MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH SUMBER JIWA BERAGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran ( cognisi ), perasaan ( emotion ). Gejala tersebut secara umum memiliki cirri-ciri hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradap. Dapat juga bahwa psikologi agama adalah ilmu juga yang mempelajari kehidupan beragama seseorang dalam ruang lingkup keseharian pada tingkah laku dan sikapnya dalammerealisasikan keagamaan.
            Setiap manusia akan berbeda dalam pengertian agama, namun akan tetap sama dalam permaknaannya ( tafsir ). Dalam hal ini pribadatan agama akan menunjukkan jalan keseluruhan bagi manusia untuk sentiasa mengabdikan dirinya kepada tuhan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Fitrah Sebagai Potensi Beragama.
2.      Teori Fakulti.
3.      Teori Monistik.
C.     Tujuan Masalah
1.      Kita bisa mengetahui bagai mana yang dimaksud fitrah sebagai potensi beragama?
2.      Bagaimana yang dimaksut teori fakulti?
3.      Apa yang dimaksud dengan teori monistik?









BAB III
PEBAHASAN
A.    Fitrah Sebagai  Potensi Beragama
            Fitrah diungkapkan dalam Al-Quran sebanyak 20 kali yang tergelar dalam 17 surat.  Diantara yang memuat kata fitah adalah QS. Al- Ruum ayat 30 yang artinya sebagai berikut: maka hadapkanlah   wajahmu dengan lurus  kepada agama ( Allah ): ( tetaplah atas ) fitrah allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ( Itulah ) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui ( QS. A-Ruum: 30 ). Fitrah tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptatakan oleh Allah Swt. Menurut fitrahnya. Fitrah ini merupakan citra manusia yang penciptaannya tidak ada perubahan, sebab jika berubah maka eksistensi manusia menjadi hilang.
            Keajaiban fitrah sebagai pertanda agama yang lurus, walaupun hal itu tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Syaikh Nadm dalam bukunya Qishalul islam yang diterjemahkan. A. Hanafi dengan kisah mencari tuhan, menggambarkan bahwa keraguan manusia itu terjadi ketika mengungkapkan penciptaan alam dari tidak ada menjadi ada. Manusia dengan bekal akal budi telah membuat para malaikat kekagum-kaguman.[1]
            Kemampuan kreatifitasnya sangat luar biasa. Bekal tuhan untuk manusia benar-benar teruji oleh malaikat. Namun, manusia juga luput dari kelemahan , dan yang sangat menonjol adalah sifat senang dengan yang sudah ada dorongan ingin tahu. Adanya agama sebagai fitrah akan selalu mengontrol seluruh gerak-gerik manusia. Ketetapannya akan terus teruji. Walaupun banyak manusia mencoba untuk memisahkannya dari ilmu pengetahuan, ayatnya akan tetap selalu mengalami kedangkalan dalam pembahasan dan pola pikir yang mereka sanjung selama ini.



B.     Teori Fakulty ( faculty theory )
            Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor  yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi cipta ( reason), rasa  ( emotion ) dan karsa ( will ). Demikian pula perbuatan manusia yang bersipat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut:
1.      Cipta ( reason )
      Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam ( theology ) merupakan cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta orang dapat minilai dan membandingkan dan selanjutnya memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. perasaan intelek ini dalam agama  merupkan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern peranan dan fungsi reason ini sangat menentukan.[2]
      Dalam lembaga-lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran berdasarkan jalan pikiran yang sehat  dalam mewujudkan  ajaran-ajaran yang masuk akal,  fungsi berpikir sangat diutamakan.  Malahan ada yang beranggapan bahwa agama yang ajarannya tidak sesuai dengan akal merupakan agama yang kaku dan mati.
2.      Rasa ( emotion )
      Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperanan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang.betapapun pentingnya fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebih-lebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin.
      Untuk itu fungsi reason, hanya pantas berperanan dalam  pemikiran mengenai super natural, saja, sedangkan untuk member makna dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan  yang seksama dan mendalam sehingga ajaran itu tampak  hidup. Jadi yang menjadi obyek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi,melainkan sampai beberapa jauhkah peranan emosi itu dalam agama. Sebab jika secara mutlak emosi yang berperanan tunggal adalam agama, maka ia akan mengurangi nilai agama itu sendiri sebagai mana yang dikemukakan oleh W. H. Clark, upacara keagamaan yang hanya menimbulkan keributan bukanlah merupakan agama sama sekali.
3.      Karsa ( will )
      Merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi mendorong timbulnya  pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan  fungsi kejiwaan.  Mungkin saja pengalaman agama seseorang bersifat intelek ataupun emosi, namun juka tanpa adanya peranan will maka agama tersebut belum tentu terwujud sesuai dengan kehendak reason  aatau emosi. Masih diperlukan suatu tenaga pendorong agar ajaran keagamaan itu menjadi suatu tindak keagamaan.[3]
      Jika hal yang demikian terjadi misalnya orang tersebut berbuat suatu yang bertentangan dengan kehendaknya, maka itu berarti fungsi willnya lemah . jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam bentuk perwujudan yang sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbangi tingkah laku, perbuatan dan kehidupannya sesuai dengan kehendak tuhan. Maka berarti fungsi willnya kuat. Suatu kepercayaan yang dianut tidak akan berarti sama sekali apabila dalam keyakinan kepercayaan itu will berfungsi wajar.
      Sejalan dengan fungsi reason dan emosi , maka fungsi will pun tidak boleh berlebih-lebihan. Jika hal itu terjadi maka akan terlihat tindak keagamaannya yang berlebih-lebihan pula. Keadaan yang demikian itu akan menyebabkan penilaiaan masyarakat terhadap agama itu tidak akan mendapat tempat yang sewajarnya. Mungkin golongan yang demikian itu melaksanakan ajaran keagamaan dengan secara efisien  tetapi pada dasarnya mereka belum dapat menempatkan ajaran keagamaan pada proporsi yang sebenarnya.
      Ketiganya berfungsi sebagai:
a.      Cipta ( reason ), berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
b.      Rasa ( emotion ) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
c.      Karsa ( will ) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin  keagamaan yang benar dan logois.
            Beberapa pemuka teori fakulti
1)   G.M. Straton
      G .M. Straton mengemukakan teori “ konflik”. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi  sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti, baik-buruk,moral-immoral, kefasipan-keaktifa, rasa rendah diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan ( konflik ) dalam diri manusia.
      Dikotomi ( serba dua ) termasuk menimbulkan rasa agama dalam diri manusia. Adanya dikotomi itu merupakan kenyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik selain dapat membawa kemuduran ( kerugian ) tetapi ada juga dalam kehidupan sehari-hari konflik mmbawa kea rah kemajuan, seperti konflik dalam ukuran moral dan ide-ide keagamaan dapat menimbulkan pandangan baru.[4]
      Jika konflik itu sudah demikian mecekam manusia dan mempengaruhi kehidupan kejiwaannya, maka manusia itu mecari pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tertinggi ( Tuhan ). Seperti Sigmund Freud berpendapat bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan yang mendasar yaitu:
a.       Life-urge, ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan yang terdahulu agar terus berlanjut.
b.      Deadh-urge, ialah keingia untuk kembali ke keadaan semula sebagai beda mati ( anorganis )
Selajutnya G.M. Straton berpendapat konflik yang positif tergantung atas adanya doronga pokok yang merupakan  dorongan dasar ( basic-urge ), sebagai keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut. Melanjutkan pendapat tersebut kemudian dalam penerapannya W.H. Clark berpendapat  berdasarkan keingina dasar yang dikemukakan oleh Sigmund Freud itu berpendapat, bahwa ekspresi dari pertetangan antara death -urge dan life-urge merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia.
Jadi dalam hal ini W.H. Clark meggabungkan pendapat antara G.M.Straton dengan teori konfliknya dan teori Sigmund  Freud berupa dominasi antara life-urge  dan death-urge. Dalam kenyataan kehidupan keagamaan kita dapat melihat adanya dorongan life-urge ini secara positif hingga para pemeluk agama mengamalkan agamanya dengan penuk ke ikhlasan dalam hidupnya, dorongan oleh kekuatan akan deadh-urge ( hari akhirat ).
Di dunia mereka memperluhur budi agar disenangi manusia dan tuhan sehingga diharapkan akan berumur panjang (life-urge ) serta jika meninggal nantinya akan mendapat tempat secara wajar disisi tuhannya (deadh-urge ). Life-urge membawa penganut agama kea rah pandangan yang positif dan liberal sedangkan death-urge membawa kea rah sikap pasif dan konservativisme ( jumud ). Menurut penelitian W.H.Clark 58% dari hymne gerejani mencerminkan keinginan dan harapan bagi kesenangan hidup di ahri akhirat. Irama yang demikian menyebabkan kecendrungan ajaran agama nasrani  kearah konservatif[5]. Ini merupakan salah satu penyebab timbulnya reformasi dalam agama nasrani. Misalnya timbulnya protestan pantekosta dan lain sebagainya.
2)      Zakiah Daradjat
      Dr. Zakiah Darajat berpendapat bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan, bahwa selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani manusiapun mempunyai satu kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam  kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan.
                  Unsure-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu:
a.       Kebutuhan akan rasa kasih sayang kebutuhan yang menyebabkan manusia mendambakan  rasa kasih. Sebagai mana pernyataan  tersebut dalam bentuk negatifnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, mengeluh, mengadu, menjilat kepada atasan mengambinghitamkan orang dan lain sebagainya. Akibat dari  tidak terpenuhinya kebutuhan ini maka akan timbul gejala psiko-somatis misalnya, hilang nafsu makan,  pisimis, keras kepala, kurang tidur dan lain-lain.
b.      Kubutuhan akan rasa aman,  kebutuhan yang mendorong manusia mengharapkan adanya perlindungan. Kehilangan rasa aman ini akan mengakibatkan manusia sering curiga, nakal, mengganggu terhadap dirinya, misalnya, sistem perdukunan, pertapaan dan lain-lain.
c.       Kebutuhan akan rasa harga diri, kebutuhan yang bersifat individual yang mendorong manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam kenyataannya terlihat misalnya, sikap sombong, ngambek, sifat sok tahu dan lain-lain. Kehilangan rasa harga diri ini aakan mengakibatkan tekanan batin,misalnya sakit jiwa, delusi dan illusi.
d.      Kebutuhan akan rasa bebas, kebutuhan yang menyebabkan  seseorang bertindak secara  bebas, untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega. Kebebasan dapat dalam bentuk tindakan ataupun pernyataan verbal. Kebutuhan akan rasa bebas ini terlihat dari pernyataan kebebasan untuk menyatakan keinginan sesuai dengan pertimbangan batinnya, misalnya, melakukan sesuatu dan menyatakan  sesuatu.[6]
e.       Kebutuhan akan rasa sukses, kebutuhan manusia yang menyebabkan ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalambentuk penghargaan terhadap hasil karyanya. Jika kebutuhan akan rasa sukses ini ditekan, maka seseorang yang mengalami hal tersebut akan kehilngan harga dirinya.
f.       Kebutuhan akan rasa ingin tahu ( mengenal ), kebutuhan yang menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini diabaikan akan mengakibatkan tekanan batin,oleh krena itu kebutuhan ini harus sisalurkan untuk memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.
     Menurut Zakiah Darajat selanjutnya gabungan dari keenam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik maka kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses, dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.
3)      W. H. T homas
      Melalui the four wishesnya ia mengemukakan, bahwa yang menjadi sumber kajian agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam  jiwa manusia yaitu:
a.       Keinginan untu keselamatan ( security )
            Keingina ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis maupun non biologis.Misalnya mencari makanan, perlindungan diri dan lain sebagainya.[7]
b.      Keinginan untuk mendapat penghargaan ( recognition )
            Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain. Ia mendambakan dirinya untuk selalu menjdi orang terhormat dan dihormati.
c.       Keinginan untuk ditanggapi ( response ).
            Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencintai dan dicintai dalam pergaulan.
d.      Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru ( new experience )
            Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasikan dirinya untuk mengenal sekeliling da mengembangkan dirinya. Manusia pada dasarnya selalu cepat bosan dan jemu terhadap sesuatu dan hal-hal yang selalu ada disekelilingnya. Mereka selalu ingin mencari dan mengetahui sesuatu yang tak tampak dan berada di luar dirinya.
     Didasarkan atas ke empat ke inginan dasar itulah pada umumnya manusia itu menganut agama menurut W.H.Thomas. Melalui ajaran agama  yang teratur, maka ke empat keinginan dasar itu akan tersalurkan. Dengan menyembah dan mengabdi diri kepada tuhan keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.
     Pengabdian menimbulkan perasaan mencintai dan dicintai. Demikian pula keinginan untuk mendapat penghargaan maka ajaran agama mengindoktrinasikan konsep akan adanya balasan bagi setiap amal, baik dan buruk. Juga agama member penghargaan kepada penganutnya yang setia dan ikhlas melebihi penganut awam lainnya (ningat kaum ulama ,pendeta ataupun pimpinan lainnya ).[8]
      kharisma para pimpinan keagamaan merupakan ganjaran batin  (remuneration  )  dalam kehidupan seseorang penganut agama yang mereka dambakan berdasarkan keinginan untuk dihargai ( recognition ). Selanjutnya penelitian dan penelaahan ajaran-ajaran keagamaan dapat menyalurkan kebutuhan manusia akan keinginan terhadap pengalaman dan pengetahuan yang baru ( ingat para mujaddid dan reformer dalam bidang keagamaan )




C.     Teori Monistik ( mono= satu )
            Teori monistik berpendapat, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber tunggal manakah yang dimaksut yang paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu timbul beberapa pendapat, yaitu yang dikemukakan oleh:
1.      Thomas Van Aquino
      Sesuai dengan misalnya Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu, ialah berpikir.  Manusia- ber-tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berpikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
2.      Fredrick Hegel
      Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thomas Van Aquino, maka filosof jerman ini berpendapat agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi. Berdasarkan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran.
3.      Fredrick Schleimacher
      Berlain dengan pendapat kudua ahli di atas, maka F. Schleimacher berpendapat, bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak ( sense of depend ). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah timbul konsep tentang tuhan. [9]
      Manuia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, makanya mereka menggantung harapannya kepada suatu kekuasaan  yang mereka anggap mutlak adanya. Berdasarkan konsep ini timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapatbmelindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka  namakan tuhan.
4.      Rudolf  Otto
      Menurut tokoh ini sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other ( yang sama sekali lain ). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap suatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental seperti itu diistilahkan oleh R. Otto Numinous. Perasaan yang semacam itulah yang menurut pendapatnya sebagai sumber d
ari kejiwaan agama pada manusia.  Walaupun faktor-faktor lainnya diakui pula R. Otto namun ia berpendapat Numinous merupakan sumber yang esensial.
5.      Sigmund Freud
      Pendapat S. Freud unsure kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sexuili ( naluri seksual ). Berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ketuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses.
a)      Oedipoes complek
            mitos yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian yang demikian itu berawal dari manusia primitive. Mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang  berasal dalam masyarakat promiscuitas. Setelah ayah mereka mati, maka timbullah rasa bersalah ( sense of guilt ) pada diri anak-anak itu.[10]
b)     Father image ( citra bapak )
            Setelah mereka membunuh ayah mereka dan dihantui oleh rasa bersalah itu, timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan mereka yang telah mereka lakukan. Timbullah keinginan untu memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh itu, karena khawatir akan pembalasa arwah tersebut. Realisasi dari pemujaan itulah menurutnya sebagi asal dari upacara keagamaan. Jadi menurut Freud, agama muncul  dari ilusi ( khayalan ) manusia.
c)      William Mac Dougall[11]
                        Sebagai salah seorang ahli psikologi instink, ia berpendapat bahwa memang instink khusus sebagai sumber agama tidak ada.  Ia berpendapat sumber kejiwaan agama merupakan  kumpulan dari beberapa instink. Menurut Mac Dougall, pada diri manusia terdapat 14 macam instink. Maka agama timbul dari dorongan instink secara terintekrasi. Namun demikian teori instink agama ini banyak mendapat bantahan dari para ahli pisikologi agama. Alasannya, jika agama merupakan instink, maka setiap orang tanpa harus belajar agama pasti akan terdorong secara psontan ke gereja, begitu mendengar bunyi lonceng greja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
                               












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                  Fitrah ini merupakan citra manusia yang penciptaannya tidak ada perubahan, sebab jika berubah maka eksistensi manusia menjadi hilang
      Teori fakulti ( faculty theory )
                        Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor  yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi cipta ( reason), rasa  ( emotion ) dan karsa ( will )
Teori Monistik ( mono= satu )
            Teori monistik berpendapat, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber tunggal manakah yang dimaksut yang paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu timbul beberapa pendapat, yaitu yang dikemukakan oleh:
Thomas Van Aquino
            Sesuai dengan misalnya Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu, ialah berpikir.







DAFTAR PUSTAKA

        Jalaluddin Dan Ramayulis, Pengertian Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 2010 .

        Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000 .


      Mujib, Abdul, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Sakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
        Sapuri, Rafi, Psikologi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009 .

        Thouless, Robert, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta: Raja wali, 1992 .






       [1] Mujib, Abdul, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 ), hlm.77-78
        [2] Jalaluddin, Psikologi Agama, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000 ), hlm. 56.
        [3] Thouless, Robert, Pengantar Psikologi Agama, ( Jakarta: Raja wali, 1992 ), hlm. 58.
        [4] Ibid., hlm. 59
   [5] Jalaluddin Dan Ramayulis, Pengertian Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2010 ), hlm. 26.
        [6] Sakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), hlm. 39
        [7] Ibid., hlm. 20.
[8] Ibid., hlm.21
        [9] Sapuri, Rafi, Psikologi Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009 ), hlm. 24-25.
        [10] Ibid., hlm. 10
        [11] Ibid., hlm. 15.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL