MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH NASIKH dan MANSUKH


A.    Pengertian Naskh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya :نَسَخَتِ الشَمس الظّلَّ  artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang; dan وَنَسَخَتِ الرِّيْحُ اَثَرَ اْلمَشْيِ artinya, angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata Naskh diartikan juga memindahkan sesuatu tempat ke tempat lain. Naskh menurut istilah ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang lain.[1]
Para ulama banyak berdebat mengenai ta’wil (batasan, definisi) istilah “naskh” karena kata tersebut secara bahasa mengandung beberapa makna, yaitu:
a.       Kata “naskh” kadang-kadang bermakna “meniadakan” (izaalah) seperti dalam surah al-Hajj, 52: “Allah kemudian meniadakan apa yang dimasukkan oleh setan, lalu Allah memperkuat ayat-ayat-Nya”.
b.      Kata “naskh” juga bermakna “penggantian” (tabdiil), seperti surah an-Nahl, 101: “Dan jika kami gantikan sebuah ayat-ayat lain”.
c.       Kata “naskh” juga bermakna “pemindahan” (naql) dari suatu tempat ke tempat lain,misalnya, kalimat (nasakhtul-kitaaba). Makna tersebut tidak dapat diterima oleh sementara ulama. Alasannya, bahwa yang me-naskh (nasikh) tidak menggunakan kata-kata lain.
Perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai dafinisi kata “naskh” juga mengungkapkan segi perselisihan lain tentang masalah yang amat penting, yaitu : sebagian dari mereka membatasi soal “naskh” hanya pada hal-hal yang ada didalam Al-Qur’an itu sendiri. Tidak apa-apa orang berpendapat adanya ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an me-naskh ayat-ayat yang lain, karena ia melihat banyak dalil-dalil naqli (rasional) dan naqli (naskh-naskh Al-Qur’an dan Hadits) yang membolehkannya.
Tapi sebagian besar ulama cenderung membolehkan menaskh hadits dengan Al-Qur’an, misalnya: me-naskh puasa hari ‘asyura yang telah ditetapkan hadits dengan puasa Ramadhan yang diwajibkan dalam Al-Qur’an.[2]
Ulama seperti Shubhiy shalih, Al-Khui dan Amir Abd al Aziz dalam pembahasan “Ulum Al-Qur’an mereka, langsung ke dalam materi Nasikh-Mansukh. Dan mereka membagi masalah yang tengah dibahas ini menjadi 3 kategori, yaitu:
1.      Ayat yang bacaan dan hukumnya dinasakh.
       Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Dalam hal ini Dr. Amir Abd al Aziz mengamnbil misal sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Yaitu hadis dari Aisyah r.a yang mengatakan:

كَانَ مِمَّااُنْزِلَ عَشْرُرَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَنُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ,فَتُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ.
Maksudnya, mula-mula ditetapkan dua orang anak yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang diantara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dinasakh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seseorang ibu ini sekarang tidak termaktub didalam mushaf karena baik bacaan maupun hukumnya telah dinasakh. Hadis sahih ini, sekalipun mauquf kepada ‘Aisyah, tetapi menurut Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqaniy mempunyai nilai marfu’. Alasan Al-Zarqaniy, masalah seperti itu tidak terbilang pendapat, tetapi berdasarkan tauqif dari Rasulullah saw.



2.      Ayat yang bacaannya dinasakh, sedangkan hukumnya tidak.
       Contoh jenis ini biasanya dinasakh, diambil tentang ayat rajam. Mula-mula, ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an, kemudian bacaannya dinasakh, sementara hukumnya tetap berlaku. Ayat yang dinyatakan mansukh(dinasakh) bacaannya sementara hukumnya tetap berlaku itu berbunyi:
اِذَازَنَاالشَّيْخُ وَالشَيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا ..........
       Cerita tentang orang tua berzina di atas diturunkan Amir Abd Aziz berdasarkan riwayat Ubai bin Ka’ab. Abi Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang berbeda mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansukh itu. Umamah mengatakan :”Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
الشَيْجُ وَالشَيْخَهُ فَارْجُمُوْهُمَاالبَتَّةَ بِمَاقَضَيَامِنَ اللَّذَّةِ
Artinya: “Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”
3.      Ayat yang bacaannya tetap berlaku, tetapi hukumnya tidak. Nasakh dalam kategori inilah yang menjadi pembahasan luas pakar di Ulum Al-Qur’an. Dalam masalah ini pulalah, perselisihan pendapat di antara ulama terjadi. Misalnya mengenai surah Al-Baqarah ayat 240, yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزَوَاجًاوَصِيَةً لِاَزَوَاجِهِمْ مَتَاعًااِلَى اْلحَوْلِ غَيْرَاِخْرَاجٍ فَاِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْ مَافَعَاْنَ فِيْ اَنْفُسُهِنَّ مِنْ مَعْرُوْفٍ وَاللهُ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ[3]
Artinya :”Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Baqarah, ayat 20).[4]
       Mulanya jika seorang suami meninggal, sang istri, setelah berakhirnya masa ‘iddah menanti selama satu tahun penuh tanpa mendapatkan warisan apa-apa.
       Nasakh terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Nasakh perintah sebelum perintah itu sendiri dilaksanakan. Misalnya perintah Allah kepada Nabi I brahim menyembelih putranya ismail. Perintah itu segera dicabut justru sebelum Ibrahim memotong leher putranya.
2.      Nasakh terhadap perintah yang diwajibkan kepada umat sebelum Islam (Nasakh Tajawwuz). Misalnya pembatalan terhadap berkiblat ke Bait al-Maqdis diganti menuju ke Ka’bah. Berkiblat ke Bait al-Maqdis diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Kemudian perintah ini dinasakh. Selanjutnya umat islam diwajibkan berkiblat ke Ka’bah.
3.      Nasakh terhadap perintah karena sebab tertentu yang kemudian dibatalkan lantaran hilangnya sebab. Nasakh semacam ini mungkin nasakh yang unik. Al-Zarkasyi mengambil misal, ketika umat islam masih dalam keadaan lemah dan berjumlah sedikit diperintahkan bersabar tanpa diwajibkan ber-amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan lainnya. Tetapi setelah sebab itu sendiri hilang atau dengan kata lain setelah umat Islam kuat dan berjumlah besar, maka diwajibkan ber-amar ma’ruf nahi munkar serta berjihad.[5]
Penolakan adanya naskh dalam al-Qur’an telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah yang kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang yang tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara menyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut sehingga lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, yang kemudian secara nasikh.[6]
B.     Pengertian Mansukh
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris hukum yang terkandung didalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan dijelaskan.[7]
C.    Ayat yang Terkena Naskh
Setelah melakukan penelitian, para ulama dan ahli ushul bertemu kata. Mereka sepakat, bahwa nasakh hanya terjadi pada ayat amar (perintah) dan nahi (larangan) hatta amar dan nahi itu dalam bentuk khabar (kalimat berita yang mempunyai pesan thalab (permintaan). Sementara pada kalimat yang berbentuk khabar yang bermakna thalab, naskh tidak terjadi. Termasuk dalam kategori ayat yang tak terkena naskh ini : janji (wa’d), ancaman (wa’id), dan cerita-cerita mengenai berbagai umat. Contohnya :
قَدْ اَفْلَحَ المُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِى صَلَوتِهِمْ خَاشِعُوْنَ
Artinya : Sungguh beruntung orang-orang Mukmin yang di dalam salat mereka khusu’ (Al-Mu’minun, ayat 1 dan 2).
D.    Ayat yang Tidak dan Kena Nasakh
Para ulama ushul, kata Dr. Amir Abd al-aziz, sepakat bahwa nasakh hanya mungkin terjadi pada ayat yang menyangkut amar ma’ruf  dan nahi munkar. Termasuk dalam kategori ini ayat-ayat yang bentuk kalimatnya khabar (berita) bermakna thalab(permintaan, tuntutan). Diluar ayat-ayat yang bentuk kalimatnya semacam ini, nasakh tidak terjadi, berikut ini ayat yang berbentuk khabar yang mengandung makna thalab, janji (wa’d), ancaman (wa’id) dan kisah yang tidak mungkin terjadi nasakh.
وَلَقَدْ اَتَيْنَامُوْسَى الكِتَبَ فَاخْتُلِفَ فِيْهِ وَلَوْلَاكَلِمَةُ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَاِنَّهُ لَفِى شَكِّ مِنْهُ مُرِيْبٍ
Artinya : Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Masa Taurat lalu diperselisihkan padanya. Kalaulah tidak ada keputusan yang telah terdahulu dari Tuhanmu, tentulah orang-orang kafir itu sudah dibinasakan. Sesungguhnya mereka terhadaf Al-Qur’an benar-benar dalam keraguan yang membingungkan ( Fushsilat, ayat 45).[8]
E.     Rukun dan Syarat Naskh
Rukun Naskh, yaitu:
a.       Adat naksh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b.      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapuskan hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena dialah yang membuat hukum dan dia pulalah yang menghapuskannya.
c.       Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d.      mansukh’ann, yaitu orang dibebani hukum.
Adapun syarat Naksh ialah:
a.       yang dibatalkan itu adalah hukum syara’
b.      Pembatalan itu datangnya dari tuntunan syara’
c.       Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberhentian, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah melaksanakan puasa tersebut. Tuntunan yang mengandung Naskh harus datang kemudian.
Dengan demikian ada dua lapangan yang tidak menerima Naskh, yaitu Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab, pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
F.     Dasar-Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Al-Qatathan menetapkan tiga dasar untuk menegasakan bahwa suatu nasikh (menghapus) ayat lain mansukh(dihapus),
a.       Memalui pentransmisian yang jelas dari nabi atau para sahabatnya seperti hadits
b.      Melalui kesepakatan ummat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
c.       Melalui study sejarah, mana ayat yang lebih belakang, sehingga disebut nasikh, dan mana ayat yang duluan turun, sehingga disebut mansukh
Al-Qatathan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakang nya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
G.    Macam-Macam Naskh dalam Al-Qur’an
a.       Naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu
b.      Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang lama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat terdahulu
c.       Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
d.      Naskh juz’y, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu atau menghapus hukum yang bersifat muthallaq dengan hukum yang muqaiyat.[9]
H.    Pedoman Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ada tiga metode untuk mengetahui nasakh dan mansukh. Ketiga metode tersebut adalah :
a)      Berdasarkan informasi yang jelas (al naql al-Sharih) yang didapat dari nabi Muhammad saw dan sahabat. Hal ini seperti telah diungkapkan dalam sebuah hadits dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersabda :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُوْرِ, فَزُوْرُوْهَا, وَفِيْ رِوَايَةٍ فَاءِنَّهَا تُذَكَّرُ بِالاَخِرَةِ

“Aku dulu melarang berziarah kubur, sekarang berziarahlah”,
b)      Berdasarkan ijma ulama bahwa hukum ini telah terjadi nasakh mansukh,
c)      Berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat-ayat yang turun terlebih dahulu (al-mutaqaddam) dan mana yang terkemudian (al-mutaakhir).
Menurut Al-Qattan, nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad atau berdasarkan pendapat mufassir, atau berdasarkan dalil-dalil yang secara zhahir nampak kontradiktif. Ketiga persyaratan itu merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Jadi berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum, dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).
Sedangkan kedudukan nasakh merupakan salah satu bentuk interpretasi hukum dalam upaya menghadapi ayat atau hadits yang tampak kontradiktif selain dari tarjih atau taksis dalam disiplin ilmu ushul Fiqh. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbabun nuzul ada dalam tingkat ini untuk mengetahui mana ayat yang datang terdahulu dan ayat yang datang yang kemudian.[10]
I . Kesimpulan
Naskh adalah pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian, pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian, penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar, penetapan syarat terdapat hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Mansukh adalah apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri.












DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihun, Ulum Al-Qur’an, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2007.
As-Shalih Shubhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus ,1993.
AS Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2015.
Department Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta : PT. Samil Cipta, 2004
Jurnal Didaktika Islamika,  Konsep Naskh dan Mansukh dalam Al-Qur’an, volume 7 Nomor 1 pebruari 2016.
Marzuki Kamaluddin, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 1992.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an , Bandung: Penerrbit Mizan, 1992.


[1] Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2015) , hlm.  327
[2] Shubhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus , 1993) hlm. 337
[3]Department Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : PT. Samil Cipta, 2004), hlm. 5
[4] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung : PT. Remaja  Rosdakarya, 1992) , hlm. 136
[5]Ibid,  hlm. 139
[6] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an , (Bandung: Penerrbit Mizan, 1992), hlm. 146
[7] Mudzakir, Op.Cit, hlm. 328
[8] Kamaluddin Marzuki, Op.Cit, hlm. 141
[9] Rosihun Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : CV Pustaka Setia,  2007) , hlm. 165
[10] Jurnal Didaktika Islamika,  Konsep Naskh dan Mansukh dalam Al-Qur’an, volume 7 Nomor 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL