MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH ALQUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Alqur’an merupakan sumber hukum islam. Kata sumber dalam arti ini hanya dapat digunakan untuk alqur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syar’a tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba norma hukum.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Alqur’an?
2.      Apa yang dimaksud dilalah qoth’I dan zhanni di dalam alqur’an?
3.      Bagaimana pendapat para ulama terhadap kehujjahan alqur’an?

C.     TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Untuk mengetahui tentang Alqur’an
2.      Untuk mengetahui dilalah qath’I dan zhanni
3.      Untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama terhadap kehujjahan Alqur’an



BAB II
PEMBAHASAAN

A.    KEHUJJAHAN AL-QUR’AN DAN PANDANGAN ULAMA
Abd. Wahhab khallaf mengemukakan tentang kehujjahan Qur’an dengan ucapannya sebagai berikut:
Bukti bahwa Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumannya merupakan aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena Alquran itu datang dari Allah dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya. Sedang bukti kalau Alqur’an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa Alqur’an itu membuat orang tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti Alquran.
Membuat tidak mampu (al I’jaaz) itu baru terjadi, demikian Abd. Wahhab khallaf, apabila tiga hal berikut ini terdapat pada sesuau. Yaitu adanya tantangan, adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan-tantangan dan ketiadaan penghalang yang mencegah adanya tantangan.[1]
1.      Pandangan imam malik
Menurut imam malik,hakikat alquran adalah kalam allah yang lafazh dan maknanya dari allah SWT. Ia bukan mahkluk, karena kalam adalah termasuk sifat allah,tidak dikatakan makhluk,bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan al quran makhluk.
 Imam malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan al quran secara murni tanpa memakai atsar,sehingga beliau berkata, “seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan al quran (dengan daya nalar murni), maka akan ku penggal leher orang itu.
 Berdasarkan ayat 7 surat ali-imran petunjuk lafazh yang terdapat dalam al quran ada 2 macam,yaitu muhkamat dan mutasyabihat (sesuai surah ali Imran ayat 7).
a)      Ayat- ayat muhkamat
Ayat muhkamat adalah ayat yang tegas dan terang maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah
b)      Ayat –ayat mutasyabihat
Ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
2.       Pandangan syafi’i
Menurut imam syafi’I, sebagaimana pendapat ulama yang lain, Imam syafi’I menetapkan bahwa sumber hukum islam yang paling pokok adalah al-quran.Bahkan beliau berpendapat, “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuk terdapat didalam al-quran.”(asy-syafi’I,1309-20)oleh karena itu  Imam syafi’I senantiasa mencantumkan nash-nash Al-quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya.sesuai metode yang digunakannya,yakni deduktif.
 Namun, asy-syafi’I menganggap bahwa al-quran tidak bias dilepaskan dari sunnah.karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum islam pertama Al-quran dan kedua as-sunnah,maka imam syafi’I berpandangan bahwa Al-quran dan sunnah itu berada pada satu martabat. (keduanya wahyu illahi yang berasal dari Allah firman Allah : (surat an-najm : 4)
 Sebenarnya, Imam syafi’I pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al-quran  dan sunnah berada dalam satu martabat (karena dianggap sama-sama wahyu, yang berasal dari allah), namun kedudukan sunnah tetap setelah al-quran.Al-quran seluruhnya bahasa arab. Tapi asy syafi’I menganggap bahwa keduanya berasal dari Allah SWT.
 Kemudian asy syafi’I menganggap al-quran itu seluruhnya itu bahasa arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan bahwa di dalam al quran terdapat bahasa ‘ajam’ (luar arab).[2]
3.      Pandangan imam ahmad ibnu hambal
Pandangan imam ahmad, sama dengan imam syafi’I dalam memposisikan al-quran sebagai sumber utama hukum islam dan selanjutnya diikuti oleh sunnah.Al-quran merupakan sumber dan tiangnya agama islam,yang didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan jaman dan tempat.Al-quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, di samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam.
Ahmad ibnu hambal sebagaimana para ulama lainnya berpendapat keduanya juga di anggap berada pada satu martabat, sehingga beliau sering menyebut keduanya dengan istilah nash (yang terkandung di dalamnya Al-quran dan sunnah).Dalam penafsiran Al-quran ia betul-betul mementingkan sunnah.Misalnya anak laki-laki haram berkhalawat dengan wanita  yang bukan muhrimnya atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina.Menurut zumur,melihat aurat dan berkhalawat dengan wanita yang bukan muhrimnya yaitu disebut pendahuluan yang haram (muqaddimah al-hurmah)Sikap Ahmad bin hanbal dalam konteks ini ada tiga poin :
a.       Sesungguhnya zahir Al-quran tidak mendahulukan as-sunnah
b.      Hanya Rasulullah saja yang berhak menafsirkan atau menrakwilkan Al-quran.
c.       Jika tidak dietemukan tafsir dari nabi, penafsiran sahabatlah yang digunakan,Karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-quran dan mendengarkan takwil dari nabi.

B.     QATH’IY DAN ZANNY DALAM AL-QUR’AN :KAITANNYA DENGAN IJTIHAD
1.Qath’i dan Zhanni
Al-quran yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’I (pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang dikandung al-quran ada kalanya bersifat qath’I (pasti benar)da nada kalanya bersifat zhanni (relatif benar)
 Istilah qath’I dan zhanni masing-masing terdiri atas dua bagian,yaitu yang menyangkut at-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna).Tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan umat islam menyangkut kebenaran sumber al-quran, Semua bersepakat meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-quran yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca kaum muslim diseluruh penjuru dunia adalah sama tanpa sedikit perbedaan dengan yang diterima nabi Muhammad saw dari allah memalui malaikat jibril.
Ayat yang bersifat Qath’I adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.Dalil-dalil qath’I dapat dipahami begitu saja dan penolakan terhadapnya berarti bentuk kekufuran. Misalnya, masalah akidah, seperti keyakinan terhadap surge dan neraka, serta yaumul hisab, adalah masalah-masalah agama yang tidak dapat dibantah lagi kepastiannya sehingga kita tidak punya alas an untuk tidak meyakininya.Adapun ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafadz-lafazd yang dalam al-quran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk di ta’wilkan
Dilihat dari segi kepentingan seseorang, ijtihad perlu dilakukan pada:[3]
a.       Suatu peristiwa tertentu yang waktunya terbatas
b.      Suatu peristiwa tertentu yang memerlukan hukum syar’a
c.       Dalam hal-hal atau peristiwa yang belum terjadi, yang kemungkinan nanti akan diperlukan hukum syarak tentang hal itu, untuk itu perlu dilakukan ijtihad karena adanya kemungkinan orang memerlukan hukumnya pada waktu ia sendiri.
Contoh Qath’i
1.      Aqimu al-shalah
     Artinya: Dirikanlah shalat”
 Jika perhatian hanya ditunjukkan kepada nash al-quran yang berbunyi aqimu Al-shalah, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak ayat al-quran yang menggunakan redaksi perintah, sebab banyak ayat al-quran yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib.kepastian tersebut datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain (yang walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda,disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama.     
Contoh Dzanny
2.      QS.Al baqarah : 228
Artinya            : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
                          (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S.Al baqarah : 228)

 Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih). Didalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’.dengan demikian ,akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor.jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’i.karena itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa menunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali bersih da nada yang mengatakan tiga kali haifh.[4]


                                    Contoh Qath’I dan Dzanny  
 Suatu ayat dapat dikatakan menjadi qath’I dan zhanniy pada saat yang sama firman Allah yang berbunyi yang artinya : Dan basuhlah kepalamu “
Adalah qath’I al-daladah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam berwhudu.tetapi ia zhanni al-daladah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh . ke qath’iyan dank e zhanniyan tersebut disebabkan karena seluruh ulama’ ber-ijma’ (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwhudu berdasarkan berbagai argumentasi. Dari datangnya sunnah mutawatirah, itu pasti, Qath’I datang dari Rasulullah SAW, karena mutawatir (bertubi-tubi) Nya pemindahan itu menimbulkan ketetapan dan kepastian tentang sahnya berita tersebut. Sedangkan sunnah yang masyhurah, pasti datangnya dari sahabat yang telah menerimanya dari Rasulullah karena tawatir (bertubi-tubi) Nya pemindahan dan penukilan dari para sahabat mereka, akan tetapi hal itu tidak pasti datangnya dari Rasulullah karena yang pertama kali menerimanya bukanlah kelompok tawatir. Karena itu kelompok Hanafiyah menganggap sunnah masyurah ini sebagai sunnah yang mutawatirah. Mereka berpendapat bahwa tingkatan sunnah masyurah ini antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah ahad.
      Ada pula yang menyebutkan sunnah hamiyah, yaitu sesuatu yang ingin dilakukan oleh Nabi, tetapi belum sampai beliau lakukan. Sunnah-sunnah Rasulullah itu wajib kita laksanakan, menjadi hujjah bagi umat islam, apabila ia keluar dan datang dari Rasulullah dalam kualitas beliau sebagai Nabi, sebagai utusan Allah yang membawa syariat, dan yang dengannya bertujuan membentuk hukum atau syariat islam. Karena Nabi SAW itu juga adalah manusia, sehingga bagaimana beliau duduk, bagaimana beliau tidur, dan seumpamanya, tidaklah menjadi hujjah bagi kita. Samping itu ada pula sunnah atau perbuatan yang khusus bagi Nabi, dan untuk itu kita tidak melakukannya, seperti istrinya lebih dari empat. Umat islam tidak boleh melakukan perkawinan lebih dari empat orang istri.

C.    KANDUNGAN ALQUR’AN TENTANG EKONOMI KEUANGAN
Di dalam ayat (Q.S. Al-Maida: 3) telah menjelaskan bahwa dia telah menyempurnakan agama kita untuk kita. Maka, agama ini tidak akan kurang selama-lamanya, dan tidak butuh tambahan selama-lamanya. Ayat ini merupakan /nash (teks) yang nyata, bahwa agama islam tidaklah meninggalkan sesuatupun yang dibutuhkan oleh manusia didunia dan di akhirat, kecuali agama ini telah menerangkannya dan telah menjelaskannya, apa saja perkara itu. Diantara masalah besar yang dijelaskan oleh islam dan merupakan topic pembicaraan dunia adalah masalah ekonomi. Alqur’an telah menjelaskan prinsip-prinsip ekonomi yang semua cabang-cabang kembali kepadanya. Hal itu karena masalah-masalah ekonomi kembali kepada dua prinsip:[5]
                                                      1.            Kecerdasan di dalam mencari harta.
                                                      2.            Kecerdasan di dalam membelanjakan pada tempat-tempatnya.

Perhatikanlah bagaimana di dalam kitabnya, Allah membuka jalan-jalan untuk mencari harta, dengan cara-cara yang sesuai dengan kehormatan dan agama. Allah telah menerangi jalan di dalam hal tersebut. Pada (Q.S. Al-Jumu’ah: 10)
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
            Dan perhatikanlah, bagaimana Allah memerintahkan sikap hemat di dalam membelanjakan harta, (Q.S. Al- Isra’: 29)
Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tangan mu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu mengulurkannya.
            Dan perhatikanlah bagaimana Allah melarang membelanjakan harta pada perkara yang tidak halal membelanjakan pada hartanya, (Q.S.Al-Anfaal: 36)
Artinya: mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. [6]








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara etimology Alquran adalah bentuk masdhar yang dapat diartikan sebagai isim maf’ul yaitu maqru berarti yang dibaca. Secara terminology Alqur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dinilai ibadah membacanya yang dimulai dari awal surah Al-fatihah dan di akhiri surah An-nas.


DAFTAR PUSTAKA
Umar Muin. 1985. Ushul Fiqh II ( Jakarta: Pembinaan Perguruan tinggi Agama Islam).
Djalil Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih I dan II ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group).



[1]. Umar Muin, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1985), hlm. 70.
[2]. Ibid: hlm. 71
[3]. Djahil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2010), hlm. 181.
[4]. Ibid:hlm. 184. 
[5]. Ibid:hlm. 185
[6]. Ibid: hlm. 186

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN