dunia dukun dan paranormal, yang dibatasi pada keghaiban alam jin saja, dan hanya terkait dengan hal-hal yang selalu berbau mistik. Namun yang dimaksud dengan istilah ghaib menurut Al-Quran dan As-Sunnah ialah yang meliputi semua yang ada di balik alam nyata, yang tidak bisa ditangkap oleh kemampuan alami indra manusia, dan bahkan tidak mampu dijangkau oleh penalaran akal dan logika.
Karena itu apa yang tidak bisa di tangkap oleh pancaindra tidak dapat dinalar akal kecuali hanya secara umum dengan menganalogikan yang ghaib dengan yang tampak oleh pancaindra. Dengan cara ini kita dapat melakukan penalaran parsial, kemudian penalaran parsial ini disinkronisasikan untuk menetapkan hukum-hukum rasional kolektif. Sebab tanpa itu, setiap kita hanya dapat menalar, misalnya, rasa sakit yang menimpanya.
Ketika kita mengatakan bahwa salah satu spesifikasi Aqidah Islam adalah keghaiban, itu sama sekali tidak berarti bahwa semua muatan Aqidah bersifat ghaib dan tidak dapat ditangkap oleh pancaindra dan akal. Tetapi maksudnya adalah bahwa salah satu spesifikasi Aqidah Islam adalah dalam surah Al-Baqarah: 1-3
المّ {١} ذلِكَ الْكِتبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ {٢} الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلوةَ وَمِمَّارَزَقْنهُم يُنْفِقُوْنَ {٣}
“Alif laam mim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka”.
Di sini Allah menyatakan bahwa salah satu sifat yang paling menonjol bagi orang-orang yang beriman yang dijadikan sebagai pembuka kitab-Nya yang mulia adalah beriman kepada yang ghaib.
Iman kepada yang ghaib merupakan spesifikasi fitrah manusia. Penalaran terhadap realitas fisik merupakan kemampuan yang dimiliki secara bersama oleh manusia dan binatang. Bahkan penalaran metafisik sudah merupakan instink yang tertanam dalam fitrah manusia.
Untuk lebih memahami sejauh mana fitrah dan akal berperan dalam masalah Aqidah, sudah dijelaskan dalam uraian Syeh Ali Tantowi tentang hal itu dalam bukunya ta’rif ambiddinil Islam. Kaidah Aqidahnya tersebut ada yaitu sebagai berikut:[5]
a.    Sesuatu yang dapat di indra bisa diyakini keberadaannya, kecuali apabila akan mengatakan tidak berdasarkan pengalaman masa lalu.
b.    Keyakinan diperoleh dengan menyaksikan langsung, yaitu bisa diperoleh melalui berita kejujuran si pembawa berita tersebut benar-benar diyakini.
c.    Sesuatu itu dapat dikhayalkan apabila ia pernah dijangakau oleh indra.
d.   Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat oleh ruang dan waktu.
e.    Iman adalah fitrah manusia.
f.     Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah.
Istilah ilmu ghaib yang sering disebut dalam Al-Quran biasanya digunakan untuk 3 bentuk keghaiban. Yaitu kegahiban mutlak, keghaiban terikat relative, keghaiban terikat non relative.
·         Keghaiban mutlak dapat dilihat dalam ayat berikut:
اِنَّ اللّهَ عِنْدَه عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَغْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدَا وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُ اِنَّ اللّهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ {٣٤}
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari kiamat dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam Rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha  Mengetahui, Maha Mengenal.”
·         Keghaiban terikat relatif dapat dilihat dalam ayat berikut:
ذلِكَ مِنْ اَنْبَآءِ الْغَيْبِ نُوْحِيْهِ اِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ اِذْ اَجْمَعُوْآ اَمْرَهُمْ يَمْكُرُوْنَ {١٠٢}   
                               “itulah sebagian berita ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad) padahal engkau tidak berada di samping mereka, ketika mereka bersepakat mengatur tipu muslihat (untuk memasukkan Yusuf kedalam sumur).”
·         Keghaiban terikat non relative dapat dilihat dalam ayat berikut:
المّ {١} غُلِبَتِ الرُّوْمُ {٢} فِيْ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَ {٣}
                   “Alif Lam Mim. Bangsa Romawi telah dikalahkan. Di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahan itu akan menang.”
Keghaiban itu hanya diketahui oleh Allah, dan itu merupakan keistimewaan bagi-Nya, Allah berfirman QS. Hud : 123
وَلِلّهِ غَيْبُ السَّموتِ وَ الْاَرْضِ وَاِلَيْهِ يُرْجَعُ الْاَمْرُ كُلُّه فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ {١٢٣}
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang Ghaib di langit dan di bumi, dan hanya kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertaqwalah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”[6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa beriman kepada yang ghaib adalah dasar paling penting dari keseluruhan muatan Aqidah Islam, dimana seorang tidak disebut muslim kecuali dengan keimanan tersebut. Walaupun itu tidak berarti bahwa manusia harus berlebihan meyakini yang ghaib yang sebenarnya tidak ada sehingga ia terjerumus dalam khurafat. Itu adalah kelatahan dalam memahami makna iman kepada yang ghaib. Keghaiban yang harus  diyakini adalah keghaiban yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah serta menyerahkannya kepada ilmu Allah, tanpa perlu tenggelam dalam khayalan-khayalan batil serta paham-paham palsu.

4.      Pengertian Syumuliyyah
Syumuliyyah adalah berasal dari kata syamill yang artinya sempurna atau menyeluruh. Aqidah syumuliyyah yakni Aqidah yang lengkap, sempurna, menyeluruh, komprehensif, dan integral, yaitu Aqidah dengan makna yang mencakup dan meliputi keseluruhan pokok, prinsip-prinsip, dan rukun-rukun keimanan dengan segala konsekuensinya sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.[7]
 Allah lah yang menciptakan seluruh makhluk, mengaturnya dengan sistem yang sempurna, sekaligus menentukan akhir bagi eksistensinya. Allah berfirman QS. Al-Mulk: 1-5
“Maha suci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha perkasa, Maha pengampun. Yang menciptakan tujuh lapis langit. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan tuhan yang Maha pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?. Kemudian ulangi pandangan(mu) sekali lagi dan sakali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu tanpa menemukan cacat dan ia (pandanganmu) dalam keadaan letih. Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami menjadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat pelempar setan, dan kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala.”
Bila kita mencoba untuk meneliti alam untuk menemukan celah-celah kelamahan dari struktur penciptaannya, maka kita hanya akan meletihkan pandangan mata. Sebab kita tidak akan menemukan sedikitpun dari apa yang kita cari. Alam dengan segala substansinya adalah salah satu saksi kebesaran dan keagungan Ilahi.
Dalam alam besar manusia hanya merupakan salah satu ciptaan Allah. Namun demikian, manusia hanyalah makhluk yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa selain kekuatan yang diberikan Allah Tuhan semesta alam.
Maka hubungan manusia dengan alam adalah hubungan pendayagunaan. Allah berfirman QS. Al-Jasiyah: 13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّموتِ وَالْاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ اِنَّ فِيْ ذلِكَ لَا يتِ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ {١٣}
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar tedapat tanda-tanda (kekuasaan Allah bagi yang berfikir).”
Allah adalah sembahan yang benar kepada siapa manusia harus mengarahkan seluruh tenaga dan potensinya untuk menunaikan ibadah dan mensyukuri nikmat yang tak terhingga.
Alam adalah panggung tempat manusia mementaskan fungsi khilafahnya. Maka ia ditundukkan menjamin keberlangsungan fungsi tersebut. Tetapi keduanya adalah ciptaan Tuhan yang Maha pemurah, yang menciptakan segalanya dengan sempurna dan memberikan semua fasilitas yang dibutuhkan makhluk-Nya untuk hidup dan bertahan hidup.




BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Kata Tauqifiyyah adalah bentuk taf’il dari akar kata waqf yang berarti pelanggaran dan pengungkungan. Imbuhan ya berfungsi menisbatkan. Begitu pula dengan huruf taa. Jadi kata ini merupakan bentuk masdar shina’i. Taufiq artinya perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan dengan akal yang sehat.
Aqidah ghaibiyyah (berkenaan dengan masalah ghaib). Kata ghaibiyyah adalah kata yang dinisbatkan pada kata ghaib yaitu apa yang tidak bisa ditangkap oleh pancaindra. Karena pancaindra adalah jendela akal dari memperoleh pengetahuan.
Syumuliyyah adalah berasal dari kata syamill yang artinya sempurna atau menyeluruh. Aqidah syumuliyyah yakni Aqidah yang lengkap, sempurna, menyeluruh, komprehensif, dan integral, yaitu Aqidah dengan makna yang mencakup dan meliputi keseluruhan pokok, prinsip-prinsip, dan rukun-rukun keimanan dengan segala konsekuensinya sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

2.    Saran
Dengan makalah yang kami buat, kami berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya pada karakteristik aqidah islam yang meliputi Taufiqiyyah, Ghaibiyyah, dan Shumuliyyah.








DAFTAR PUSTAKA
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 1992
Muhammad bin Ibrahim, Pengantar Studi Aqidah Islam, Jakarta: Robbani Press, 2000
Ustad Mudzofar, Karakteristik Aqidah Islam, http://ustadMudzofar.wordpress.com/2017/3/16/Karakteristik-Aqidah-Islam. Diakses pada 08 November 2018.
Taufiq Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2013
Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahan, Jakarta: PT. Hati Emas, 2015
Yusuf al-Qardhawi, Karakteristik Islam, Kajian Analistik, Surabaya: Risalah Gusti, 1995








                                                         


[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 1992), hlm. 2.
[2] Ibid, hlm. 4
[3] Muhammad bin Ibrahim, Pengantar Studi Aqidah Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hlm. 2.
[4] Ustad Mudzofar, Karakteristik Aqidah Islam, http://ustadMudzofar.wordpress.com/2017/3/16/Karakteristik-Aqidah-Islam. Diakses pada 08 November 2018.
[5] Taufiq Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 15.
[6]  Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahan, (Jakarta: PT. Hati Emas, 2015).

[7] Yusuf al-Qardhawi, Karakteristik Islam, Kajian Analistik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 76.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL