A. Pengertian
Naskh
Naskh menurut bahasa
dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya :نَسَخَتِ الشَمس الظّلَّ
artinya, matahari
menghilangkan bayang-bayang; dan وَنَسَخَتِ الرِّيْحُ اَثَرَ
اْلمَشْيِ artinya, angin menghapuskan jejak perjalanan.
Kata Naskh diartikan juga memindahkan sesuatu tempat ke tempat lain.
Naskh menurut istilah ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil
hukum (kitab) syara’ yang lain.
Para ulama banyak
berdebat mengenai ta’wil (batasan, definisi) istilah “naskh” karena kata
tersebut secara bahasa mengandung beberapa makna, yaitu:
a.
Kata “naskh” kadang-kadang bermakna
“meniadakan” (izaalah) seperti dalam surah al-Hajj, 52: “Allah kemudian meniadakan
apa yang dimasukkan oleh setan, lalu Allah memperkuat ayat-ayat-Nya”.
b.
Kata “naskh” juga bermakna “penggantian” (tabdiil),
seperti surah an-Nahl, 101: “Dan jika kami gantikan sebuah ayat-ayat lain”.
c.
Kata “naskh” juga bermakna “pemindahan” (naql)
dari suatu tempat ke tempat lain,misalnya, kalimat (nasakhtul-kitaaba).
Makna tersebut tidak dapat diterima oleh sementara ulama. Alasannya, bahwa yang
me-naskh (nasikh) tidak menggunakan kata-kata lain.
Perbedaan pendapat
dikalangan para ulama mengenai dafinisi kata “naskh” juga mengungkapkan segi
perselisihan lain tentang masalah yang amat penting, yaitu : sebagian dari
mereka membatasi soal “naskh” hanya pada hal-hal yang ada didalam Al-Qur’an itu
sendiri. Tidak apa-apa orang berpendapat adanya ayat-ayat tertentu di dalam
Al-Qur’an me-naskh ayat-ayat yang lain, karena ia melihat banyak
dalil-dalil naqli (rasional) dan naqli (naskh-naskh Al-Qur’an dan Hadits) yang
membolehkannya.
Tapi sebagian besar ulama
cenderung membolehkan menaskh hadits dengan Al-Qur’an, misalnya: me-naskh puasa
hari ‘asyura yang telah ditetapkan hadits dengan puasa Ramadhan yang diwajibkan
dalam Al-Qur’an.
Ulama seperti Shubhiy
shalih, Al-Khui dan Amir Abd al Aziz dalam pembahasan “Ulum
Al-Qur’an mereka, langsung ke dalam materi Nasikh-Mansukh. Dan mereka
membagi masalah yang tengah dibahas ini menjadi 3 kategori, yaitu:
1.
Ayat yang bacaan dan hukumnya dinasakh.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini
tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Dalam hal ini Dr. Amir
Abd al Aziz mengamnbil misal sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Yaitu hadis
dari Aisyah r.a yang mengatakan:
كَانَ
مِمَّااُنْزِلَ عَشْرُرَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَنُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ,فَتُوْفِيَ
رَسُوْلُ اللهِ.
Maksudnya, mula-mula ditetapkan
dua orang anak yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah
seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang diantara mereka
sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dinasakh menjadi
lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada
seseorang ibu ini sekarang tidak termaktub didalam mushaf karena baik bacaan
maupun hukumnya telah dinasakh. Hadis sahih ini, sekalipun mauquf kepada
‘Aisyah, tetapi menurut Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqaniy mempunyai nilai marfu’.
Alasan Al-Zarqaniy, masalah seperti itu tidak terbilang pendapat, tetapi
berdasarkan tauqif dari Rasulullah saw.
2.
Ayat yang bacaannya dinasakh, sedangkan
hukumnya tidak.
Contoh jenis ini biasanya dinasakh, diambil tentang ayat
rajam. Mula-mula, ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an, kemudian bacaannya
dinasakh, sementara hukumnya tetap berlaku. Ayat yang dinyatakan
mansukh(dinasakh) bacaannya sementara hukumnya tetap berlaku itu berbunyi:
اِذَازَنَاالشَّيْخُ
وَالشَيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا ..........
Cerita tentang orang tua berzina di atas diturunkan Amir Abd
Aziz berdasarkan riwayat Ubai bin Ka’ab. Abi Umamah bin Sahl menurunkan bunyi
yang berbeda mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansukh itu. Umamah
mengatakan :”Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
الشَيْجُ
وَالشَيْخَهُ فَارْجُمُوْهُمَاالبَتَّةَ بِمَاقَضَيَامِنَ اللَّذَّةِ
Artinya: “Seorang pria
tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat
dalam bentuk kelezatan (zina).”
3.
Ayat yang bacaannya tetap berlaku, tetapi
hukumnya tidak. Nasakh dalam kategori inilah yang menjadi pembahasan luas pakar
di Ulum Al-Qur’an. Dalam masalah ini pulalah, perselisihan pendapat di antara
ulama terjadi. Misalnya mengenai surah Al-Baqarah ayat 240, yang berbunyi:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزَوَاجًاوَصِيَةً لِاَزَوَاجِهِمْ مَتَاعًااِلَى اْلحَوْلِ
غَيْرَاِخْرَاجٍ فَاِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْ مَافَعَاْنَ فِيْ
اَنْفُسُهِنَّ مِنْ مَعْرُوْفٍ وَاللهُ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ
Artinya :”Dan orang-orang
yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan
mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (Al-Baqarah, ayat 20).
Mulanya jika seorang suami meninggal, sang istri, setelah berakhirnya
masa ‘iddah menanti selama satu tahun penuh tanpa mendapatkan warisan apa-apa.
Nasakh terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Nasakh perintah sebelum perintah itu sendiri
dilaksanakan. Misalnya perintah Allah kepada Nabi I brahim menyembelih putranya
ismail. Perintah itu segera dicabut justru sebelum Ibrahim memotong leher
putranya.
2.
Nasakh terhadap perintah yang diwajibkan
kepada umat sebelum Islam (Nasakh Tajawwuz). Misalnya pembatalan terhadap
berkiblat ke Bait al-Maqdis diganti menuju ke Ka’bah. Berkiblat ke Bait
al-Maqdis diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Kemudian perintah ini dinasakh.
Selanjutnya umat islam diwajibkan berkiblat ke Ka’bah.
3.
Nasakh terhadap perintah karena sebab
tertentu yang kemudian dibatalkan lantaran hilangnya sebab. Nasakh semacam ini
mungkin nasakh yang unik. Al-Zarkasyi mengambil misal, ketika umat islam masih
dalam keadaan lemah dan berjumlah sedikit diperintahkan bersabar tanpa
diwajibkan ber-amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan lainnya. Tetapi
setelah sebab itu sendiri hilang atau dengan kata lain setelah umat Islam kuat
dan berjumlah besar, maka diwajibkan ber-amar ma’ruf nahi munkar serta
berjihad.
Penolakan adanya naskh dalam al-Qur’an telah dibuktikan
kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah yang
kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh dilakukan apabila, (a) terdapat dua
ayat hukum yang saling bertolak belakang yang tidak dapat dikompromikan, dan
(b) harus diketahui secara menyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut
sehingga lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, yang kemudian secara nasikh.
B. Pengertian
Mansukh
Mansukh adalah hukum yang
diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris hukum yang terkandung
didalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada
kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan dijelaskan.
C. Ayat
yang Terkena Naskh
Setelah melakukan
penelitian, para ulama dan ahli ushul bertemu kata. Mereka sepakat, bahwa nasakh
hanya terjadi pada ayat amar (perintah) dan nahi (larangan) hatta amar dan
nahi itu dalam bentuk khabar (kalimat berita yang mempunyai pesan thalab
(permintaan). Sementara pada kalimat yang berbentuk khabar yang
bermakna thalab, naskh tidak terjadi. Termasuk dalam kategori ayat yang
tak terkena naskh ini : janji (wa’d), ancaman (wa’id), dan
cerita-cerita mengenai berbagai umat. Contohnya :
قَدْ
اَفْلَحَ المُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِى صَلَوتِهِمْ خَاشِعُوْنَ
Artinya
: Sungguh beruntung orang-orang Mukmin yang di dalam salat mereka khusu’
(Al-Mu’minun, ayat 1 dan 2).
D. Ayat
yang Tidak dan Kena Nasakh
Para ulama ushul, kata
Dr. Amir Abd al-aziz, sepakat bahwa nasakh hanya mungkin terjadi pada ayat yang
menyangkut amar ma’ruf dan nahi
munkar. Termasuk dalam kategori ini ayat-ayat yang bentuk kalimatnya khabar
(berita) bermakna thalab(permintaan, tuntutan). Diluar ayat-ayat
yang bentuk kalimatnya semacam ini, nasakh tidak terjadi, berikut ini
ayat yang berbentuk khabar yang mengandung makna thalab, janji (wa’d),
ancaman (wa’id) dan kisah yang tidak mungkin terjadi nasakh.
وَلَقَدْ
اَتَيْنَامُوْسَى الكِتَبَ فَاخْتُلِفَ فِيْهِ وَلَوْلَاكَلِمَةُ سَبَقَتْ مِنْ
رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَاِنَّهُ لَفِى شَكِّ مِنْهُ مُرِيْبٍ
Artinya
: Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Masa Taurat lalu diperselisihkan
padanya. Kalaulah tidak ada keputusan yang telah terdahulu dari Tuhanmu,
tentulah orang-orang kafir itu sudah dibinasakan. Sesungguhnya mereka terhadaf
Al-Qur’an benar-benar dalam keraguan yang membingungkan ( Fushsilat, ayat 45).
E.
Rukun
dan Syarat Naskh
Rukun
Naskh, yaitu:
a.
Adat naksh, adalah
pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b.
Nasikh, yaitu dalil
kemudian yang menghapuskan hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu
berasal dari Allah, karena dialah yang membuat hukum dan dia pulalah yang
menghapuskannya.
c.
Mansukh, yaitu hukum
yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d.
mansukh’ann, yaitu
orang dibebani hukum.
Adapun
syarat Naksh ialah:
a.
yang dibatalkan itu
adalah hukum syara’
b.
Pembatalan itu
datangnya dari tuntunan syara’
c.
Pembatalan hukum
tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberhentian, seperti perintah Allah
tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah melaksanakan puasa
tersebut. Tuntunan yang mengandung Naskh harus datang kemudian.
Dengan
demikian ada dua lapangan yang tidak menerima Naskh, yaitu Seluruh khabar/aqidah
baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab, pembatalan khabar berarti
mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah mustahil
memuat kebohongan.
F.
Dasar-Dasar
Penetapan Nasikh dan Mansukh
Al-Qatathan
menetapkan tiga dasar untuk menegasakan bahwa suatu nasikh (menghapus) ayat
lain mansukh(dihapus),
a.
Memalui
pentransmisian yang jelas dari nabi atau para sahabatnya seperti hadits
b.
Melalui kesepakatan
ummat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
c.
Melalui study
sejarah, mana ayat yang lebih belakang, sehingga disebut nasikh, dan mana ayat
yang duluan turun, sehingga disebut mansukh
Al-Qatathan
menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad,
pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila
dilihat dari lahirnya, atau belakang nya keislaman salah seorang dari pembawa
riwayat.
G.
Macam-Macam
Naskh dalam Al-Qur’an
a.
Naskh sharih, yaitu
ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu
b.
Nasikh Dhimmy, yaitu
jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan,
dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang lama, serta kedua-duanya diketahui
waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat terdahulu
c.
Nasikh kully, yaitu
menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
d.
Naskh juz’y, yaitu
menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya
berlaku bagi sebagian individu atau menghapus hukum yang bersifat muthallaq
dengan hukum yang muqaiyat.
H.
Pedoman
Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Sebagian
besar ulama berpendapat bahwa ada tiga metode untuk mengetahui nasakh dan
mansukh. Ketiga metode tersebut adalah :
a)
Berdasarkan informasi
yang jelas (al naql al-Sharih) yang didapat dari nabi Muhammad saw dan
sahabat. Hal ini seperti telah diungkapkan dalam sebuah hadits dari Sulaiman
bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersabda :
كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُوْرِ, فَزُوْرُوْهَا, وَفِيْ رِوَايَةٍ
فَاءِنَّهَا تُذَكَّرُ بِالاَخِرَةِ
“Aku dulu melarang berziarah kubur, sekarang berziarahlah”,
b)
Berdasarkan ijma
ulama bahwa hukum ini telah terjadi nasakh mansukh,
c)
Berdasarkan studi
sejarah tentang mana ayat-ayat yang turun terlebih dahulu (al-mutaqaddam)
dan mana yang terkemudian (al-mutaakhir).
Menurut
Al-Qattan, nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad atau berdasarkan
pendapat mufassir, atau berdasarkan dalil-dalil yang secara zhahir nampak
kontradiktif. Ketiga persyaratan itu merupakan faktor yang sangat menentukan
adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Jadi berdasarkan penjelasan diatas
dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum, dan
tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).
Sedangkan
kedudukan nasakh merupakan salah satu bentuk interpretasi hukum dalam upaya
menghadapi ayat atau hadits yang tampak kontradiktif selain dari tarjih atau
taksis dalam disiplin ilmu ushul Fiqh. Kuncinya terletak pada soal historis
yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbabun nuzul ada
dalam tingkat ini untuk mengetahui mana ayat yang datang terdahulu dan ayat
yang datang yang kemudian.
I . Kesimpulan
Naskh
adalah pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian, pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian, penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar, penetapan syarat terdapat hukum yang terdahulu yang belum
bersyarat.
Mansukh
adalah apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain,
seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar Rosihun, Ulum
Al-Qur’an, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2007.
As-Shalih Shubhi, Membahas
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus ,1993.
AS
Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2015.
Marzuki Kamaluddin, ‘Ulum
Al-Qur’an, Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 1992.
M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an , Bandung: Penerrbit Mizan, 1992.
Komentar
Posting Komentar