BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Mahasiswa umumnya dituntut untuk
mengetahui berbagai mata kuliah sesuai dengan apa yang sedang dipelajarinya.
Dan untuk saat ini kami dituntut tahu mengenai sejarah Ibnu Masarrah baik dari
segi sejarah hidupnya karyanya dan pemikirannya. Pada dasarnya mahasiswa sudah
mempelajari mengenai filsafat, namun mengenai filsafat Islam masihlah sangat
awam. Dan untuk itulah kami membuat makalah ini, untuk dapat mengetahui lebih
dalam dan jauh mengenai sejarah filsafat Islam di dunia ini. Dan yang lebih
terpenting untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat Islam itu sendiri.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana biografi Ibnu Masarrah?
2.
Apakah karya dan pemikiran Ibnu Masarrah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IBNU MASARRAH
Nama
lengkap Ibn Masarrah adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Masarrah (269-319 H.).
ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filisof dari Andalusia. Ia memberikan
pengaruh yang besar terhadap esetrik madzhab Al-Mariyah. lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa
Ibn Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan
dalam kacamata Musthafa Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk aliran ittihadiyyah. Pada
mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu
berpaling pada madzhab Neo
Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan
kembali filsafat yunani kuno.
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah bin Najih al-Qurtubi, ia
lahir tahun 269 H/ 883 M di Cordova, Andalusia (Spanyol). Ibnu Masarrah seorang
filosof muslim dan juga seorang sufi yang mengambil ajaran-ajaran neo-platonik
Yunani dan sekaligus mengembangkannya, dimana ia memadukan pemikiran filsafat
dan tasawuf. Ia merupakan pendahulu dari Ibnu ‘Arabi dan Imam al-Syadzili.
Ibnu
Masarrah sebagai pendahulu dalam gerakan filosof Islam di Spanyol, mengikuti al
Kindi yang alim dan sezaman dengan ar-Razi yang radikal.
Ayahnya
seorang pedagang yang berkesempatan mempelajari madzhab Mu’tazilah di Basrah
dan temannya adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah Andalusia yaitu Kkholil al-Guflah.
Pada saat itu ide-ide Mu’tazilah, ilmu kalam dan filsafat sangat terkenal dan
sangat berharga bagi para pemikir Andalusia.
Ibnu
Masarrah mempelajari ilmu agama dan filsafat muktazilah dari ayahnya. Ayahnya
meninggal tahun 286 H/ 899 M, pada saat itu Ibnu Masarrah berumur 7 tahun, dan
pada usia yang begitu dini ia sudah menjadi zahid dan sering menyendiri
(i’tizal) bersama beberapa teman-temannya dan para pengikutnya di gunung
Cordova. Ia mengajarkan gagasan-gagasan mu’tazilah tentang paham qadariyah, dan
mengajarkan pula bahwa kenikmatan surga dan siksa neraka tidaklah berkaitan
dengan jasmani, tetapi berkaitan dengan jiwa. Ajaran-ajarannya ini mendapatkan
kecaman dan tantangan dari ahli madzhab Maliki yang bernama Ahmad bin Khalid
al-Habbab, ia membuat buku untuk menentang pendapat Ibnu Masarrah.
Karena
banyaknya tantangan dan kecaman, Ibnu Masarrah keluar dari Andalusia untuk
menunaikan ibadah haji bersama dua muridnya yaitu Muhammad bin al-Madini dan
Ibnu Suqail al-Qurtubi. Mereka singgah di Kairouan, kemudian setelah itu
melanjutkan perjalanan ke Mekkah, dan disini mereka singgah di rumah Abi Sa’id
bin al-‘Arabi (w. 341 H), yang merupakan salah seorang murid al-Junaid, tetapi
Aba Sa’ad tidak setuju dengan gagasan-gagasan Ibnu Masarrah, maka ia membuat
buku yang menentang Ibnu Masarrah. Dari perjalanannya ini Ibnu Masarrah telah
mendapatkan banyak manfaat ilmu dari bermacam-macam madzhab teologi dan
ajaran-ajaran sufi.
Setelah
perjalanannya yang cukup panjang, Ibnu Masarrah kembali ke Cordova, ia
ber’itizal sekali lagi di gunung dan mengajari murid-muridnya secara
sembunyi-sembunyi. Ia beserta murid-muridnya ingin membuktikan kepada para ahli
Fiqih bahwa ajaran mereka tidaklah bertentangan dengan agama, Ibnu Masarrah
meninggal dunia tahun 319 H / 931 M, pada usia hampir 50 tahun.
Muhammad bin Abdullah bin Masarrah bin Najih al-Qurtubi atau
lebih dikenal dengan nama Ibnu Masarah adalah seorang seorang filosof muslim
Andalusia (Spanyol) dan juga seorang sufi yang mengambil ajaran-ajaran
neo-platonik Yunani dan sekaligus mengembangkannya, dimana ia memadukan
pemikiran filsafat dan tasawuf. Ia merupakan pendahulu dari Ibnu ‘Arabi dan
Imam al-Syadzili. Ibnu Masarrah sebagai pendahulu dalam gerakan filosof Islam
di Spanyol, mengikuti
al- Kindi yang alim dan sezaman dengan
ar-Razi yang radikal.
Ibn Masarah lahir tahun 269 H/ 883 M di Cordova, Andalusia
(Spanyol). Ayahnya adalah seorang pedagang yang berkesempatan mempelajari
madzhab Mu’tazilah di Basrah dan temannya adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah
Andalusia yaitu Kkholil al-Guflah. Pada saat itu ide-ide Mu’tazilah, ilmu kalam
dan filsafat sangat terkenal dan sangat berharga bagi para pemikir Andalusia.
Ibnu Masarrah mempelajari ilmu agama dan filsafat Muktazilah
dari ayahnya. Ayahnya meninggal tahun 286 H/ 899 M, pada saat itu Ibnu Masarrah
berumur 7 tahun, dan pada usia yang begitu dini ia sudah menjadi zahid dan
sering menyendiri (i’tizal) bersama beberapa teman-temannya dan para
pengikutnya di gunung Cordova.
Ia mengajarkan gagasan-gagasan mu’tazilah tentang paham
qadariyah, dan mengajarkan pula bahwa kenikmatan surga dan siksa neraka
tidaklah berkaitan dengan jasmani, tetapi berkaitan dengan jiwa.
Ajaran-ajarannya ini mendapatkan kecaman dan tantangan dari ahli madzhab Maliki
yang bernama Ahmad bin Khalid al-Habbab, ia membuat buku untuk menentang
pendapat Ibnu Masarrah.
Karena banyaknya tantangan dan kecaman, Ibnu Masarrah keluar
dari Andalusia untuk menunaikan ibadah haji bersama dua muridnya yaitu Muhammad
bin al-Madini dan Ibnu Suqail al-Qurtubi. Mereka singgah di Kairouan, kemudian
setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mekkah, dan disini mereka singgah di
rumah Abi Sa’id bin al-‘Arabi (w. 341 H), yang merupakan salah seorang murid
al-Junaid, tetapi Aba Sa’ad tidak setuju dengan gagasan-gagasan Ibnu Masarrah,
maka ia membuat buku yang menentang Ibnu Masarrah. Dari perjalanannya ini Ibnu
Masarrah telah mendapatkan banyak manfaat ilmu dari bermacam-macam madzhab
teologi dan ajaran-ajaran sufi.
Setelah perjalanannya yang cukup panjang, Ibnu Masarrah
kembali ke Cordova, ia ber’itizal sekali lagi di gunung dan mengajari
murid-muridnya secara sembunyi-sembunyi. Ia beserta murid-muridnya ingin
membuktikan kepada para ahli Fiqih bahwa ajaran mereka tidaklah bertentangan
dengan agama, Ibnu Masarrah meninggal dunia tahun 319 H / 931 M, pada usia
hampir 50 tahun.
B. KARYA DAN
PEMIKIRAN IBNU MASARRAH
1. Ajaran Tasawuf Ibn Masarrah
Di
antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut :
a. Jalan
menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang
merupakan asal dari semua kejadian.
Di antara pemikiran ibn masarrah adalah bahwa jalan
keselamatan adalah penyucian diri, kezuhudan, tindakan mempriotaskan akal atas
panca indera dan berusaha kembali kepada cinta merupakan pokok utama kehadiran
manusia di alam semesta. Sebab, dengan cara itu, berbagai unsur kejadiannya
akan bersatu satu sama lainnya, sehingga terbentuklah suatu kesatuan
(al-wahdah) atau seluruh maujud akan berkumpul dalam kecintaan, kebencian,
kasih sayang, dan keterpaksaan seperti asalnya.
b. Dengan
penakwilan ala Philun
atau aliran Isma’iliyyah terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
Di antara pemikiran yang di anggap ciri khas ibn masarrah
adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (ta’wil) sejalan dengan
pemikiran philon iskandar atau sekte ismailiyyah. Ibn masarrah sangat
banyak melakukan penakwilan atas ayat-ayat al-qur’an dengan corak penakwilan
sekte kebatinan. Ia menolak kebangkitan jasmani di akhirat, menafikan pengetahuan
Allah SWT tentang hal-hal particular kecuali bila sudah terjadi.
c. Sisksa
neraka bukanlah hal yang hakekat
Selain dari ketiga ajaran di atas, menurut ibn hazm,
kebanyakan pengikut ibn masarrah menyebutkan bahwa ibn masarrah berpendapat
kenabian adalah sebuah maqam yang bisa dicapai dengan usaha. Orang yang telah
mencapai puncak kesalihan dan kesucian jiwa, bisa mendapatkan maqam kenabian.
Menurutnya, kenabian pada dasarnya bukanlah sesuatu yang istimewa
2. Karya- karya ibnu masarah diantaranya adalah buku – buku yang memuat teori iluminasi adalah kitab
yang berjudul:
a.
Tauhid al- Muqinin: Dalam kitab ini, beliau menuliskan tentang sifat tuhan
yang menyatakan bahwa Tuhan bukan zat.
b.
Kitab al- tabsirat( buku pengajaran)
c.
Kitab al- huruf ( lambing-lambang huruf).
Dalam
bukunya “Risalah al-‘Itibar”, Ibnu Masarrah mejelaskan bagaimana manusia dapat
mencapai kebenaran yang hakiki (Tuhan). Buku ini merupakan upaya Ibnu Masarrah
sebagai seorang filosof muslim setelah al-Kindi (filosof Arab) untuk
menyelaraskan antara filsafat dengan agama. Dimana pada saat itu filsafat dan
para filosof mendapat banyak kecaman dari kaum agamis. Mereka diserang sebagai
pembuat bid’ah. Ibnu Masarrah sependapat dengan pemikiran al-Kindi bahwa
filsafat tidaklah bertentangan dengan agama.
Penulis
ingin menguraikan pendapat Ibnu Masarrah dalam usahanya untuk mencari kebenaran
yang hakiki (Tuhan) dan diikuti oleh dalil-dalil al-Qur’an untuk menunjukkan
bahwa filsafat dengan agama tidaklah bertentangan, menurut Ibnu Masarrah ada 2
cara :
1. Wahyu (agama)
Cara wahyu
dimulai dari yang paling tinggi yaitu Tuhan, kemudian turun secara bertahap
sampai kepada yang terendah (manusia). Artinya wahyu diturunkan oleh Allah
melalui perantaraan malaikat Jibril, kemudian diberikan kepada manusia (dalam
hal ini para nabi dan para rasul) kemudian para nabi dan rasul menyampaikannya
kepada umatnya.
Sesuai dengan
petunjuk al-Qur’an bahwa Tuhan adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan Ia
memberikan ilmu-Nya kepada manusia yang dikehendakiNya. Sebagian pengetahuan
tersebut ada yang disampaikan Tuhan kepada nabi Muhammad saw melalui Qur’an
secara essensial mencakup tentang moral, keimanan dan sebagainya. Sebagian
pengetahuan tersebut ada yang diberikan Tuhan melalui usaha manusia.
Pengetahuan yang kedua ini berkaitan dengan fenomena alam.
Wahyu inilah
yang membimbing manusia untuk dapat mencapai kebenaran yang hakiki (Tuhan).
Ibnu Masarrah sependapat oleh aliran mu’tazilah mengungkapkan mengenai fungsi
wahyu. Bahwa wahyu dapat menjelaskan kepada manusia cara yang tepat menyembah
Tuhan. Menurut Ibn Abi Hasyim (seorang tokoh Mu’tazilah) mengatakan bahwa
ritual-ritual ibadah, seperti sholat dapat diketahui manusia bukan melalui akal
tetapi melalui wahyu. Nabi-lah yang membawa ritual-ritual itu dan apa yang
dibawa oleh nabi tidak boleh tidak mesti benar, dan ini menunjukkan fungsi
wahyu.
2. Akal
Menurut Ibnu
Masarrah, manusia telah dikaruniakan akal yang dapat berfungsi untuk mengetahui
adanya Tuhan. Ibnu Masarrah menjelaskan lebih lanjut bahwa akal dapat mencapai pengetahuan
akan adanya Tuhan melalui tanda-tanda yang ada pada makhluk-Nya, kemudian
dengan mengamati dan mengambil pelajaran dari gejala-gejala alam dan apa yang
terjadi di sekitarnya.
Cara akal
dimulai dimulai dari yang terendah yang ada di bumi (manusia berfikir dengan
akalnya) kemudian naik secara bertahap sampai kepada yang mahatinggi- Allah.
Ibnu Masarrah menambahkan dengan menjelaskan keadaan para wali yang arif dan
bijaksana (awliya al mustabsirin) “ Demi Tuhan, telah terbuka fikiran mereka
dengan menyaksikan langit dan bumi dan dengan diutusnya para nabi dan rasul ke
dunia ini.
Sebagai salah
satu fungsi dari akal, Ibnu Masarrah menjelaskan mengenai cara i’tibar
(mengambil pelajaran) atau ta’ammul. Ibnu Masarrah mengatakan “Allah telah
memerintahkan kepada kita untuk mengambil pelajaran dari hal-hal tersebut
(penciptaan langit dan bumi). Dan Allah menunjukkan kepada orang-orang Baduy
adanya penciptaan bumi, sedangkan alam jagad raya dan makluknya serta
tanda-tanda penciptaannya merupakan jalan yang ditempuh oleh para mu’tabir
untuk sampai kepada yang MahaBesar.
Pendapat Ibnu
Masarrah mengenai metodologi riset (pencarian kebenaran yang hakiki yaitu
Tuhan), nampaknya sedikit berbeda dengan pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm
kebenaran hanya diperoleh dari manusia saja. Ibnu Hazm menjabarkan mengenai
bagaimana manusia dapat memperoleh kebenaran, yaitu melalui cara-cara :
3. Panca indera,
Akal, Intuisi
Menurut Ibnu
Hazm, manusia dapat mencapai kebenaran dengan dua daya, yaitu daya indera dan
akal. Daya indera mampu menangkap realitas obyek, sedangkan akal menangkap
hal-hal yang abstrak. Kemampuan akal menurut Ibnu Hazm, lebih utama daripada
kemampuan indera, karena daya indera yang normal sekalipun terkadang mengalami
banyak kelemahan dan kekeliruan dalam menangkap realitas obyek dibandingkan
kemampuan akal dalam tangkapannya terhadap obyek.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ibnu Masarrah merupakan salah satu sufi yang menganut
tasawuf filsafi. Ibnu Masarrah lebih banyak disebut-sebut sebagai filosof dari
pada sufi. Tasawuf filsafi adalah tasawuf yang berdasarkan pada pemaduan
intuisi para sufi dengan cara pandangan rasional mereka. Tasawuf filsafi ini
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
mereka, serta menggunakan tema-tema filsafat dari berbagai macam sumber untuk
mengungkapkan tasawufnya. Bisa dikatakan bahwa tasawuf ini kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat yang rasional.
Di dalam tasawuf filsafi ini metode pendekatannya
sangat berbeda dengan tasawuf salafi dan tasawuf sunni. Dalam tasawuf filsafi
ini lebih menonjolkan dari segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf
ini lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang
sulit diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari bagi orang awam.
Karya- karya ibnu masarah
diantaranya
adalah buku – buku yang memuat teori iluminasi adalah kitab yang berjudul:
a. Tauhid al- Muqinin: Dalam kitab ini, beliau menuliskan
tentang sifat tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan bukan zat.
b. Kitab al- tabsirat( buku pengajaran)
c. Kitab al- huruf ( lambing-lambang huruf).
B.
SARAN
Karena begitu pentingnnya Filsafat Islam dalam
mengkaji Filosof Muslim Ibnu Masarrah. Maka seluruh calon pendidik dan para
pendidik diharapkan mampu mempelajari serta mengaplikasikan Filsafat Islam
tersebut dalam pendidikan agar proses pendidikan berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History Of Islamic Philosophy, London dan
NewYork: Routledge, 1996.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Husayn Ahmad
Amin, 100 Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2000.
Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT.
Raja Ggrafindo Persada, 1999.
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History Of
Islamic Philosophy, (London dan NewYork: Routledge, 1996), hlm. 24
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 71
Husayn Ahmad Amin, 100 Tokoh dalam Sejarah Islam,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 52
Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Raja Ggrafindo
Persada, 1999.
<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
Komentar
Posting Komentar