MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH FILOSOF MUSLIM IBNU MASARRAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Mahasiswa umumnya dituntut untuk mengetahui berbagai mata kuliah sesuai dengan apa yang sedang dipelajarinya. Dan untuk saat ini kami dituntut tahu mengenai sejarah Ibnu Masarrah baik dari segi sejarah hidupnya karyanya dan pemikirannya. Pada dasarnya mahasiswa sudah mempelajari mengenai filsafat, namun mengenai filsafat Islam masihlah sangat awam. Dan untuk itulah kami membuat makalah ini, untuk dapat mengetahui lebih dalam dan jauh mengenai sejarah filsafat Islam di dunia ini. Dan yang lebih terpenting untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat Islam itu sendiri.
B.      RUMUSAN MASALAH
1.       Bagaimana biografi Ibnu Masarrah?
2.       Apakah karya dan pemikiran Ibnu Masarrah?

  
BAB II
PEMBAHASAN
A.      BIOGRAFI IBNU MASARRAH
Nama lengkap Ibn Masarrah adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Masarrah (269-319 H.). ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filisof dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esetrik madzhab Al-Mariyah. lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Musthafa Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk aliran ittihadiyyah. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu berpaling pada madzhab Neo Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno.[1]
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah bin Najih al-Qurtubi, ia lahir tahun 269 H/ 883 M di Cordova, Andalusia (Spanyol). Ibnu Masarrah seorang filosof muslim dan juga seorang sufi yang mengambil ajaran-ajaran neo-platonik Yunani dan sekaligus mengembangkannya, dimana ia memadukan pemikiran filsafat dan tasawuf. Ia merupakan pendahulu dari Ibnu ‘Arabi dan Imam al-Syadzili.
Ibnu Masarrah sebagai pendahulu dalam gerakan filosof Islam di Spanyol, mengikuti al Kindi yang alim dan sezaman dengan ar-Razi yang radikal.
Ayahnya seorang pedagang yang berkesempatan mempelajari madzhab Mu’tazilah di Basrah dan temannya adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah Andalusia yaitu Kkholil al-Guflah. Pada saat itu ide-ide Mu’tazilah, ilmu kalam dan filsafat sangat terkenal dan sangat berharga bagi para pemikir Andalusia.
Ibnu Masarrah mempelajari ilmu agama dan filsafat muktazilah dari ayahnya. Ayahnya meninggal tahun 286 H/ 899 M, pada saat itu Ibnu Masarrah berumur 7 tahun, dan pada usia yang begitu dini ia sudah menjadi zahid dan sering menyendiri (i’tizal) bersama beberapa teman-temannya dan para pengikutnya di gunung Cordova. Ia mengajarkan gagasan-gagasan mu’tazilah tentang paham qadariyah, dan mengajarkan pula bahwa kenikmatan surga dan siksa neraka tidaklah berkaitan dengan jasmani, tetapi berkaitan dengan jiwa. Ajaran-ajarannya ini mendapatkan kecaman dan tantangan dari ahli madzhab Maliki yang bernama Ahmad bin Khalid al-Habbab, ia membuat buku untuk menentang pendapat Ibnu Masarrah.
Karena banyaknya tantangan dan kecaman, Ibnu Masarrah keluar dari Andalusia untuk menunaikan ibadah haji bersama dua muridnya yaitu Muhammad bin al-Madini dan Ibnu Suqail al-Qurtubi. Mereka singgah di Kairouan, kemudian setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mekkah, dan disini mereka singgah di rumah Abi Sa’id bin al-‘Arabi (w. 341 H), yang merupakan salah seorang murid al-Junaid, tetapi Aba Sa’ad tidak setuju dengan gagasan-gagasan Ibnu Masarrah, maka ia membuat buku yang menentang Ibnu Masarrah. Dari perjalanannya ini Ibnu Masarrah telah mendapatkan banyak manfaat ilmu dari bermacam-macam madzhab teologi dan ajaran-ajaran sufi.
Setelah perjalanannya yang cukup panjang, Ibnu Masarrah kembali ke Cordova, ia ber’itizal sekali lagi di gunung dan mengajari murid-muridnya secara sembunyi-sembunyi. Ia beserta murid-muridnya ingin membuktikan kepada para ahli Fiqih bahwa ajaran mereka tidaklah bertentangan dengan agama, Ibnu Masarrah meninggal dunia tahun 319 H / 931 M, pada usia hampir 50 tahun.[2]
Muhammad bin Abdullah bin Masarrah bin Najih al-Qurtubi atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Masarah adalah seorang seorang filosof muslim Andalusia (Spanyol) dan juga seorang sufi yang mengambil ajaran-ajaran neo-platonik Yunani dan sekaligus mengembangkannya, dimana ia memadukan pemikiran filsafat dan tasawuf. Ia merupakan pendahulu dari Ibnu ‘Arabi dan Imam al-Syadzili. Ibnu Masarrah sebagai pendahulu dalam gerakan filosof Islam di Spanyol, mengikuti al- Kindi yang alim dan sezaman dengan ar-Razi yang radikal.
Ibn Masarah lahir tahun 269 H/ 883 M di Cordova, Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang pedagang yang berkesempatan mempelajari madzhab Mu’tazilah di Basrah dan temannya adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah Andalusia yaitu Kkholil al-Guflah. Pada saat itu ide-ide Mu’tazilah, ilmu kalam dan filsafat sangat terkenal dan sangat berharga bagi para pemikir Andalusia.
Ibnu Masarrah mempelajari ilmu agama dan filsafat Muktazilah dari ayahnya. Ayahnya meninggal tahun 286 H/ 899 M, pada saat itu Ibnu Masarrah berumur 7 tahun, dan pada usia yang begitu dini ia sudah menjadi zahid dan sering menyendiri (i’tizal) bersama beberapa teman-temannya dan para pengikutnya di gunung Cordova.
Ia mengajarkan gagasan-gagasan mu’tazilah tentang paham qadariyah, dan mengajarkan pula bahwa kenikmatan surga dan siksa neraka tidaklah berkaitan dengan jasmani, tetapi berkaitan dengan jiwa. Ajaran-ajarannya ini mendapatkan kecaman dan tantangan dari ahli madzhab Maliki yang bernama Ahmad bin Khalid al-Habbab, ia membuat buku untuk menentang pendapat Ibnu Masarrah.
Karena banyaknya tantangan dan kecaman, Ibnu Masarrah keluar dari Andalusia untuk menunaikan ibadah haji bersama dua muridnya yaitu Muhammad bin al-Madini dan Ibnu Suqail al-Qurtubi. Mereka singgah di Kairouan, kemudian setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mekkah, dan disini mereka singgah di rumah Abi Sa’id bin al-‘Arabi (w. 341 H), yang merupakan salah seorang murid al-Junaid, tetapi Aba Sa’ad tidak setuju dengan gagasan-gagasan Ibnu Masarrah, maka ia membuat buku yang menentang Ibnu Masarrah. Dari perjalanannya ini Ibnu Masarrah telah mendapatkan banyak manfaat ilmu dari bermacam-macam madzhab teologi dan ajaran-ajaran sufi.
Setelah perjalanannya yang cukup panjang, Ibnu Masarrah kembali ke Cordova, ia ber’itizal sekali lagi di gunung dan mengajari murid-muridnya secara sembunyi-sembunyi. Ia beserta murid-muridnya ingin membuktikan kepada para ahli Fiqih bahwa ajaran mereka tidaklah bertentangan dengan agama, Ibnu Masarrah meninggal dunia tahun 319 H / 931 M, pada usia hampir 50 tahun.[3]

B.      KARYA DAN PEMIKIRAN IBNU MASARRAH
1.       Ajaran Tasawuf Ibn Masarrah
Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut :
a.       Jalan menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
Di antara pemikiran ibn masarrah adalah bahwa jalan keselamatan adalah penyucian diri, kezuhudan, tindakan mempriotaskan akal atas panca indera dan berusaha kembali kepada cinta merupakan pokok utama kehadiran manusia di alam semesta. Sebab, dengan cara itu, berbagai unsur kejadiannya akan bersatu satu sama lainnya, sehingga terbentuklah suatu kesatuan (al-wahdah) atau seluruh maujud akan berkumpul dalam kecintaan, kebencian, kasih sayang, dan keterpaksaan seperti asalnya.
b.       Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
Di antara pemikiran yang di anggap ciri khas ibn masarrah adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (ta’wil) sejalan dengan pemikiran philon  iskandar atau sekte ismailiyyah. Ibn masarrah sangat banyak melakukan penakwilan atas ayat-ayat al-qur’an dengan corak penakwilan sekte kebatinan. Ia menolak kebangkitan jasmani di akhirat, menafikan pengetahuan Allah SWT tentang hal-hal particular kecuali bila sudah terjadi.
c.       Sisksa neraka bukanlah hal yang hakekat
Selain dari ketiga ajaran di atas, menurut ibn hazm, kebanyakan pengikut ibn masarrah menyebutkan bahwa ibn masarrah berpendapat kenabian adalah sebuah maqam yang bisa dicapai dengan usaha. Orang yang telah mencapai puncak kesalihan dan kesucian jiwa, bisa mendapatkan maqam kenabian. Menurutnya, kenabian pada dasarnya bukanlah sesuatu yang istimewa
2.       Karya- karya ibnu masarah diantaranya adalah buku – buku yang memuat teori iluminasi adalah kitab yang berjudul:
a.       Tauhid al- Muqinin: Dalam kitab ini, beliau menuliskan tentang sifat tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan bukan zat.
b.       Kitab al- tabsirat( buku pengajaran)
c.       Kitab al- huruf ( lambing-lambang huruf).
Dalam bukunya “Risalah al-‘Itibar”, Ibnu Masarrah mejelaskan bagaimana manusia dapat mencapai kebenaran yang hakiki (Tuhan). Buku ini merupakan upaya Ibnu Masarrah sebagai seorang filosof muslim setelah al-Kindi (filosof Arab) untuk menyelaraskan antara filsafat dengan agama. Dimana pada saat itu filsafat dan para filosof mendapat banyak kecaman dari kaum agamis. Mereka diserang sebagai pembuat bid’ah. Ibnu Masarrah sependapat dengan pemikiran al-Kindi bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama.
Penulis ingin menguraikan pendapat Ibnu Masarrah dalam usahanya untuk mencari kebenaran yang hakiki (Tuhan) dan diikuti oleh dalil-dalil al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa filsafat dengan agama tidaklah bertentangan, menurut Ibnu Masarrah ada 2 cara : [4]
1.  Wahyu (agama)
Cara wahyu dimulai dari yang paling tinggi yaitu Tuhan, kemudian turun secara bertahap sampai kepada yang terendah (manusia). Artinya wahyu diturunkan oleh Allah melalui perantaraan malaikat Jibril, kemudian diberikan kepada manusia (dalam hal ini para nabi dan para rasul) kemudian para nabi dan rasul menyampaikannya kepada umatnya. [5]
Sesuai dengan petunjuk al-Qur’an bahwa Tuhan adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan Ia memberikan ilmu-Nya kepada manusia yang dikehendakiNya. Sebagian pengetahuan tersebut ada yang disampaikan Tuhan kepada nabi Muhammad saw melalui Qur’an secara essensial mencakup tentang moral, keimanan dan sebagainya. Sebagian pengetahuan tersebut ada yang diberikan Tuhan melalui usaha manusia. Pengetahuan yang kedua ini berkaitan dengan fenomena alam.
Wahyu inilah yang membimbing manusia untuk dapat mencapai kebenaran yang hakiki (Tuhan). Ibnu Masarrah sependapat oleh aliran mu’tazilah mengungkapkan mengenai fungsi wahyu. Bahwa wahyu dapat menjelaskan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan. Menurut Ibn Abi Hasyim (seorang tokoh Mu’tazilah) mengatakan bahwa ritual-ritual ibadah, seperti sholat dapat diketahui manusia bukan melalui akal tetapi melalui wahyu. Nabi-lah yang membawa ritual-ritual itu dan apa yang dibawa oleh nabi tidak boleh tidak mesti benar, dan ini menunjukkan fungsi wahyu.[6]
2.  Akal
Menurut Ibnu Masarrah, manusia telah dikaruniakan akal yang dapat berfungsi untuk mengetahui adanya Tuhan. Ibnu Masarrah menjelaskan lebih lanjut bahwa akal dapat mencapai pengetahuan akan adanya Tuhan melalui tanda-tanda yang ada pada makhluk-Nya, kemudian dengan mengamati dan mengambil pelajaran dari gejala-gejala alam dan apa yang terjadi di sekitarnya.
Cara akal dimulai dimulai dari yang terendah yang ada di bumi (manusia berfikir dengan akalnya) kemudian naik secara bertahap sampai kepada yang mahatinggi- Allah. Ibnu Masarrah menambahkan dengan menjelaskan keadaan para wali yang arif dan bijaksana (awliya al mustabsirin) “ Demi Tuhan, telah terbuka fikiran mereka dengan menyaksikan langit dan bumi dan dengan diutusnya para nabi dan rasul ke dunia ini.
Sebagai salah satu fungsi dari akal, Ibnu Masarrah menjelaskan mengenai cara i’tibar (mengambil pelajaran) atau ta’ammul. Ibnu Masarrah mengatakan “Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengambil pelajaran dari hal-hal tersebut (penciptaan langit dan bumi). Dan Allah menunjukkan kepada orang-orang Baduy adanya penciptaan bumi, sedangkan alam jagad raya dan makluknya serta tanda-tanda penciptaannya merupakan jalan yang ditempuh oleh para mu’tabir untuk sampai kepada yang MahaBesar.
Pendapat Ibnu Masarrah mengenai metodologi riset (pencarian kebenaran yang hakiki yaitu Tuhan), nampaknya sedikit berbeda dengan pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm kebenaran hanya diperoleh dari manusia saja. Ibnu Hazm menjabarkan mengenai bagaimana manusia dapat memperoleh kebenaran, yaitu melalui cara-cara :[7]
3.  Panca indera, Akal, Intuisi
Menurut Ibnu Hazm, manusia dapat mencapai kebenaran dengan dua daya, yaitu daya indera dan akal. Daya indera mampu menangkap realitas obyek, sedangkan akal menangkap hal-hal yang abstrak. Kemampuan akal menurut Ibnu Hazm, lebih utama daripada kemampuan indera, karena daya indera yang normal sekalipun terkadang mengalami banyak kelemahan dan kekeliruan dalam menangkap realitas obyek dibandingkan kemampuan akal dalam tangkapannya terhadap obyek.
BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Ibnu Masarrah merupakan salah satu sufi yang menganut tasawuf filsafi. Ibnu Masarrah lebih banyak disebut-sebut sebagai filosof dari pada sufi. Tasawuf filsafi adalah tasawuf yang berdasarkan pada pemaduan intuisi para sufi dengan cara pandangan rasional mereka. Tasawuf filsafi ini tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional mereka, serta menggunakan tema-tema filsafat dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan tasawufnya. Bisa dikatakan bahwa tasawuf ini kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat yang rasional.
Di dalam tasawuf filsafi ini metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf salafi dan tasawuf sunni. Dalam tasawuf filsafi ini lebih menonjolkan dari segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf ini lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang sulit diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari bagi orang awam.
Karya- karya ibnu masarah diantaranya adalah buku – buku yang memuat teori iluminasi adalah kitab yang berjudul:
a.       Tauhid al- Muqinin: Dalam kitab ini, beliau menuliskan tentang sifat tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan bukan zat.
b.       Kitab al- tabsirat( buku pengajaran)
c.       Kitab al- huruf ( lambing-lambang huruf).
B.      SARAN
Karena begitu pentingnnya Filsafat Islam dalam mengkaji Filosof Muslim Ibnu Masarrah. Maka seluruh calon pendidik dan para pendidik diharapkan mampu mempelajari serta mengaplikasikan Filsafat Islam tersebut dalam pendidikan agar proses pendidikan berjalan dengan baik.





DAFTAR PUSTAKA

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History Of Islamic Philosophy, London dan NewYork: Routledge, 1996.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
 Husayn Ahmad Amin, 100 Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Raja Ggrafindo Persada, 1999.













[2] Ibid.
[4] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History Of Islamic Philosophy, (London dan NewYork: Routledge, 1996), hlm. 24
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 71

[6] Husayn Ahmad Amin, 100 Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 52
[7] Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Raja Ggrafindo Persada, 1999.


<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL